ArtikelBerita Jabar NewsBJNFeature

Sutirah dan Bahasa Binatang: Perempuan Penjinak Alam dari Priangan

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Jumat (22/08/2025) – Esai berjudul “Sutirah dan Bahasa Binatang: Perempuan Penjinak Alam dari Priangan” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Di sebuah desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan semilir angin pegunungan Priangan, lahirlah seorang anak perempuan yang kelak akan dikenal bukan karena gelar, bukan karena darah bangsawan, melainkan karena kemampuannya berbicara dengan makhluk yang tak bersuara. Namanya Sutirah. Ia lahir pada 1863, di Bandung yang kala itu masih berselimut kabut pagi dan aroma tanah basah.

Sejak kecil, Sutirah tidak bermain boneka atau berlari mengejar layang-layang seperti anak-anak lain. Ia lebih senang duduk di bawah pohon jambu, mengamati ayam yang bertengkar, kambing yang mengembik, atau kerbau yang termenung di kubangan. Ia tidak sekadar melihat—ia mendengar. Ada bahasa yang tak terdengar oleh telinga biasa, tetapi masuk ke relung batinnya, yaitu bahasa binatang, bahasa alam.

Sutirah
Sutirah – (Sumber: Facebook)

Orang-orang desa menyebutnya memiliki “sentuhan ajaib.” Seekor kambing yang tak mau makan, ayam yang tak bertelur, atau kerbau yang mengamuk, bisa tiba-tiba berubah menjadi tenang dalam pelukannya. Ia tidak menggunakan mantra atau jampi-jampi. Ia hanya berbicara dengan lirih dan lembut, seolah memahami luka yang tak terlihat. Sutirah menjadi penjaga ternak, bukan karena perintah, tetapi karena panggilan jiwa.

Berita tentang anak perempuan yang bisa menenangkan hewan menyebar dari satu desa ke desa lain. Hingga suatu hari, datang utusan dari sebuah perkebunan teh di Jawa Barat. Para pemetik teh resah oleh kemunculan macan tutul yang kerap mengganggu. Mereka tidak ingin membunuh, tetapi juga tidak tahu cara mengusir. Oleh karena itu, Sutirah pun dipanggil oleh mereka untuk mengatasinya.

Sutirah datang tanpa senjata. Hanya membawa keberanian dan keyakinan. Di tengah kebun yang sunyi, ia berdiri di hadapan sang macan. Tidak ada ketakutan di matanya, hanya rasa hormat. Ia berbicara, bukan dengan kata, tetapi dengan hati. Macan itu yang selama ini dianggap ancaman, perlahan mundur dan menghilang ke rimbunan hutan. Tanpa luka. Tanpa perlawanan.

Keberhasilan itu membuka jalan baru. Pemerintah kolonial, yang biasanya memandang rendah penduduk pribumi, kini menaruh hormat. Sutirah direkrut ke Dierenbescherming Agentschappen ─ sebuah lembaga pengawasan hewan. Di sana, ia menangani konflik antara manusia dan satwa liar, menjaga keseimbangan ekosistem, dan menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia binatang.

Namun, perjalanan Sutirah tidak berhenti di situ. Ia bertemu Carl Wilhelm Weber, seorang ahli zoologi dari Eropa. Weber, yang terbiasa dengan metode ilmiah dan klasifikasi, terpesona oleh pendekatan intuitif Sutirah. Mereka menjelajahi Nusantara bersama: Lombok, Sulawesi, dan Tanimbar. Dalam perjalanan itu, Sutirah membantu mengidentifikasi berbagai jenis hewan vertebrata. Ia tidak membaca buku, tetapi membaca gerak dan suara. Ia tidak mencatat dengan pena, tetapi dengan ingatan yang tajam dan hati yang peka.

Potret dirinya menggendong buaya menjadi simbol yang melampaui keberanian. Ia tidak menaklukkan, ia merawat. Ia tidak menguasai, ia memahami. Di zaman ketika perempuan hanya dianggap pelengkap, Sutirah berdiri sebagai pelopor. Ia membuka jalan bagi perempuan untuk berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, dalam konservasi, dalam hubungan yang lebih manusiawi dengan alam.

Sutirah bukan sekadar pawang. Ia adalah penjaga keseimbangan. Ia adalah suara bagi yang tak bersuara. Ia adalah bukti bahwa ilmu tidak selalu lahir dari buku, tetapi juga dari cinta dan kepekaan.

Di tengah dunia yang semakin bising, kisah Sutirah menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kadang untuk memahami alam, kita hanya perlu diam dan mendengarkan.

***

Judul: Sutirah dan Bahasa Binatang: Perempuan Penjinak Alam dari Priangan
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Didin Tulus
Didin Tulus, Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Aktifitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *