Cerpen “Anto dan Cermin Besar Berbingkai Langit”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Sabtu (26/07/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Anto dan Cermin Besar Berbingkai Langit” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Bertahun-tahun sudah Anto merantau mencari nafkah sembari menempa diri hidup di kota besar. Beberapa waktu lalu, setelah direstui Emak, dia pulang kampung. Dia ingin hidup tenang bersama Emaknya yang hidup sendirian menapaki usia tua.
Anto meninggalkan pekerjaannya di kota setelah dari hari ke hari merasa semakin tidak tega membiarkan Emaknya hidup sendiri. Sejak bayi, saat Anto masih tertatih-tatih belajar berjalan, wanita yang melahirkannya ditinggal pergi sang suami. Pamitnya berburu dollar ke luar negeri, tetapi hingga kini tidak pernah kembali.

Setelah ditinggal lakinya, Emak menghidupi Anto sendirian. Setahun dua tahun dia masih menunggu suaminya. Emak yakin dia pasti pulang menggendong sekarung intan berlian. Namun, seperti menunggu godot, lelaki yang pernah dipujanya itu tidak pernah datang menampakan batang hidungnya.
Berlalunya waktu menelan rasa rindunya, wanita ini tidak mikir lagi lelaki itu ada di mana dan hidup dengan siapa. Bahkan, sudah matipun dia tidak peduli lagi. Kembalinya Anto dari rantau mengobati luka hatinya. Dia sambut Anto dengan tangan dan hati terbuka.
Hampir setiap pagi Emak ngomong ke Anto, “Nak, itu sarapan dan kopi di meja dapur.”
“Ya Mak, terima kasih,” jawab Anto hampir setiap pagi pula.
Anto mulai menyukai lagi hari-harinya hidup di kampung. Demikian pula malam ini, malam purnama pertama setelah kembali tinggal bersama Emak. Sambil duduk di balai-balai depan rumah, Anto menikmati indahnya cahaya purnama yang terangnya mengalahkan lampu-lampu jalan..
Keindahan purnama malam itu membawa ingatan Anto terbang ke acara tasyakuran bertahun lalu di sini, di rumah Emak. Dia tidak akan lupa, kala itu rumahnya dipenuhi para tetangga. Mereka duduk bersila beralaskan tikar pandan mengelilingi aneka ragam hidangan.
Dengan riang hati, para hadirin menyantap penganan sambil minum kopi. Emak mengundang mereka untuk berbagi rasa bahagia, Anto, anak lelakinya, baru saja diwisuda dan menyandang gelar Sarjana.
Acara tasyakuran berlangsung meriah, disamping karena Anto punya banyak teman, juga karena acara itu menjadi arena kangen-kangenan. Rumah Emak riuh rendah oleh omongan tentang apa saja, dari ayam tidak pulang kandang hingga tetangga yang sering pulang malam.
Emak dan Anto bersukur, kebahagiaan mereka menular ke para tetangga. Bagi Emak ─ yang hanya pedagang sayur, tidak pernah bermimpi anaknya menjadi Sarjana. Dalam benaknya, hanya orang kaya di kota saja yang mampu meraih gelar tersebut.
Ternyata para tetangga pun berpikiran sama. Mempunyai anak yang lulus menjadi sarjana memang patut disukuri. Hadirin pun ramai berebut menyampaikan rasa ikut bahagia kepada Emak dan Anto.
“Selamat ya Mak.”
“Ikut senang Mak.”
“Wah, Emak memang hebat, Anto jadi Sarjana.”
Ada juga yang ngomong, “Ijazahnya asli kan Anto?”
Anto dan yang lain menjawab dengan ketawa terbahak-bahak menambah riuh suasana.
Suasana perlahan menjadi agak tenang ketika Ustaz Salim bersiap-siap memimpin doa sukur. Ustaz ini piawai membawakan suasana ramai berubah menjadi hening dan khusyuk. Hadirin pun kemudian dengan tenang mengikuti doa- doa. Begitu juga Anto.
Anto tidak mau kehilangan momen, “Aamiin ya Allah,” kata-kata ini diucapkannya penuh penghayatan di setiap ujung doa. Kedua telapak tangannya menengadah ke atas, tepat di depan dada. Matanya setengah terbuka menatap atap penuh syukur.
Dua daun telinganya seperti antena parabola, berusaha menangkap setiap potongan doa-doa untuknya. Lalu bibirnya menyambar dengan kata “aamiin” dan “aamiin” yang berarti “ya Allah kabulkanlah doa kami”. Anto tampak sangat khusyuk.
Kenangan itu melintas di kepala Anto seperti sinetron TV. Sambil memandang bulan purnama di langit dan minum kopi hitam, Anto melanjutkan kenangannya.
Anto ingat, saat itu Emak yang duduk di sebelahnya tertunduk, matanya tampak sembab. Sesekali diusapnya air mata di pipi menggunakan ujung kerudungnya. Emak meneteskan air mata bahagia, bangga, dan haru menjadi satu.
Emak tak kuasa menahan haru. Mampu membesarkan Anto dengan baik dan sehat saja sudah sangat bersukur. Keterbatasan membuatnya tidak pernah mampu memanjakan Anto.
Kadang timbul rasa sesal di hati Emak karena tidak pernah memberi uang jajan, tidak ada tamasya dan tidak ada kemewahan lain yang biasa dinikmati kawan sebayanya. Semua mainannya pun memanfaatkan yang ada di rumah.
Hanya satu hal yang Emak perhatikan dari perilaku si kecil ketika pergi bersama. Setiap melewati gedung sekolah, Anto selalu berhenti dan melihat keramaian di dalamnya.
Emak pernah bertanya, “Nak, kamu ingin sekolah?”
Anto hanya mengangguk pelan, pelan sekali.
“Nanti ya, kalau Anto sudah cukup umur,” kata Emak.
Mendengar itu, mata Anto berbinar-binar seperti pancaran kembang api di malam tahun baru. Ketika umurnya sampai, Anto ngomong ingin sekolah berpakaian seragam seperti teman-teman sebayanya maka segera saja Emak mendaftarkannya ke sekolah di dekat rumah.
Emak memilih jalan sendiri dalam membesarkan Anto. Anaknya tidak pernah disuruh apalagi dipaksa belajar. Biarlah anaknya belajar atas kemauannya sendiri. Dia hanya melatihnya berdagang mulai dari kecil.
“Nak, tolong ambil uang kembalian untuk Mak Minah,” kata Emak suatu hari atau, “Nak tolong timbangkan kacang hijau untuk kang Nasim.”
Atau lagi, “Nak tolong antar jagung ke Mang Ujang, pulangnya bawa beras ya.”
Anto belajar banyak dari membantu berjualan. Belajar hidup cermat, jujur, dan ramah. Juga belajar menghargai kerja keras.
Emak tidak pernah mengajarinya berhitung, membaca dan menulis. Ketika malam tiba, dia sudah keburu capek dan ngantuk. Hanya saja wanita kuat itu berusaha sebisanya mencukupi keperluan sekolah anaknya, apalagi dilihatnya Anto tidak pernah terlihat santai, ada saja yang dikerjakan untuk membantunya.
Kenangan terus bergulir, kadang melesat cepat kadang lambat. Anto merasa sedang bercermin, melihat tingkah lakunya sendiri di masa lalu.
Lalu Anto ingat, pada malam tasyakuran itu berlangsung khidmat dan hadirin tampak ceria. Jamuan yang sederhana pun habis dinikmati tamu. Dia dan Emak sama-sama terharu
Seusai acara satu-satu tamu mulai berpamitan. Masih segar dalam ingatan Anto dengan sumringah dia berdiri di depan pintu mengantar tamu-tamu pulang.
“Terima kasih Pak,” kata Anto mengantar salah satu tamunya pulang.
“Selamat ya Anto, sudah jadi sarjana. Semoga ilmunya membawa berkah,” kata lelaki yang berpamitan berikutnya.
Anto menjabat tangan tamu-tamunya dengan ramah sambil kadang berucap, “Mohon doanya ya Pak.”
“Semoga sukses Kang,” kata Darno, teman main bola, dilanjut, “Wah, gak bisa main bola lagi dong ya.”
“Kenapa emang?” Jawab Anto.
“Kan kamu sekarang sudah manjadi sarjana,” kata Darno.
“Ha … ha … ha, bisa dong. Presiden saja main bola,” jawab Anto, disambung ketawa ngakak bersama.
***
Malam purnama di kampung yang sejuk itu memang cocok untuk mengenang masa muda. Bulan semakin tinggi Anto lanjut bercermin.
Dia ingat Darno. Sudah sebulan di kampung, tetapi belum ketemu teman main bola itu. Kabarnya dia sekarang menjadi sopir bus pariwista, padahal mimpinya dulu ingin menjadi pilot.
Lain lagi dengan Mitro, teman main bola yang lain, kabarnya dia menjadi sekuriti pabrik, padahal dulu bermimpi ingin menjadi sersan. Katanya, sersan itu gagah dan ditakuti preman.
Ketika ditanya, “Mengapa tidak jenderal sekalian Tro?” Jawabnya, “Kalau Jenderal kan tidak ketemu Preman.”
Dalam hati Anto ketawa ngakak.
Teman sekolah paling cantik saat itu, Yanti, kini menjadi Guru TK. Katanya, dia cinta anak-anak. Mudah-mudahan itu benar-benar keinginannya yang tulus, bukan pelarian dari nikahnya yang sudah bertahun-tahun, tetapi belum dikaruniai anak.
Teman lain, Rudin, kini kulitnya berubah menjadi gelap dan kusam, padahal dulu terkenal ganteng dan berkulit bersih. Banyak kawan perempuan yang suka. Sekolahnya ternyata hanya sampai kelas dua SMA, padahal orang tuanya cukup kaya dan memberi semua yang dia minta, kendaraan, pakaian, dan segala macam mainan.
Hidup dimanja membuatnya berperilaku seenaknya. Tidak ada yang abadi. Saat orang tuanya bangkrut, Rudin tidak siap hidup mandiri.
Tidak ada kerja lain, Rudin menjadi tukang parkir di depan restoran. Kerja di lapangan membuat kulit bersihnya hilang berganti hitam kusam terbakar matahari. Ketika suatu hari ketemu, Rudin ngomong, “Aku nyesel To, tapi mau bagaimana lagi, yang penting halal kan?”
“Ya, kalau bisa sih pekerjaannya halal dan penghasilannya besar,” kata Anto.
“Ha … ha … ha,” ditaboknya Anto pelan.
Anto dan Rudin tidak ada dendam lagi, padahal dulu mereka pernah berkelahi gara-gara Rudin ngolok-ngolok, “Hai Anto, anak janda gaje.”
“Apa kau bilang?” kata Anto saat itu.
“Kau anak janda gak jelas, mau apa?” Rudin mengulangi olok-oloknya.
Tidak pikir panjang, Rudin diterjangnya. Mereka berdua bergumul sengit di rerumputan lapangan bola. Anto kalah besar, dua kali dipukul Rudin membuat dia langsung jatuh dan tersungkur di depan kaki Rudin.
Anto memang tersungkur, tetapi tidak merasakan sakit. Tidak ada air mata. Dia tetap tegar, bangkit, dan mau menerjang Rudin lagi, tetapi teman-teman melerai. Mereka tahu, Anto membela kehormatan Emak.
Masih banyak teman lain, apalagi dia hidup di kampung itu hingga SMA. Anto tidak begitu ingat yang lain .
***
Malam masih panjang. Kopi masih setengah cangkir. Di bawah purnama Anto merenungi perjalanan hidupnya. Dulu saat kecil, kalau ditanya cita-cita, dia selalu menjawab tidak punya. Dia memang tidak berani punya cita-cita.
Hidup dalam serba keterbatasan menghalanginya memasang mimpi. Hidupnya mengalir saja mengikuti irama hidup Emak. Beruntung Anto tidak ngawur karena Emak taat beribadah. Setiap selesai beribadah Emak duduk lama, entah doa apa yang dia panjatkan, Anto tidak pernah tahu dan tidak berani bertanya..
Dalam banyak kesempatan, Emak kadang memberi semangat hidup lewat dongeng atau bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Kadang juga memberi hadiah. Seperti suatu malam Anto terkejut ketika sedang asyik belajar menjelang ujian SD, Emak mendatanginya membawa sebuah bungkusan.
Kata Emak, “Nak, ini sepatu untuk sekolah di SMP nanti.”
Anto ternganga, “Mak., sepatu? Tapi kan?”
Emaknya tahu pasti akan ada penolakan dari anaknya. Dia pun sudah siapkan jawabannya, “Iya Nak, sepatu untuk kamu sekolah di SMP nanti.”
Gemetar Anto menerima bungkusan pemberian Emak.Bibirnya tidak kuasa ngomong, hanya punggung tangan emaknya yang dia raih lalu dia kecup berulang-ulang sampai basah. Basah karena kecupan bibir dan tetesan air mata yang tidak mampu Anto tahan.
Anto paham, pasti Emak sudah berusaha keras untuk membeli barang bagus ini. Sepatu bukanlah kebutuhan utamanya. Kata hati Anto, sebenarnya, biarlah kakiku telanjang tanpa sepatu seperti selama ini.
Namun akhirnya dengan suara terbata-bata karena haru Anto ngomong, “Mak, terima kasih, semoga Allah ganti dengan rizki yang melimpah.”
“Iya Nak. Aamiin,” lalu Emak balas kecup ubun-ubun Anto sembari ngomong, “Terima kasih Nak, terima kasih sudah menjadi anak yang nurut ya.”
“Iya Mak,” sambil masih memegang erat tangan Emak.
“Sudah malam Nak, tidurlah,” kata Emak.
Anto lalu bergeser sedikit dan meraih bantal, tetapi mendadak dia bangkit dan membuka bungkus sepatu. Dilihatnya alas kaki itu dari semua sisi, dari atas, bawah, dan memutar ke semua sisinya.
“Tapi aku kan belum lulus SD, bagaimana kalau,” belum selesai menyelesaikan omongan, dipotong oleh Emak.
“Itu artinya kamu harus lulus Nak,” kata Emak, disambung dengan nasehat, “Nak, berandai-andailah yang bagus, itu lebih baik dari pada membayangkan yang jelek.”
“Ya Mak,” kata Anto dengan tenggorokan tercekat, lalu kembali mencium tangan Emak, sambil mendesis, “Bagus sekali Mak.”
“Iya Nak, sudah tidur sana,” kata emak.
Anto kembali naik ke balai-balai dan mencoba memejamkan mata. Emaknya menyelimuti tubuhnya itu dengan sarung lalu pelan-pelan pergi.
Malam itu Anto muda tidak bisa langsung tidur. Tubuhnya berguling-guling ke kanan dan ke kiri. Bayangan sepatu barunya berputar-putar di kepalanya. Beberapa lama kemudian matanya terpejam dan nafasnya naik-turun dengan teratur. Tidur tanpa membawa beban.
Sebelum azan Subuh berkumandang Anto bangun dengan tubuh terasa lebih segar. Ngulet, putar badan ke kanan dan ke kiri pun rasanya segar. Beberapa detik kemudian dia terhenyak ingat sepatu barunya. Ia kembali tenang, sepatunya ada di atas meja.
Setelah itu tanpa disuruh Anto banyak menggunakan waktu bermainnya untuk belajar. Dia abaikan ajakan Darno, Rudin, Mitro, dan teman-teman lainnya bermain. Dia mau lulus SD dan masuk SMP dengan sepatu baru di kakinya..
Diam-diam sepatu menjadi sumber semangat Anto belajar sungguh-sungguh. Dia tidak mau mengecewakan Emaknya. Bukan hanya itu, Anto juga tidak mau Emak khawatir, takut dan susah. Dia hanya mau Emak percaya bahwa anaknya akan baik-baik saja dan akan menjadi orang sukses.
Seiring perjalanan menuju dewasa, hanya kegembiraan yang Anto perlihatkan pada Emak. Sesulit apapun masalahnya, dia berusaha tidak membuat Emak resah.
Hidup Anto sebenarnya juga tidak selalu mulus. Gelar Sarjana tidak membuatnya mudah mendapat pekerjaan di kota. Anto tidak ingat lagi berapa banyak kantor yang dia datangi. Anto juga tidak ingat berapa lama dia menunggu tapi tidak satupun ada yang memanggilnya.
Susah, padahal Anto orang yang pandai bergaul, otaknya encer, kreatifitasnya tinggi, dan ijazahnya asli. Anto tidak patah hati dan meyakini masih banyak tempat untuk mencari nafkah yang halal. Dia tak pedulikan suara adanya orang dalam dan tangan kotor, jahil dan serakah yang menghalangi.
Anto lalu mengawali hidup di kota besar bekerja serabutan. Pernah jadi kurir dan pelayan toko, tidur di masjid, tukang parkir persis seperti Rudin. Sifat rajin dan hemat membuatnya mampu menabung dan membangun kios untuk emaknya di kampung.
Sebelum pulang kapung Anto ngomong ke Emak, “Mak, aku pulang kampung, nanti kita kelola bareng kiosnya, mudah-mudahan bisa berkembang ya.”
Emak menjawab, “Alhamdulillah, kapan pulang Nak?”
***
Bulan bulat sempurna semakin condong ke Barat, Anto tunduk dan tidak berdaya menghadapi serangan kantuk lalu tertidur di balai-balai depan rumah. Tidur berselimutkan sinar bulan purnama.
Aroma sedap minuman kopi panas buatan Emak membangunkan Anto tepat menjelang subuh. Pelahan dia melangkah menuju sumur, berwudu dan siap-siap bersujud di masjid.
Anto bersiap merajut hari-hari barunya di kampung. Cermin kehidupannya masih panjang dan luas berbingkai langit.
***
Judul: Anto dan Cermin Besar Berbingkai Langit
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021, sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.
***