ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Kamis (20/11/2025) – Artikel berjudul Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh” ini merupakan karya tulis Yuli Yana Nurhasanah yang akrab disapa Yuli dan aktif dalam dalam Komunitas Menulis “Muslimah Peduli Umat”.

Angka perceraian tinggi di tingkat nasional dan daerah. Di sisi lain, angka pernikahan menurun. Dalam beberapa tahun terakhir, angka perceraian mengalami kenaikan. Tren perceraian terjadi baik di usia pernikahan muda maupun usia senja (grey divorce).

Pada 2024, menurut data BPS, terdapat 308.956 kasus gugat cerai dan 85.652 kasus talak cerai. Semaraknya kasus gugat cerai menunjukkan perempuan kini memiliki keberanian untuk menentukan nasibnya di masa depan tanpa sosok pendamping. Kemandirian sosial membuat banyak perempuan berani mengajukan perceraian, merasa mampu secara ekonomi, dan bisa mengurus diri sendiri tanpa sosok pendamping.

pertengkaran
Ilustrasi: Pertengkaran rumah tangga – (Sumber: Arie/BJN)

Perceraian dipicu oleh berbagai faktor (pertengkaran, ekonomi, KDRT, perselingkuhan, judi, pinjol, dan lain-lain). Perceraian menyebabkan ketahanan keluarga runtuh dan generasi menjadi rapuh. Lemahnya pemahaman tentang makna rumah tangga dan kesiapan mental pasangan yang akan berumah tangga menjadi pemicu maraknya perceraian.

Pasangan muda dan pasangan lama tidak bisa dijadikan ukuran kelanggengan suatu rumah tangga. Fenomena ini memperlihatkan kehidupan rumah tangga di tengah sistem ekonomi yang rapuh, di mana beban ekonomi yang terus menghimpit, serta lapangan kerja yang sulit, menjadi pemicu pertengkaran, KDRT, pencarian solusi instan dengan pinjol, dan judi yang berujung pada perceraian.

Ini adalah potret sistemik dari retaknya institusi keluarga; masyarakat seakan kehilangan fondasinya. Keluarga yang semestinya menjadi benteng peradaban, tetapi faktanya, fenomena perceraian menyebabkan keluarga runtuh dan generasi menjadi rapuh.

Perceraian bukan hanya memisahkan dua orang dalam satu ikatan, tetapi juga berdampak pada dunia kecil anak-anak yang sudah tentu terguncang dengan adanya perceraian. Tidak sedikit anak korban perceraian yang mengalami kesepian, kehilangan sosok panutan, kecemasan berlebih, dan trauma psikologis. Mereka tumbuh dengan emosi yang tidak stabil, sulit membangun kepercayaan, dan kehilangan arah hidup sehingga menjadi generasi yang rapuh.

Banyak dampak negatif dari perceraian; ini bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga merupakan ancaman bagi regenerasi umat. Anak-anak tanpa keluarga yang utuh tumbuh tanpa keteladanan dan sosok panutan, tanpa kasih sayang. Hilangnya makna tanggung jawab melahirkan krisis moral dan sosial. Segelintir orang menganggap perceraian hanya masalah ekonomi dan komunikasi, tetapi masalahnya jauh lebih dalam, yaitu sistem sekuler kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan.

Saat ini pernikahan bukan lagi dipandang sebagai ibadah yang sakral, tetapi sebagai kontrak sosial yang bisa diputus kapan saja. Pendidikan agama menanamkan ketaqwaan dan tanggung jawab sebagai fondasi keluarga. Namun, hal tersebut hanya menjadi formalitas saja, di mana terdapat hedonisme, individualisme, dan kepuasan emosional yang bukan merupakan pengabdian spiritual. Paradigma sekuler kapitalis dalam sistem pendidikan, sistem pergaulan sosial, dan sistem politik ekonomi telah membuat ketahanan keluarga dan generasi lemah.

Dalam negara sekuler saat ini, terbukti tidak ada peran negara sebagai pelindung untuk keluarga; peran negara hanya sebagai regulator saja. Ada regulasi, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Pendidikan pranikah hanya formalitas saja, budaya permisif dibiarkan berkembang, dan bantuan ekonomi hanya bersifat sementara; fakta di lapangan tidak tepat sasaran.

Tanpa disadari, ada dimensi politik Barat yang melemahkan institusi keluarga Muslim melalui kesetaraan dan normalisasi gagasan-gagasan gender, serta liberalisasi seksual. Mengemas arus ideologi sekuler dalam bentuk media, pendidikan, dan kampanye terselubung dengan menekan kebebasan individu, serta mengabaikan tanggung jawab keluarga. Semua ini berdampak sistemik, sehingga membuka jalan bagi kontrol budaya dan ekonomi yang bebas, meruntuhkan ketahanan sosial, dan mengaburkan nilai-nilai agama, serta memandang pernikahan bukan lagi ikatan yang sakral, melainkan hanya kontrak sosial saja. Hal itulah yang membuat maraknya perceraian saat ini.

Dalam sistem Islam, keluarga adalah fondasi peradaban yang menentukan arah masyarakat, tidak dipandang sekadar urusan pribadi dua insan saja. Keluarga bukan hanya memberi tuntunan moral, tetapi juga menghadirkan sistem kehidupan yang menopang ketahanan keluarga, dimulai dari pergaulan, pendidikan, dan politik ekonomi.

Islam menjaga pergaulan sosial agar antar anggota keluarga dan masyarakat tetap harmonis, serta melindungi pergaulan masyarakat dari arus liberalisasi yang merusak. Islam tidak menormalisasi pacaran, pornografi, atau pornoaksi, dan zina. Aturan pergaulan dalam Islam bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan, agar keluarga lahir dari ketakwaan dan proses yang suci, sehingga melahirkan keharmonisan yang hakiki.

Dalam pendidikan Islam, individu dibina agar memiliki kepribadian Islam yang kokoh. Sejak kecil, anak-anak dididik dengan pola pikir dan pola sikap berakidahkan Islam, mengenal Allah sebagai Maha Pencipta, di mana kita wajib mentaati-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam pandangan Islam, suami istri adalah dua individu yang saling menunaikan hak dan kewajiban dalam bingkai ketakwaan dan keimanan. Dengan fondasi yang kuat, keluarga akan lebih siap menghadapi ujian pernikahan dan masalah kehidupan.

Dalam politik ekonomi Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya, dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, juga keamanan. Seperti nafkah dalam sebuah keluarga, yang dibebankan kepada suami bukan dalam bentuk penekanan, tetapi sebagai bentuk ibadah yang berpahala.

Di sini, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan dengan sistem ekonomi yang adil dan bebas riba. Sumber daya alam (SDA) dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Kesejahteraan keluarga dijamin oleh sistem politik ekonomi Islam sehingga setiap keluarga akan fokus membangun generasi yang beriman dan bertakwa.

Sejatinya, ketahanan keluarga tidak akan lahir dari sistem yang rusak. Dengan syariat pernikahan yang dijaga sebagai ikatan yang sakral, pendidikan yang berasaskan Islam menumbuhkan ketakwaan dan keimanan. Politik ekonomi Islam menopang kesejahteraan rakyat, dan negara hadir sebagai pelindung bagi seluruh rakyat.

***

Judul: Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh
Penulis: Yuli Yana Nurhasanah
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Yuli Yana Nurhasanah
Yuli Yana Nurhasanah, penulis – (Sumber: BJN)

Yuli Yana Nurhasanah atau  akrab dipanggil Yuli ini lahir di Ciamis, pada 8 Juli 1984. Menulis Opini Islam menjadi kegiatan kesehariannya beberapa bulan belakang ini. Semua ini berawal dari keprihatinannya terhadap realitas kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat saat ini.

Menulis opini dengan sudut pandang Islam mencoba menyuarakan pemikiran dan isi hati, mencoba membuka pemikiran, dan pemahaman umat melalui tulisan.

Wanita yang suka berpikir ini mulai menulis saat ia bergabung dengan Komunitas Menulis “Muslimah Peduli Umat”. Beberapa tulisan Yuli tentang berbagai topik sudah dimuat di media online. Ia juga aktif di media sosial Facebook dengan akun Yuli Yana Nurhasanah.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *