Tak Lagi Andalkan Sumber Daya Alam Lokal, Jabar Siapkan Kekuatan Budaya Global
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Jumat (01/08/2025) ─ Artikel berjudul “Tak Lagi Andalkan Sumber Daya Alam Lokal, Jabar Siapkan Kekuatan Budaya Global” ini ditulis oleh Ina Agustiani, S.Pd. yang sehari-hari bekerja sebagai aktivis pendidikan dan pegiat literasi.
Pada Pekan Kerajinan Jawa Barat 2025 di Kota Bandung pada Jumat 18 Juli 2025 lalu, Gubernur Dedi Mulyadi mengatakan dalam sambutannya bahwa peradaban bangsa tidak bisa hanya diukur dari melimpahnya kekayaan alam, tetapi bangsa yang besar adalah yang mampu mengoptimalkan potensi budaya dan estetika secara kreatif dan berkelanjutan.
Dedi berpendapat bahwa ada empat indikator yang merepresentasikan kualitas peradaban bangsa yaitu makanan, pakaian, seni, dan sastra. Keempat hal ini tumbuh berkembang menjadi besar tanpa harus mengeksploitasi sumber daya alamnya. Cita-cita besar gubernur menjadikan Jawa Barat sebagai episentrum peradaban berbasis budaya dan estetika, bukan hanya kawasan industri semata sehingga Jabar siap hadir di panggung dunia.
Gubernur Dedi Mulyadi atau biasa disapa Kang Dedi Mulyadi atau KDM melihat cita rasa budaya kuliner khas, fashion tradisional, bahasa dan ekspresi seni perlu dikembangkan sebagai bagian dari identitas kuat masyarakat Jabar, jika dibarengi dengan teknologi akan jadi bangsa yang kuat menguasai dunia. Penataan ruang hidup, artistektur warung estetis, revitalisasi rumah panggung khas Sunda jadi ikon desa wisata, itulah harapan dari destinasi pariwisata yang akan mendongkrak pendapatan daerah, termasuk sentuhan ekonomi (fashion, kuliner dan kerajinan tangan).

Sementara di dunia internasional, Kepala Bidang Pengembangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Barat (Jabar) , Mochammad Lukmanul Hakim menuturkan bahwa Jabar menjadi provinsi dengan ekspor terbesar secara nasional yaitu 13,76 persen, dan sedang menurun pada periode ini. Namun, tetap optimis walaupun keadaan lebih berat untuk mendongkrak ekspor Jabar supaya tembus ke mancanegara. Terutama dari produk ekraf andalan seperti kulit, furnitur serta olahan bambu.
Dana Khusus Jadi Incaran Korupsi
Wacana “sumber daya budaya” telah digalakan dan desa wisata menjadi harapan dari rencana pembangunan Jabar. Namun, melihat fakta dana desa wisata ini menjadi lahan basah untuk melancarkan korupsi bagi pejabat yang tak bermoral dan tak amanah.
Contoh di Kabupaten Sleman, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman menyelidiki ada dugaan korupsi dana hibah pariwisata mencapai nilai Rp10 miliar. Kejari Aceh menetapkan dua tersangka korupsi proyek pembangunan Taman Wisata Gampong Aneuk Laot total Rp385,8 juta dari sumber dana desa.
Tujuan desa wisata mempercepat pertumbuhan ekonomi agar berkurangnya kemiskinan dan pengangguran, nampak masing angan-angan. Pelestarian alam dan memaksimalkan potensi wisata, dalam pengekseskusiannya tidak jelas peruntukannya akhirnya disalahgunakan untuk korupsi. Namun, hal yang lebih parah korupsi dilakukan berjamaah. Mulai dari kepala desa, stake holder terkecil sampai tingkat kepala daerah tingkat provinsi.
Ini sejalan dengan konsep Penta Helix yakni unsur pemerintahan, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas dan media bersatu padu berkoordinasi mengembangkan inovasi pengetahuan yang dikapitallisasi, padahal negara sendiri tidak mengoptimalkan peran pejabat negara untuk menjadikan sumber daya alam (SDA) jadi pemasukan utama, mengandalkan pajak dari pariwisata sebagai penggerak ekonomi negara.
Sistem kapitalis yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak, para pejabat diberi amanah, tetapi tak mampu mengembannya, godaan duniawi terlalu menggiurkan untuk seseorang yang jujur. Naamun, apa yang terjadi adalah apapun programnya tetap rakyat kecil yang menderita, sehebat apapun pemerintah menerapkan rencana jika di dalamnya dijalankan oleh orang-orang yang tidak bisa dipercaya, maka kehancuran negara tetap akan terjadi.
Pembangunan dalam Sudut Pandang Islam
Dalam Islam, pembangunan harus pada tahap menyejahterakan rakyat merata dari desa terpencil sekalipun hingga kota besar metropolitan dengan ciri khas ruang sosial dan pola hidup ala kental dengan aturan Islam.
