Suara dari Lorong Rumah Sakit: Sebuah Nama, Seribu Harapan
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Selasa (08/07/2025) – Artikel berjudul “Suara dari Lorong Rumah Sakit: Sebuah Nama, Seribu Harapan” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Langit pagi itu tampak pucat. Udara dingin menyusup hingga ke tulang. Di lorong rumah sakit yang belum sepenuhnya terbangun dari kesunyian malam, seorang petugas kebersihan bernama Ibu Ningsih menyeka lantai dengan gerakan pelan. Tangannya cekatan, meski ada sembab di matanya. Ia bukan sekadar bekerja, tapi ia sedang memikul harapan.

“Bu Ningsih, kok pagi-pagi udah datang?” Tanya Pak Reza, satpam senior yang baru saja mengganti seragam dinasnya.
Ibu Ningsih tersenyum tipis seraya menjawab, “Anak saya lagi dirawat di sini, Pak. Jadi sekalian kerja, sekalian nunggu kabar dari ruang perawatan.”
Pak Reza mengangguk. Ia tahu betul betapa dalamnya keterikatan orang-orang kecil seperti mereka dengan rumah sakit ini—RSUD Al-Ihsan, sebuah nama yang telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan mereka. Namun, pagi itu, ada bisik-bisik di antara para pegawai. Sebuah pengumuman yang tersebar diam-diam: nama rumah sakit itu akan diganti.
Bukan Sekadar Ganti Nama
Di ruang rapat kecil lantai dua, Ibu Direktur, dr. Meida memandangi para kepala bidang dengan mata teduh. Ia tahu, mengganti nama bukan hal sepele, bukan sekadar administratif.
“Teman-teman,” ucapnya, “kita akan menyambut perubahan. Tapi izinkan saya tekankan: ini bukan penghapusan sejarah. Ini adalah penegasan identitas baru, semangat baru, dan tanggung jawab baru kepada masyarakat.”
“Bagaimana dengan masyarakat yang sudah lekat dengan nama lama, Bu?” Tanya Pak Arman, Kepala kepegawaian, “Apakah mereka akan mengerti maksud perubahan ini?”
“Justru di situlah tugas kita,” jawab dr. Meida, “Menjelaskan, mendampingi, dan memastikan bahwa semangat ‘al-ihsan’—kebaikan dan keikhlasan—tetap hidup. Meskipun berubah nama, ruhnya tidak akan pernah hilang.”
Nama Boleh Berubah, Tetapi Pelayanan Tetap Harus Tulus
Sore itu, di taman kecil belakang rumah sakit, seorang anak kecil bernama Bima duduk di kursi roda. Di sebelahnya, Ayahnya—Pak Dadan, seorang guru honorer dari pelosok Majalaya—menatap langit.
“Yah, katanya rumah sakit ini ganti nama, ya?” Tanya Bima polos.
“Iya, Nak. Tapi jangan khawatir. Tempat ini tetap tempat yang menolongmu sembuh, kan?”
“Iya, Yah. Suster-susternya tetap baik. Dokternya tetap ramah.”
Pak Dadan mengusap kepala putranya, “Itulah yang penting, Nak. Nama bisa berubah, tapi kebaikan harus tetap tinggal di hati kita.”
Edukatif, Bukan Provokatif
Beberapa pihak mulai ramai membahas perubahan nama ini di media sosial. Ada yang bersikap netral, ada yang menyayangkan, dan tidak sedikit yang salah paham. Namun, para tenaga medis tetap fokus, tetap merawat, tetap menyambut dengan senyum, tetap mendampingi pasien dari detak pertama hingga hembusan napas terakhir.
Salah satu perawat muda, Dita, menulis di statusnya: “Kami bukan sekadar bekerja di tempat bernama. Kami melayani dengan hati. Nama boleh berubah, tapi cinta kami untuk masyarakat tak akan berganti.”
Penutup
Perubahan nama RSUD Al-Ihsan bukanlah akhir dari sebuah cerita. Ini justru adalah babak baru yang menuntut tanggung jawab lebih besar, etos kerja lebih tinggi, dan pelayanan yang lebih humanis. Dalam proses ini, masyarakat perlu diajak bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami.
Dan seperti kata Ibu Ningsih saat pulang kerja, sambil menatap rumah sakit dari kejauhan, “Mungkin nanti orang-orang akan menyebutnya dengan nama baru, tapi bagi saya, ini tetap rumah harapan. Rumah yang menyelamatkan anak saya dan itu takkan pernah berubah.”
***
Judul: Suara dari Lorong Rumah Sakit: Sebuah Nama, Seribu Harapan
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK