Cerpen “Samantha”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Samantha” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”.
Samantha adalah gadis berparas cantik dan cerdas. Ia hidup dalam lingkungan keluarga yang cukup terpandang dan sangat edukatif. Ayahnya seorang tokoh masyarakat yang dikenal sebagai ulama dan aktif dalam sejumlah ormas kegamaan. Sementara itu ibunya adalah seorang dosen dan menjadi penterjemah tiga bahasa yang bekerja di sejumlah instansi pemerintahan, serta aktif di berbagai organisasi berskala nasional dan internasional.
Samantha terbiasa hidup bersama pengasuhnya hingga ia menginjak remaja. Hal ini merupakan dampak dari banyaknya kegiatan dan kesibukan kedua orang tuanya. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kedua orang tua Samantha memutuskannya menempuh pendidikan Sekolah Menangah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di lingkungan boarding school berbasis pondok pesanteran. Tanpa bantahan, Samantha pun menuruti keinginan kedua orang tuanya tersebut.
Biasanya Samantha pulang ke rumah hanya pada saat liburan sekolah sesuai waktu yang ditentukan oleh pihak Asrama, tapi kini ia pulang karena sudah usai menempuh pendidikan. Senyum bahagia tersirat di bibir mungil gadis berparas Indo-Arab tersebut.
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Samantha di teras rumah dengan senyum lebar. Ia membentangkan kedua tangannya, setelah melihat sang cucu keluar dari mobil yang menjemput Samantha.
“Sayangnya Oma, selamat ya atas kelulusannya. Selamat kembali ke rumah,” ucap wanita paruh baya tersebut seraya memeluk sang cucu.
“Terima kasih Oma,” jawab Samantha singkat.
“Apakah Bunda tidak menjemputmu di asrama?” Tanya wanita asli Timur Tengah tersebut sedikit heran.
“Jemput kok Oma. Hanya saja tadi Bunda langsung menuju ke Kedutaan Prancis. Jadi aku pulang sendiri,” jawab Samantha seraya duduk di sofa ruang tamu.
“Baiklah kalau begitu, Oma juga mau ke kampus. Nanti malam Oma tunggu di rumah untuk makan malam. Sekarang istirahatlah,” ucap Armita, sang nenek.
Meski sudah paruh baya, Armita masih disibukkan dengan berbagai kegiatan sebagai guru besar di salah satu universitas negeri di ibu kota dan sejumlah jabatan-jabatan penting lainnya di beberapa instansi.
Dengan penuh semangat Samantha membuka situs-situs internet, mencari kampus-kampus yang terbaik dengan jurusan yang ia inginkan. Dering handphone mengalihkan perhatiannya. Tertera di layar handphone-nya “Ayah is challing”. Samantha pun segera menjawab panggilan telepon.
“Halo Sam. Kamu segera ke rumah Oma dengan supir ya, Ayah sama Bunda segera menyusul,” terdengar suara dari seberang sana.
“Baiklah,” jawab Samantha singkat.
Kesibukan kedua orang tua membuat Samantha jarang sekali berjumpa dengan mereka. Hal itu pula yang menyebabkan komunikasi antara dirinya dengan kedua orang tuanya terbilang pasif.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman omanya, Samantha terus berpikir apa yang akan terjadi di sana nanti. Akh, pasti membahas masalah kuliah, gumamnya dalam hati.
Saat ini usia Samantha hampir 19 tahun. Usia yang terbilang dewasa. Semula ia merasa sangat bahagia dikatakan dewasa, tidak ada lagi embel anak-anak dan bisa menentukan apapun yang terbaik untuk diri sendiri. Namun, kebahagiaan sebagai orang dewasa terasa pupus tatkala ia harus berhadapan dengan kelurga besarnya.
Setiba di rumah sang oma, para orang tua itu sudah berkumpul.
“Maaf Bun, aku terlambat, tadi sedikit terjebak macet,” ucap Samantha seraya mencium tangan bunda dan ayahnya, dilanjut ke oma dan tante-tante yang hadir pada acara makan malam tersebut.
“Bagaimana nilai kelulusannya, Sam?” Tanya Tante Riana, kakak dari Ayah Samantha yang juga merupakan seorang rektor pertama di kalangan perempuan di universitas yang sama dengan Oma Armita dan dosen di beberapa universitas.
“Cukup baik Tante,” hanya itu jawaban Samantha.
“Makan malam sudah siap,” terdengar suara Tante Radwa, adik dari ayah Samantha, seorang direktur salah satu kementerian di pemerintahan.
Semua beranjak menuju meja makan. Menu Timur Tengah tersaji menggugah selera, kecuali Samantha yang kehilangan selera karena paham betul apa yang akan jadi topik pembicaraan di sepanjang acara makan malam itu.
“Rencana mau melanjutkan kemana, Sam?” Tante Riana membuka percakapan di meja makan.
“Belum tahu Tante,” jawab Samantha singkat.
“Turky, Tareem atau Al-zhar Kairo?” Lanjut Tante Riana.
“Kedokteran Al-Azhar boleh juga, prospeknya cukup bagus,” ujar Tante Radwa.
“Tidak bisa! Masuk Kedokteran di Mesir sedikit sulit untuk warga negara keturunan karena jurusan itu di prioritaskan untuk mahasiswi dan mahasiswa asli mesir,” papar Riana.
Sebagai penulis sejarah politik Mesir dan sejarah dinasti Mamluk untuk gelar profesor-nya, tentu Riana lebih paham tentang Kairo.
“Semuanya bagus. Turky mempasilitasi pelajar dengan sarana dan prasarana yang sangat mewah dan sangat baik. Kairo sudah menghasilkan para ilmuan dan guru-guru besar yang berkualitas,” papar Oma Armita menimpali.
“Biarlah, Sam yang akan menentukan. Beri ia waktu untuk berpikir,” ucap Bramantyo, ayah Samantha.
Hingga makan malam berakhir, tidak ada pendapat apapun yang keluar dari mulut Samantha, sampai mereka pamit untuk pulang ke rumah.
“Bagaimana, Sam? Sudah ada gambaran pilihan mau kuliah di mana?” Tanya Amira, sang bunda.
“Gak tahu,” jawab Samantha sambil mengalihkan pandangan keluar jendela kaca mobil.
Terdengar tarikan napas Amira seraya menoleh ke belakang tempat di mana Samantha duduk.
Setelah tiba di rumah, Samantha langsung menuju kamarnya. Ia membanting pintu kamar sebagai luapan emosi yang tertahan sejak tadi.
“Sejak kemarin, Sam tidak keluar kamar,” ucap Amira pagi itu, saat mengantar Bramantyo menuju mobil.
Hari ini Bram akan keluar kota untuk beberapa hari.
“Lakukanlah sesuatu. Datangi dia. Ajak bicara baik-baik,” jawab Bram sambil membuka pintu mobil.
Selepas kepergian sang suami, Amira langsung menuju kamar Samantha.
“Sam, boleh bunda masuk?” Tanya Amira sambil mengetuk pintu kamar.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar, kecuali terdengar suara kunci yang di buka dari dalam.
Samantha hanya diam membiarkan bundanya masuk. Amira berjalan menuju meja belajar di sudut ruangan.
“Bagaimana, Sam?” Ucap Amira sambil mengambil sebuah buku yang tergelatak di atas meja, melihat sesaat sampul buku lalu meletakkannya kembali.
“Aku tidak ingin kuliah di kampus-kampus itu Bun,” rengek Samantha.
“Lalu?” Tanya Amira.
“Aku ingin kuliah di Jakarta saja,” jawab Samantha cepat.
“Kenapa waktu di rumah Oma kamu tidak memberikan pendapat?” Amira balik bertanya.
“Aku? Memberikn pendapat? Jika itu aku lakukan, apakah kalian akan mendengarkan pendapatku?” Jawab Samantha nyaris emosi.
“Paling tidak bersuaralah agar kami tahu apa yang ada dalam pikiranmu,” ucap sang bunda.
“Apakah selama ini kalian mendengarkan suaraku?” Tanya Samantha kembali.
Amira hanya terdiam mendengar penuturan Samantha. Ia tidak menyangka jika putrinya akan berbicara seperti itu.
“Kita bicarakan lagi nanti masalah ini, setidaknya bunda akan bicara pada ayah jika kamu ingin kuliah di Jakarta,” jawab Amira kembali sambil meyakinkan anaknya.
Amira membelai pucuk kepala sang putri yang duduk di sudut tempat tidur, sebelum berlalu dari kamar Samantha.
Setelah kepergian sang bunda dari kamarnya, Samantha membenamkan kepalanya di balik bantal. Kalian semua egois! gue benci kalian semua! Teriaknya dalam hati.
Suara pesan masuk dari aplikasi Whatsapp mengalihkan perhatian Samantha. Foto-foto yang diposting sahabat semasa sekolah di asrama dalam sebuah group alumni membuatnya tertegun.
Betapa bahagianya mereka. Kenapa aku tidak bisa hidup seperti mereka, memiliki orang tua yang pengertian. Bisa melakukan apapun tanpa aturan dan peraturan yang menyebalkan! Gerutu Samantha.
Terpikir oleh Samantha untuk mendatangi tempat di mana teman-temannya berkumpul. Ia pun bergegas mengganti baju yang ia kenakan. Lalu dengan tergesa menuruni anak tangga.
“Ups! Bibi! Bikin kaget aja,” seru Samantha karena hampir saja menabrak Bi Inah, asisten rumah tangga yang sedang membawa keranjang cucian.
“Non mau kemana? Kenapa terburu-buru?” Tanya Bi Inah heran.
“Ssst! Bunda di mana?” Tanya Samantha.
“Ibu sudah pergi sekitar satu jam yang lalu Non,” Jawab Bi Inah polos.
“Yess! Aku pergi dulu Bi,” jawab Samantha pendek.
Tanpa menunggu jawaban Bi Inah, Samantha berlari keluar rumah.
Bersama sahabat-sahabatnya, Samantha merasa nyaman karena hanya mereka yang paling mengerti apa yang ia mau, apa yang ia inginkan dan bisa melakukan banyak hal. Bersama mereka hidup Samantha merasa berarti dan berwarna.
***
“Sudah saatnya kamu mendaftar kuliah, Sam,” ucap Bram saat sarapan pagi bersama Samantha.
“Aku mau kuliah di Jakarta,” ucap Samantha.
“Baik, jurusan Sastra Inggris, kan? Ayah akan bicara dengan Tante Riana,” ucap sang ayah seraya berdiri dan berlalu dari meja makan.
“Aku punya pilihan kampus sendiri,” jawab Samantha.
Bram hanya mengangkat tangan kanannya tanpa menoleh ke arah anak gadisnya.
Selalu seperti ini, kaku! Otoriter! Umpat Samantha dalam hati.
“Beberapa hari lagi bunda akan terbang ke Bangkok. Mungkin sekitar tiga atau empat hari. Sebelum bunda berangkat, kamu sudah harus bisa memutuskan untuk memilih kampus,” ucap Amira yang kembali ke meja makan setelah mengantar suaminya ke depan rumah.
Salah satu kesibukan Amira sebagai pengurus Asian Muslim Action Network (AMAN) yang berpusat di Bangkok mengharuskan ia selalu melakukan kunjungan ke negara tersebut. Bahkan, bukan hanya itu, tapi berkunjung juga ke negara-nNegara lain di lintas benua.
“Untuk apa aku memilih kampus, kalau pada akhirnya aku harus menuruti pilihan kalian,” ucap Samantha sambil berlalu meninggalkan meja makan.
***
Samantha terdiam saat sang ayah memberitahukan jika ia kuliah di kampus pilihan keluarganya, bagi Samantha percuma saja ia mempertahankan keinginannya. Pada akhirnya ia akan tetap berjalan sesuai dengan keinginan keluarga.
Seandainya Samantha mengutarakan isi hatinya, hal itu hanya akan membuat dirinya disudutkan dan disalahkan. Ayah dan bundanya yang ia harapkan bisa menjadi pembela seperti kehilangan power jika berhadapan dengan keluarga besarnya.
Kedua orang tua Samantha pun memutuskan agar Samantha tinggal di rumah Oma Armita dengan mempertimbangkan jarak tempuh menuju kampus lebih dekat karena tempat tinggal Oma Armita berada di perumahan dosen lingkungan kampus tersebut.
Samantha menjadi pribadi yang sangat tertutup terhadap keluarga. Ada keinginan untuknya keluar dan hidup sendiri tanpa keluarga. Baginya, keluarga bukanlah tempat di mana ia mendapatkan kebahagiaan.
Gadis cantik itu selalu menciptakan kebohongan demi kebohongan agar ia mendapat ijin keluar rumah dari sang oma, di luar kegiatan kampus. Semua ini Samantha lakukan demi untuk sekadar nongkrong, nonton bioskop atau nonton konser band favorit bersama teman-temannya. Tak jarang ia pulang larut malam setelah sang oma tidur terlelap.
“Bagaimana kuliahnya, Sam?” Tanya Oma Armita saat Samantha duduk ikut melihat acara televisi yang di putar sang oma.
“Biasa saja Oma, tidak ada yang menarik,” jawab Samantha tanpa mengalihkan tatapannya ke arah layar televisi.
“Minggu ini Oma mau menghadiri simposium ke Homan, setelah itu lanjut ke Mesir, sudah lama sekali Oma tidak silaturahim ke sana,” ucap Armita.
“Bersama siapa Oma pergi?” Tanya Samantha.
“Dari sini Oma pergi sendiri, nanti di sana ada asisten oma yang membantu, tapi sebelum itu ayahmu akan mengadakan perjamuan makan malam bersama keluarga temannya di sini,” papar Armita memberi penjelasan.
Samantha sendiri tidak terlalu menanggapi ucapan omanya, ia fokus dengan film drama Turky yang ia tonton, setelah itu ia pamit untuk pergi ke kamarnya.
Tidak banyak yang Samantha lakukan jika berada di rumah, ia hanya mengurung diri dalam kamar sepanjang hari, tidak ada ketertarikan bagi Samantha untuk berkumpul bersama keluarga, meskipun hanya sekedar berbincang.
Samantha merasa hidupnya sangat menyedihkan. Ia merasa kehilangan momen masa remaja yang seharusnya membahagiakan dan menggembirakan. Namun, sanyanya yang ia dapatkan hanya tekanan demi tekanan dari keluarganya. Gadis manis itu terus berpikir bagaimana caranya keluar dari lingkungan keluarga.
Pergi dari rumah ini maka aku akan terbebas dari semua tekanan. Aku berhak menentukan kebahagiaan dalam hidupku. Kalimat-kalimat yang selalu terngiang di kepalanya membuat Samantha setiap malam sulit tidur. Menjelang pagi setelah ia merasa sangat lelah, barulah bisa memejamkan mata.
Ada rasa sesal pada diri Samantha, kenapa ia dilahirkan dalam keluarga yang super sibuk. Ia mulai menyalahkan kedua orang tuanya yang salah dalam pola asuh terhadap dirinya. Tak ayal hal itu membuat ia selalu merenungi dirinya sendiri dan menangis sepanjang malam.
Jika aku tidak bisa keluar dari sini. Aku bisa menjemput kebahagian dengan kematian, pikirnya saat ia memandang wajah cantiknya di depan cermin.
Terbayang satu persatu perlakuan keluarganya terhadap Samantha. Sejak kecil ia tidak diizinkan bermain keluar rumah dengan berbagai alasan. Hal ini membuat ia tidak bisa menikmati cerianya masa kanak-kanak bersama teman sebayanya.
Tekanan demi tekanan yang mengharuskan Samantha menuruti semua keinginan keluarganya tanpa mempedulikan ia sebagai manusia dewasa yang memiliki perasaan. Bayangan kegagalan dalam hal akademik selalu menghantui dirinya. Hal itu bukan menambah semangat belajarnya, justru malah membuyarkan konsentrasinya.
Lebih baik aku mati daripada terus menjadi boneka kalian,” ucap Samantha dalam hati seraya menggoreskan ujung silet di lengannya dengan penuh emosi.
***
“Bram, bisa kita bertemu hari ini?” Tanya Armita lewat sambungan telepon.
“Bisa Mah, di mana?” Jawab Bram di seberang telepon.
“Lepas makan siang di kampus,” jawab Armita seraya menutup telepon setelah Bram menyetujui permintaannya.
Armita menghentikan aktivitasnya setelah menengar ketukan pintu di ruang kerjanya.
“Masuk,” ucap Armita dari dalam.
Bram masuk ruangan diikuti oleh Amira. Mereka lalu duduk di sofa sudut ruangan kerja Armita.
“Ada hal serius yang ingin Mamah bicarakan dengan kami?” Tanya Bram.
“Iya, soal, Samantha,” ucap Armita seraya melangkah menuju sofa dan duduk di sisi Bram.
“Apa ada masalah dengan kuliah, Samantha?” Ucap Bram.
“Tidak, yang bermasalah adalah Samantha-nya, bukan kuliahnya, ” jawab Armita, “Jika berada di rumah, Samantha menghabiskan hari-harinya hanya di kamar, jarang sekali dia berinteraksi dengan orang-orang rumah.”
“Samantha memang seperti itu Mah,” timpal Bram.
“Tadi pagi, Mama ke kamarnya, mau mengajak dia untuk sarapan bersama. Tapi, sepertinya Samantha sedang kurang sehat. Wajahnya terlihat lelah dan Mama melihat banyak bercak luka di lengannya,” papar Armita.
“Luka?” Tanya Bram.
Armita hanya menjawab dengan anggukan.
Kemudian Armita menyarankan agar mereka melakukan pendekatan secara emosional terhadap Samantha. Ia pun memberitahukan jika akan terbang ke Timur Tengah beberapa minggu dan meminta agar Bram membawa pulang Samantha sementara waktu. Ada gurat kekhawatiran di wajah Armita.
Sebagai tokoh penggerak, perlindungan hak-hak perempuan, remaja, dan anak-anak diberbagai kebijakan PBB. Tentu saja Armita lebih peka terhadap pemasalahan sang cucu.
Sesuai dengan saran sang mama, Bram dan Amira mengajak pulang Samantha, meski awalnya Samantha menolak.
“Sebentar, Sam, Ayah mau bicara?” Ucap Bram ketika tiba di rumah.
Samantha mengurungkan langkah menuju kamar dan duduk di sofa di hadapan sang ayah.
“Apa kamu baik-baik saja,” tanya Bram.
“Seperti yang Ayah lihat, aku baik-baik saja,” jawab Samantha.
“Tapi kami melihat Kamu sedang tidak baik-baik saja,” ujar Bram, “Lalu, bisa jelaskan luka yang ada di lenganmu?”
“Owh… ini hanya luka kecil, tidak sengaja tergores. Nanti juga sembuh,” ucap Samantha acuh.
“Ini luka yang disengaja,” timpal, Bram seraya menyingkap kemeja bagian lengan Samantha.
Sesaat Bram tertegun melihat goresan-goresan luka tersebut. Apa yang sedang terjadi dengan putrinya Hingga melakukan hal seperti ini?
“Jika memiliki masalah, ceritakanlah, Sam. Sharing sama Ayah dan Bunda,” ucap Bram.
Shamantha tertegun, tidak biasanya ayahnya bersikap hangat seperti ini. Namun, Samantha belum juga mau bicara. Ada luapan emosi yang terpancar di matanya. Ia berusaha menutupi semua perasaan dan mencoba bersikap sebaik mungkin di hadapan kedua orang tuanya.
Tanpa menjawab pertanyaan sang ayah, Samantha berlari ke kamarnya. Emosi yang berusaha ia tahan sejak tadi pecah bersama tangisnya. Ia membanting semua benda yang berada dikamarnya.
“Samantha!” Seru Amira yang mendengar benda pecah di lantai dua rumahnya.
Bram dan Amira berlari menuju kamar Samantha.
“Sam, kenapa Nak!” Teriak Amira seraya mengetuk pintu kamar.
“Sam, buka pintunya!” Seru Bram menimpali.
“Nggak mau! Kalian pergi!” Teriak Samantha dari dalam kamar.
Lama Bram dan Amira menunggu di balik pintu, tapi Samantha tidak juga membukanya hingga mereka memutuskan untuk menelepon dokter keluarga.
Tidak lama setelah di telpon, dr. Hardi yang merupakan dokter keluarga pun datang. Mereka sedikit berbincang mengenai Samantha. Bram menceritakan semua kondisi sang putri.
“Jika begitu, kita tunggu hingga Sam sedikit tenang. Saya perlu bicara berdua dengannya,” ucap, dr. Hardi.
Setelah suasana di kamar Samantha tidak lagi terdengar kegaduhan, Amira mencoba mengetuk pintu, “Sam, bisa buka pintunya?”
Samantha membuka pintu dengan wajah yang terlihat sangat lelah.
“Apa yang terjadi, Sam?” Tanya Amira semandang lantai yang sudah berserakan pecahan kaca.
“Tidak apa-apa Bunda, nanti aku bereskan,” ucap Samantha seolah tidak terjadi apa-apa.
“Di bawah ada, dr. Hardi, ingin bertemu denganmu.”
“Dr. Hardi? Mau apa?” Tanya Samantha heran.
“Cuma mau ngobrol-ngobrol saja. Ayo, ikut Bunda ke bawah,” jawab Amira.
Tanpa banyak bantahan seperti biasanya, Samantha mengikuti langkah sang bunda.
Ada banyak pertanyaan yang dr. Hardi ajukan dan Samantha menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari sang Dokter dengan santai terkadang sedikit acuh.
Dr. Hardi memeberi rujukan agar Samantha dibawa ke psikiater dan labolatorium, untuk memastikan diagnosa dari dr. Hardi.
Semua saran dan arahan Dokter pun dijalani, Samantha sudah berda di titik pasrah dengan apapun yang dilakukan ayah dan ibunya, ia hanya menurut dan mengikuti seperti biasanya.
Psikiater terbaik dipilih Bram atas rekomendasi Armita, hasilnya cukup membuat kedua orang tua Samantha tercengang ternyata, Samantha positif mengidap Bipolar Depresif.
Bipolar tingkat dua, di mana pasien akan merasa sedih dan ketakutan. Bahkan, menyakiti diri sendiri dan rasa ingin bunuh diri.
Berbagai terapi psikologi diikuti Samantha. Konsumsi obat-obatan Antipisikotik pun ia lakukan. Samantha harus bisa menerima dirinya sendiri untuk memulihkan mentalnya. Semua butuh waktu yang tidak sebentar.
Samantha harus menyadari semua perlakuan keluarga dengan positif dan menurunkan sedikit egonya. “Kamu hidup di kelilingi orang-orang hebat, itu yang harus kamu syukuri” ucap psikolognya saat itu.
Hal itu Samantha sadari setelah ia berada jauh dari keluarganya, tempat baru yang dipilih sang ayah untuk memeberikan susana baru dalam hidupnya.
Kini Samantha masih dalam tahap proses menerima diri sendiri dengan bantuan para pisikolog yang membimbingnya.
***
Judul: “Samantha”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika ini juga merupakan seorang ibu ruah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.