Dengan cirinya, yaitu pembangunan adalah bentuk pelayanan dari penguasa pada rakyatnya, bukan transaksi jual beli ala kapitalisme. Kepala negara dan pemimpin di bawahnya punya kewajiban menyejahterakan rakyatnya menjamin seluruh kebutuhan dalam semua aspek hidup.
Kemudian pembangunan (desa), tanpa ada investasi atau utang dari swasta, diambil dari kas baitulmal, sehingga akan berfokus pada kemaslahatan umat bukan pengusaha.
Negara juga perlu melihat kebutuhan khas desa dan kota, desa dengan lahan luas, ada hasil pertanian, perkebunan, perikanan cocok dengan pengembangannya, pengentasan kemiskinan akan dioptimalkan dari produksi pertanian, perkebunan, kuliner, kriya dan sebagainya sesuai dengan kondisi budaya di daerahnya. Budaya harus menyesuaikan dengan syariat, jika tradisi budaya ini bertentangan dengan syariat maka negara akan tegas menghilangkan bagian ini.
Sumber pemasukan pembangunan akan diperoleh dari baitulmal untuk menopang pembangunan, apalagi pembangunan menggunakan bagian dari pos kepemilikan umum. Swasta tidak boleh ikut andil dalam pengelolaan SDA karena keuntungan yang didapat harus dikembalikan pada rakyat dalam bentuk fasilitas umum, bisa terbayang jika ada andil swasta, negara harus membagi keuntungan rakyat seluruhnya dengan segelintir orang.
Jika sudah terpenuhi segala sarana pembangunan, maka tata kelola negara di wilayah manapun akan tetap menyejahterakan rakyatnya, hidup di kota dan desa adalah pilihan yang tidak ada unsur pembandingnya karena ada pemerataan ekonomi.
Penguasa yang menjadikan jabatannya bervisi dunia akhirat, dari pusat maupun daerah semua berlomba memberikan kinerja terbaik karena jabatan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak, bukan ajang memperkaya dan mengamankan aset dirinya.
Sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 96).
Menjadikan kesenian dan budaya sebagai standar peradaban yang maju tidaklah menjadi tolak ukur keberhasilan suatu tempat apalagi jika standarnya buatan manusia maka nilai-nilai moral tidak sama, apalagi syariat dimana ada kepentingan dan menghasilkan nilai ekonomi yang membuat agama dikesampingkan dan menjadi tidak penting sehingga terkadang menjadi batu sandungan (sulit untuk maju). Oleh karena itu, menjadikan ideologi yang shahih yaitu Islam dan sejalan dengan syariat, bukan hanya kemajuan dengan standar dunia tetapi sejalan dengan visi Islam.
Adapun pariwisata tujuannya adalah untuk sarana dakwah, objek wisata dibuat untuk membuat muslim/non muslim takjub pada kebesaran Allah dengan melihat alam sekitar bertambahlah keimanannya pada Dzat Pencipta.
Tempat rekreasi bukanlah dipakai meraih keuntungan apalagi menjadi penopang pemasukan negara, inilah perbedaan mendasar sistem kapitalis dan Islam. Negara tidak akan membuat sektor ini menjadi lahan bisnis. Tetap yang menjadi sumber pemasukan adalah pada sumber daya alam yang dihasilkan oleh daerah itu, dan itu tanggung jawab murni para pemimpin. Wallahu Alam. (Ina Agustiani).
***
Judul: Tak Lagi Andalkan Sumber Daya Alam Lokal, Jabar Siapkan Kekuatan Budaya Global
Penulis: Ina Agustiani, S.Pd.
Editor: JHK
Sekilas Penulis

Ina Agustiani, S.Pd. adalah seorang penulis wanita yang aktif sebagai pendidik dan pegiat literasi di Jawa Barat. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa online, di antaranya tulisan berjudul “Putus Sekolah Putus Harapan: Jabar Tertinggi” yang dimuat di media online inijabar.com pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Tulisan Ina Agustiani, S.Pd. lainnya berjudul “Derita Keluarga dan Pendidikan di Masa Pandemi” yang terbit di media online radarindonesianews.com pada 29 Desember 2020. Tulisan ini dibuat saat wabah Pandemi Covid-19 sedang melanda Indonesia. Kemudian tulisan berjudul “Merdeka Belajar, Tapi Tak Merdeka Kritik” yang terbit pada 10 November 2020 di media yang sama.
Kemudian tulisan tentang pendidikan berjudul “Saat Kisruh Zonasi Masih Mendominasi” terbit di Suara Muslimah Jabar pada 29 Juli 2023 dan tulisan berjudul “Sawang Sinawang Turunnya Kemiskinan di Jawa Barat” yang terbit di media online terasjabar.co pada 2 Agustus 2023.