ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Suara dari Hutan Terpencil: Siapa yang Mendengar?

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Sabtu (19/07/2025) – Artikel berjudul “Suara dari Hutan Terpencil: Siapa yang Mendengar?merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Hening menyelimuti pagi itu di sebuah desa kecil di kaki Gunung Halimun, Jawa Barat. Kabut turun pelan-pelan menutupi ladang-ladang dan rumah kayu sederhana milik warga. Di tengah sunyi, seorang lelaki tua duduk bersila di beranda rumahnya, memandang lebatnya hutan yang mulai menipis di ujung pandangan matanya.

Foto Ummu Fahhala
Ummu Fahhala – (Sumber: Koleksi pribadi)

Namanya Pak Amir. Usianya lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya kurus, tapi sorot matanya tajam. Ia lahir dan besar di desa itu. Hidupnya sangat bergantung pada hutan: airnya, udaranya, dan buah-buahannya.

Hari itu, ia mendengar kabar yang sempat membuatnya diam cukup lama. Pemerintah provinsi bekerja sama dengan para pengusaha untuk membangun wilayah terisolir seperti desanya. Hutan akan dibuka. Jalan akan dibangun. Mesin-mesin besar akan masuk.

“Pak Amir, Bapak senang tidak? Katanya nanti kampung kita bisa lebih maju,” tanya Rani, cucunya, polos.

Pak Amir tidak langsung menjawab. Ia memandang jauh, menarik napas dalam-dalam.

“Kemajuan itu seperti pisau, Nak,” jawabnya pelan, “Kalau yang menggunakannya orang baik, bisa dipakai masak. Tapi kalau yang memakainya orang serakah, bisa melukai dan menimbulkan bahaya.”

Rani terdiam. Tak mengerti, tapi hatinya ikut gelisah.

Antara Harapan dan Kekhawatiran

Warga kampung mulai berbincang. Ada yang berharap desanya menjadi seperti kota. Ada yang khawatir mereka akan tersingkir dari tanah sendiri.

Pak Amir memilih diam. Namun, malam itu ia menggelar tikar, mengundang beberapa tetua kampung.

“Saya dengar pemerintah akan bangun jalan, sekolah, dan rumah sakit. Tapi, siapa yang akan bangun? Siapa yang akan punya hak atas tanah ini setelah dibuka?”

Kakek dan cucu
Ilustrasi: Pak Amir sedang berbincang-bincang dengan Rani, cucunya, perihal rencana pembangunan di desanya – (Sumber: Arie/BJN)

“Pengusaha, Pak,” jawab seorang pemuda, “Mereka yang danai proyeknya.”

“Tapi apakah mereka juga akan jaga air kita? Tanah kita? Kuburan nenek moyang kita?” Tanya Pak Amir lirih.

Esoknya, seorang pejabat datang. Ia menjelaskan rencana besar itu: pembangunan jalan, pembukaan hutan, dan proyek pemberdayaan ekonomi.

“Kami ingin warga desa maju dan tidak tertinggal lagi,” ucap sang pejabat.

Pak Amir mengangguk. Lalu, ia berdiri dan bertanya dengan suara pelan. Namun, dalam.

“Pak, siapa yang pegang kendali proyek ini? Kami atau mereka?”

“Pemerintah dan pengusaha, Pak,” jawab sang pejabat mantap.

“Kalau begitu,” ujar Pak Amir, “Kami hanya penonton yang ditonton sambil dipuji, lalu ditinggalkan.”

Islam Pernah Menjawab Tantangan Ini

Pak Amir teringat cerita ayahnya dulu tentang kepemimpinan Umar bin Khattab. Bagaimana beliau membangun jalur-jalur air di pedalaman, membuka jalan distribusi tanpa menyerahkan hutan kepada pedagang.

Rasulullah Saw pun, ketika membangun peradaban di Madinah, tidak pernah menjadikan pemilik modal sebagai penentu arah pembangunan. Semua dilakukan atas dasar amanah dan pelayanan. Beliau bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Islam tidak hanya menawarkan pembangunan fisik, tetapi juga memastikan keadilan dalam pengelolaan sumber daya. Negara dalam sistem Islam tidak menjual hutan kepada pemodal, tapi menjaganya sebagai titipan dari Allah Swt. untuk seluruh rakyat.

“Dan Kami telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi, supaya Kami melihat bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus: 14).

Generasi yang Harus Melek Arah

Di malam sunyi, Rani mendekati kakeknya. Ia baru belajar tentang tanggung jawab seorang pemimpin dari buku pelajaran agama.

“Kalau Rasul saja jaga umatnya tanpa minta bayaran, kenapa sekarang harus tunggu pengusaha dulu, Kek?”

Pak Amir tersenyum, “Bisa jadi kita lupa siapa yang seharusnya dilayani dan siapa yang melayani.”

“Kalau begitu, kita harus ingatkan ya, Kek?”

Pak Amir menatap langit yang mulai berbintang, “Iya, Nak. Tapi kita ingatkan dengan cara yang baik. Kita suarakan dengan adab. Kita doakan agar pemimpin kita kembali jadi pelayan rakyat.”

***

Judul: Suara dari Hutan Terpencil: Siapa yang Mendengar?
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *