Tersandera Gaya Hidup: Dari Glamour ke Jeruji Besi
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Selasa (16/09/2025) – Artikel berjudul “Tersandera Gaya Hidup: Dari Glamour ke Jeruji Besi” ini merupakan karya original dari Yoyo C. Durachman, seorang penulis, pengarang, dosen, sutradara, dan budayawan Cimahi. Saat ini aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
Salah satu ciri dari kehidupan modern yang pada umumnya ditopang oleh sistem ekonomi kapitalis adalah “Gaya Hidup” (Life Styles) yang dianut oleh masyarakat di berbagai negara tertentu, termasuk Indonesia. Gaya Hidup ini terus dipelihara dan dikembangkan. Bahkan, sengaja dikontruksi dengan memakai berbagai perangkat teori agar sistem ekonomi kapitalis dengan ujung tombaknya industrialisasi bisa tetap berjalan.
Semboyan, apabila Anda mengkonsumsi satu produk kami maka Anda telah memberi makan satu keluarga pegawai kami, kerap berkumandang di media informasi. Oleh karena itu, Gaya Hidup secara faktual selalu dikonotasikan dengan sikap konsumtif. Segala sesuatu yang menjadi produk baru atau produk lama, tetapi baru dengan berbagai kemasannya diinformasikan melalui iklan di media masa seakan-akan penting dan harus dikonsumsi oleh masyarakat.

Apabila ada individu atau sekelompok masyarakat menolak hal ini maka stigma bukan manusia modern siap menanti. Hal ini terjadi karena gaya hidup membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukan kekayaan serta posisi status sosial.
Fashion, kuliner, travelling, otomotif, apresiasi seni baik yang populer maupun seni yang serius, kumpul-kumpul di suatu tempat ─ café, resto, bar, karaoke, dan lain-lain ─ dan tempat tinggal (rumah) adalah benda atau non bendawi yang menjadi obyek “Gaya Hidup”.
Sebenarnya, apabila dihadapi dengan sikap hidup yang positif dan pola berfikir yang kritis, Gaya Hidup ini paling tidak mendatangkan dua sisi yang positif dalam kehidupan. Pertama, Gaya Hidup bisa memberikan motivasi untuk senantiasa berkinerja baik dan maksimal dalam meraih cita- cita, terutama yang ada hubungannya dengan masalah sosial ekonomi. Kedua, Gaya Hidup bisa menjadi obyek sumber kreativitas.
Untuk merealisasikan Gaya hidup yang dianut pasti memerlukan biaya. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai salah satu atau beberapa dari obyek Gaya Hidup seperti yang dipaparkan di atas.
Kenapa mengikuti Gaya Hidup berbiaya mahal? Karena selain selalu dilahirkan model-model dan kemasan baru, juga berbagai produknya beredar di pasaran dalam intensitas waktu yang pendek.
Kita baru saja kemarin membeli dan mengkonsumsi sesuatu, bisa saja hanya dalam jarak hitungan mingguan produk baru sudah beredar meskipun perbedaannya tidak begitu jauh dengan produk yang telah dibeli. Oleh karena itu, untuk senantiasa bisa mengimbangi ini ketersediaan dana menjadi hal yang wajib dan berkinerja baik serta berprestasi dalam profesi adalah jawabannya.
Dari sisi lain, bagi mereka yang terlibat sebagai produsen karena didorong untuk senantiasa memenuhi kebutuhan Gaya Hidup dari konsumennya, mau tidak mau krerativitasnya harus dipacu untuk melahirkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan produk-produk yang dihasilkan oleh produsen lain sebagai kompetitornya.
Namun, di dalam kenyataan kehidupan sehari hari, dua sisi positif dari Gaya Hidup ini tidak jarang justru banyak diabaikan oleh masyarakat. Untuk memenuhi syahwat Gaya Hidup, banyak dari invidu yang dengan sadar atau pun tidak sadar menerabas koridor-koridor norma dan hukum yang berlaku, seperti korupsi.
Tidak jarang dari mereka yang harus berurusan dengan aparat hukum dan mendapatkan sangsi pidana yang sesuai dengan tingkat kesalahannya. Karena Gaya hidup ini berkaitan erat dengan masalah sosial ekonomi, bagi aparat negara dan institusi swasta yang banyak dilanggar adalah etika jabatan dan penyalahgunaan keuangan, sedangkan bagi mereka yang berada di wilayah privat swasta adalah pelanggaran norma dan susila.
Akhir-akhir ini kita kerap mengkonsumsi berita tentang pejabat publik yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diciduknya oleh aparat keamanan di sebuah hotel mewah berbintang lima. Beberapa perempuan yang diidentifikasi sebagai celebrity ditangkap karena terlibat prostitusi online, meviralkan video porno yang mirip artis ternama, dan masih banyak contoh-contoh peristiwa lainnya yang mempunyai hubungan dengan upaya memenuhi Gaya Hidup.

Apabila dicermati melalui pemberitaan yang ada, mereka yang bermasalah ini berhubungan dengan pemenuhan obyek Gaya Hidup. Mengoleksi beberapa mobil dan barang mewah, travelling ke luar negri, santap malam di restoran mewah, hotel berbintang lima, dan lain lain yang serupa. Apabila lebih dicermati, pada umumnya dari mereka yang mempunyai kasus penghasilan nyatanya tidak seimbang dengan Gaya Hidup-nya.
Untuk lingkungan masyarakat tertentu, pengkonstruksian Gaya Hidup ini tidak hanya dalam perspektif ekonomi, tetapi juga dalam sosial budaya dengan dibentuknya kelompok-kelompok, komunitas, lingkaran pergaulan baik profesi maupun hobi, serta seni dan budaya.
Sebagai salah satu contoh, sejarah kesenian menginformasikan bahwa karya seni yang diberi lebel bernilai estetika tinggi dan berbudaya adiluhung, pada masa lalu merupakan hasil pengkontruksian Gaya Hidup dari kaum aristokrat dan borjuis.
Individu tertentu akan merasa status sosialnya naik dan terpandang apabila menonton karya seni dan menghadiri peristiwa budaya yang diselerai oleh kaum aristokrat dan borjuis itu. Sampai sekarang hal itu masih terus berlanjut, kendati tidak hanya terbatas pada karya seni dan kebudayaan klasik. Namun, juga termasuk pada karya seni dan kebudayaan pop.
Dari paparan singkat di atas, intinya Gaya Hidup itu memerlukan biaya. Hanya individu- individu yang mempunyai penghasilan yang sepadan dengan Gaya Hidup-nya yang mampu menikmati dengan nyaman. Namun, bagi mereka yang tidak mampu, kehidupan yang rumit siap menanti, kalau tidak masuk penjara maka sangsi sosial dari masyarakat akan menimpa. Oleh karena itu, Gaya Hidup ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana, serta kritis. (Yoyo C. Durachman).
***
Judul: Tersandera Gaya Hidup: Dari Glamour ke Jeruji Besi
Penulis: Yoyo C. Durachman
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang Penulis

Yoyo C. Durachman adalah seorang seniman dan budayawan Cimahi yang multitalenta. Pria kelahiran Bandung, 21 September 1954 ini dikenal sebagai dosen, aktor, sutradara, penulis, pengarang, dan budayawan.
Selama karirnya dalam dunia teater, tidak kurang dari 30 pementasan telah dilakukan Yoyo dengan kapasitas sebagai sutradara, pemain, penata pentas, konsultan, dan pimpinan produksi. Naskah drama berjudul “Dunia Seolah-olah” adalah naskah drama yang ia tulis dan dibukukan bersama naskah drama lain milik Joko Kurnain, Benny Johanes, Adang Ismet, Arthur S. Nalan, dan Harris Sukristian.
Pensiunan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini kini sering diundang sebagai juri maupun sebagai narasumber diberbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu, Yoyo juga aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
***