ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniSosial

Sumpah Pemuda yang Bisu: Refleksi atas Hilangnya Gebyar di Hati Generasi Muda

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Rabu (29/10/2025) – Artikel berjudul “Sumpah Pemuda yang Bisu: Refleksi atas Hilangnya Gebyar di Hati Generasi Muda” ini ditulis oleh Fuadi yang sehari-harinya bekerja sebagai Dosen Universitas Pamulang (UNPAM), Serang, Provinsi Banten.

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia seakan memasuki sebuah rutinitas tahunan yang hampa. Upacara dan pidato tentang Sumpah Pemuda digelar. Namun, gaungnya seolah lenyap ditelan bumi, tidak menyentuh relung hati yang paling dalam dari generasi muda masa kini.

Terdapat sebuah kesenjangan yang mencemaskan antara gegap gempita peringatan seremonial di permukaan dengan keheningan yang menyelimuti pemahaman dan emosi kaum muda. Ikrar suci yang dahulu dibacakan dengan napas revolusi dan tekad membara itu, kini berisiko menjelma menjadi sekadar rangkaian kata usang dalam buku pelajaran sejarah. Realitas inilah yang memantik keprihatinan mendalam: di mana sebenarnya letak semangat Sumpah Pemuda itu bersemayam hari ini?

Fuadi, dosen Unpam Serang
Fuadi, Penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Akar persoalan ini merambat jauh ke dalam tanah yang gersang akan pemaknaan. Bagi banyak pemuda, Sumpah Pemuda telah tereduksi menjadi sebuah fragmen sejarah yang wajib dihafal, bukan sebuah cermin nilai untuk bercermin.

Para pemuda diajarkan tentang “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”, tetapi mereka jarang diajak berdialog tentang apa arti “Kebangsaan” pada era globalisasi ini. Juga tentang bagaimana wujud “Persatuan” di tengah gempuran polarisasi politik, atau relevansi “Bahasa” Indonesia di dunia digital yang dipenuhi slang dan bahasa asing. Pendidikan kita sering gagal menjahit benang merah yang kokoh antara semangat 1928 dengan tantangan kekinian yang dihadapi pemuda.

Gelombang media sosial dan budaya instan memperparah jarak ini. Pada saat yang seharusnya ruang digital menjadi kanal untuk menyebarkan virus patriotisme. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Perhatian generasi muda dengan mudah tersedot oleh tren #challenge yang viral, drama selebriti, atau konten-konten hiburan ringan yang berlalu dalam hitungan jam.

Pesan-pesan mendalam tentang persatuan, pengorbanan, dan cinta tanah air kalah bersaing dengan kebisingan digital yang tidak substantif. Ruang batin mereka telah demikian penuh, menyisakan sangat sedikit celah untuk merenungkan makna sebuah ikrar yang mengubah jalannya sejarah.

Tekanan sosio-ekonomi yang semakin kompleks juga menjadi dinding pembatas yang kokoh. Di tengah bayang-bayang tingginya angka pengangguran, biaya hidup yang melambung, dan persaingan karir yang ketat, energi dan pikiran pemuda secara alamiah lebih tercurah untuk memikirkan kelangsungan hidup diri sendiri dan keluarga.

Pertanyaan, “Apa yang bisa saya makan besok?” Seringkali lebih mendesak daripada pertanyaan, “Apa kontribusiku untuk persatuan bangsa?”

Dalam situasi survival seperti ini, idealisme Sumpah Pemuda terasa seperti kemewahan yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang sudah mapan. Namun, di balik lapisan kabut pesimisme ini, penting untuk diingat bahwa generasi muda masa kini bukanlah generasi yang apatis. Mereka adalah generasi yang paling terdidik, terhubung, dan kritis dalam sejarah.

Potensi dan energi untuk membangkitkan semangat Sumpah Pemuda itu masih ada, tersimpan rapat bagai bara dalam sekam. Tantangannya bukanlah pada tidak adanya semangat, melainkan pada bagaimana menyalurkan energi kritis dan kreatif mereka ke dalam saluran yang selaras dengan semangat persatuan dan kebangsaan.

Langkah pertama untuk membunyikan kembali Sumpah Pemuda yang bisu adalah dengan merevolusi cara kita memperingatinya. Daripada sekadar upacara yang kaku dan monolog, peringatan harus diubah menjadi sebuah festival pemikiran dan aksi.

Bayangkan sebuah peringatan yang diisi dengan forum diskusi tentang isu-isu aktual seperti kesenjangan digital, krisis iklim, atau masa depan demokrasi, yang dibingkai dalam semangat “Satu Nusa”. Atau kompetisi proyek kewirausahaan sosial yang menantang pemuda untuk menciptakan solusi nyata bagi masalah bangsa, sebagai wujud dari “Satu Bangsa”.

Selain itu, kita harus dengan sengaja menciptakan ruang berekspresi yang membuat nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi relevan. Komunitas-komunitas muda berbasis minat—mulai dari teknologi, seni digital, olahraga, hingga advokasi—harus didorong untuk menjadikan semangat kolaborasi dan persatuan sebagai nilai inti. Dalam ekosistem komunitas yang sehat, pemuda tidak hanya menemukan identitasnya, tetapi juga belajar arti solidaritas dan sinergi yang merupakan jiwa dari ikrar 1928.

Media sosial, yang selama ini menjadi rival perhatian, justru harus direbut dan dijadikan medan perang baru untuk membangkitkan semangat. Alih-alih menjadi konsumen pasif, generasi muda perlu didorong untuk menjadi produsen konten yang kreatif.

Kampanye digital dengan hashtag #SumpahPemudaZamanNow, video pendek yang menceritakan inspirasi dari para pejuang muda, atau gerakan kolaborasi daring yang masif dapat menyebarkan semangat tersebut dengan bahasa dan medium yang mereka kuasai.

Lebih dari segala wacana, semangat Sumpah Pemuda harus diwujudkan dalam aksi nyata yang berdampak langsung. Rasa kepemilikan terhadap bangsa akan lahir ketika pemuda turun tangan dan melihat kontribusinya membuahkan hasil.

Kegiatan membangun perpustakaan digital di daerah terpencil, gerakan membersihkan sungai, program bimbingan belajar untuk anak marjinal, atau inisiatif mempromosikan budaya lokal—semua ini adalah Sumpah Pemuda dalam aksi. Inilah “laboratorium” di mana ikrar abstrak berubah menjadi pengalaman konkret.

Dalam proses kontribusi langsung ini, sebuah siklus virtuosa akan tercipta. Ketika seorang pemuda melihat bahwa usahanya—sebagai bagian dari “Satu Bangsa”—mampu menciptakan perubahan kecil. Ia akan merasakan kepuasan dan makna yang mendalam.

Perasaan inilah yang menjadi bahan bakar untuk terus terlibat. Keyakinan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah narasi besar persatuan dan pembangunan akan tumbuh, mengubah rasa nasionalisme dari yang abstrak menjadi personal dan membumi.

Akhirnya, tanggung jawab untuk membunyikan kembali Sumpah Pemuda tidak boleh dibebankan hanya pada pundak generasi muda. Pemerintah, dunia usaha, institusi pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung. Dukungan ini bukan hanya berupa pendanaan, tetapi juga kepercayaan, pelimpahan tanggung jawab, dan pengakuan.

Berikanlah pemuda kesempatan untuk memimpin dan mengambil inisiatif. Melalui pengalaman memimpin dan bertanggung jawab inilah karakter pemersatu bangsa akan ditempa. Oleh karena itu, membangkitkan semangat Sumpah Pemuda bukanlah tentang mengenang masa lalu dengan nostalgia, melainkan tentang menghidupkannya kembali dalam konteks kekinian.

Ini adalah kerja kolektif untuk menerjemahkan ikrar luhur itu menjadi aksi nyata yang menjawab tantangan zaman. Dengan pendekatan edukasi yang hidup, penciptaan ruang ekspresi yang relevan, pemanfaatan media digital yang cerdas, dan pendorongan aksi kontributif yang berdampak, kita dapat mengubah kebisuan itu menjadi sebuah orkestra semangat yang bergemuruh.

Pada akhirnya, Sumpah Pemuda itu sendiri adalah bukti bahwa ketika pemuda bersatu dan bergerak, perubahan besar adalah keniscayaan. Semangat itu tidak pernah mati; ia hanya menunggu untuk dibangkitkan dengan cara yang sesuai dengan zamannya. (Fuadi)

***

Judul: Sumpah Pemuda yang Bisu: Refleksi atas Hilangnya Gebyar di Hati Generasi Muda
Penulis: Fuadi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *