ArtikelBerita Jabar NewsBJNBudayaOpiniSeni (Art)

Seni sebagai Cermin Sosial dan Ekologis: Refleksi atas “Cima Art 2025” di Kota Cimahi

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik OPINI, Selasa (28/10/2025) ─ Artikel bertajuk Seni sebagai Cermin Sosial dan Ekologis: Refleksi atas “Cima Art 2025” di Kota Cimahi ini adalah hasil tulisan Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan urban, ketika modernitas seringkali menjauhkan manusia dari akar budayanya, hadirnya pameran “Cima Art 2025” di Cimahi Mall menjadi angin segar yang menyentuh ruang batin masyarakat. Bukan sekadar pameran seni rupa, media baru, dan seni pertunjukan, tetapi sebuah ajakan untuk menengok kembali nilai-nilai kemanusiaan, lingkungan, serta spiritualitas yang sering tersisih di tengah arus materialisme dan teknologi.

Perhelatan “Cima Art 2025” yang berlangsung dari tanggal 25-31 Oktober 2025, setiap hari dari pukul 10.00 – 18.00 WIB, terbuka untuk umum. Pengunjung dapat menikmati ragam karya kreatif seniman Kota Cimahi dan sekitarnya ─ sebuah ekspedisi seni yang menggugah, menghadirkan harmoni antara tradisi dan inovasi.

Febri Satria Yazid
Febri Satria Yazid, Penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Dalam bulan November 2025 yang akan datang, di tempat yang sama akan diadakan workshop/pelatihan/kursus bagi siswa, pelajar dan mahasiswa. Ke depan, tempat ini akan menjadi ruang belajar dan bermain , kreativitas bagi masyarakat sebagai sarana dalam menciptakan investasi ilmu sejenak dini, berupa kegiatan: menggambar, minat dan bakat, kreativitas media clay/lilin, menulis, cerita kreatif, kursus bahasa, olah vocal, piano, belajar karakter lewat teater, bimbingan fotografer dan menggelar produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Cimahi, kota yang dikenal sebagai kawasan industri dan militer, tiba-tiba bertransformasi menjadi ruang apresiasi seni yang inklusif. Melalui tangan-tangan kreatif para seniman lokal, ruang belanja disulap menjadi galeri kehidupan.

Dari dinding hingga lantai, setiap karya seolah berbicara,  tentang ketekunan, kebersamaan, dan kesadaran ekologis. Pameran ini bukan hanya menghibur mata, tetapi juga mengetuk hati, mengingatkan bahwa seni sesungguhnya adalah bahasa universal untuk menyampaikan pesan moral dan sosial.

Seni memiliki kekuatan untuk menjembatani perbedaan. Dalam konteks sosial masyarakat Cimahi, “Cima Art 2025” memperlihatkan bahwa seni dapat menjadi perekat antarindividu, antarkomunitas, bahkan antarwilayah.

Kolaborasi antara pelukis, pematung, dan perajin kriya menunjukkan bahwa kreativitas tidak mengenal sekat disiplin. Semua menyatu dalam satu tujuan dalam  memperkuat jati diri kebudayaan lokal sekaligus membangun solidaritas sosial.

Sebagaimana disampaikan oleh Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Hubungan Masyarakat & Sistem Informasi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang datang selaku tamu undangan, seni bukanlah sesuatu yang eksklusif. Ia milik semua orang. Pandangan ini sangat relevan pada era sekarang, di mana seni kerap dipersempit menjadi milik kalangan tertentu.

Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Hubungan Masyarakat & Sistem Informasi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Hubungan Masyarakat & Sistem Informasi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung – (Sumber: Arie/BJN)

Pameran ini justru membuktikan sebaliknya bahwa masyarakat umum pun dapat menjadi bagian dari proses kreatif. Melihat anak-anak berlarian di antara karya lukis, ibu-ibu berfoto di depan instalasi patung, dan para remaja mengabadikan momen dengan ponsel mereka. Semua itu menunjukkan bahwa seni telah hidup di tengah masyarakat.

Cima Art 2025
Sebagian karya seniman yang dipajang di ruang pamer “Cima Art 2025” – (Sumber: Arie/BJN)

Pameran ini juga memperlihatkan bagaimana ruang publik bisa menjadi wadah bagi lahirnya interaksi sosial yang sehat. Di tengah derasnya arus digital, kegiatan seperti ini menjadi oase bagi masyarakat yang haus akan makna perjumpaan dan kebersamaan. “Cima Art 2025” tidak hanya mempertemukan seniman dengan penikmat seni, tetapi juga menghidupkan kembali semangat gotong royong, kerja sama, dan saling menghargai.

Seni dan Kesadaran Ekologis

Tema besar yang diusung, yakni lingkungan dan ekologi, menjadi sorotan penting dalam pameran ini. Seni tidak lagi berhenti pada bentuk estetika, melainkan bertransformasi menjadi media refleksi atas relasi manusia dengan alam.

Dalam banyak karya yang ditampilkan, terlihat ajakan untuk menjaga keseimbangan bumi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai sumber daya alam sebagai anugerah Tuhan. Ketika Deden Maulana, Ketua “Cima Art 2025”, menyebut pameran ini sebagai simbol “ketekunan, kerukunan, dan kesadaran ekologis”, ia sebenarnya sedang menegaskan posisi seni sebagai alat perubahan sosial.

Cima Art 2025
Deden Maulana, Ketua “Cima Art 2025” – (sumber: Arie/BJN)

Melalui visual dan simbol, para seniman menyuarakan keresahan terhadap krisis lingkungan yang semakin nyata seperti polusi udara, limbah plastik, serta rusaknya habitat alam akibat pembangunan tanpa kendali.

Seni menjadi cara halus. Namun mendalam, untuk mengajak masyarakat berpikir ulang tentang gaya hidup modern. Bahwa kemajuan teknologi harus berjalan seiring dengan kepedulian ekologis. Bahwa keberlanjutan bukan sekadar “jargon”, tetapi sikap hidup yang perlu ditanamkan sejak dini.

Diah Rachmawati, Pelukis Wanita
Diah Rachmawati, seorang pelukis wanita Kota Cimahi yang berkarya dengan memanfaatkan bahan limbah – (Sumber: Arie/BJN)

Karya-karya yang terpajang di ruang seluas 500 meter persegi itu ibarat cermin yang  memantulkan wajah kita sebagai manusia yang sering lupa pada tanggung jawab menjaga bumi. Dalam konteks sosial-budaya, pameran ini berhasil menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga lingkungan bukan hanya urusan aktivis, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh lapisan masyarakat.

Selain aspek sosial dan ekologis, “Cima Art 2025” juga membawa aroma spiritualitas yang halus. Namun, kuat. Ini terlihat dari bagaimana seniman menempatkan nilai-nilai ketuhanan dalam karya mereka, bukan dalam bentuk simbol religius semata, melainkan melalui pesan moral dan keindahan yang menenangkan jiwa.

Kehadiran Natalie Doroneva, perempuan asal Rusia yang membawakan lagu “Indonesia Raya” dengan penuh penghayatan, memberi makna mendalam. Di tengah perbedaan bangsa dan budaya, musik nasional kita justru menjadi “jembatan universal” untuk menyatukan rasa cinta dan hormat terhadap Tanah Air. Momen ini menjadi refleksi spiritual yang mengharukan bahwa seni mampu melampaui batas etnis, bahasa, dan agama, membawa manusia pada kesadaran akan persaudaraan sejati.

Cima Art 2025
Natalie Doroneva (kanan), wanita asal Rusia saat dilukis oleh pelukis Hamdani (kiri) di ruang pamer “Cima Art 2025” di Cimahi Mall – (Sumber: Arie/BJN)

Demikian pula ketika Bunda Nurlibiana, seniman senior Cimahi, menampilkan rancangan busana hijau yang dikenakan Natalie. Warna hijau bukan sekadar estetika, melainkan simbol kehidupan dan keseimbangan alam. Di sinilah spiritualitas dalam seni menemukan bentuknya yang  menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta dalam satu harmoni yang utuh.

Cima Art 2025” juga menegaskan bahwa Cimahi bukan sekadar kota satelit Bandung, melainkan memiliki identitas budaya yang unik dan potensial. Ketika Siti Yanti Abintini, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi, hadir dalam acara itu, kehadirannya mencerminkan dukungan terhadap pembangunan ekosistem seni lokal. Hal ini penting, karena keberadaan seniman dan ruang pameran seperti ini akan menumbuhkan ekosistem kreatif yang berdampak langsung pada masyarakat.

Siti Yanti Abintini, S.H., M.M..
Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC), Siti Yanti Abintini, S.H., M.M.. (kedua dari kanan) yang turut hadir menyaksikan pameran “Cima Art 2025” – (Sumber: Arie/BJN)

Mall, yang biasanya menjadi simbol kapitalisme dan konsumsi, kali ini beralih fungsi menjadi ruang budaya. Transformasi ruang komersial menjadi arena refleksi estetika menunjukkan perubahan cara pandang bahwa seni tidak harus eksklusif di galeri mewah, tetapi bisa hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, “Cima Art 2025” membuka wacana baru tentang demokratisasi ruang seni di Indonesia.

Kegiatan seperti ini juga memperkuat posisi Cimahi sebagai kota kreatif yang mampu bersaing di tingkat nasional, apalagi dengan keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga komunitas seniman, kolaborasi lintas sektor ini menjadi model sinergi sosial yang inspiratif.

Dalam perspektif sosial budaya, kolaborasi tersebut menandakan bahwa kemajuan sebuah kota tidak hanya diukur dari infrastruktur fisik, tetapi juga dari kekayaan budaya dan daya cipta masyarakatnya. Di balik kemeriahan acara, terdapat pesan mendalam tentang pendidikan karakter.

Ketika seni menjadi sarana refleksi, ia mengajarkan manusia tentang kesabaran, empati, dan rasa hormat terhadap sesama makhluk. Pameran ini mengingatkan kita bahwa membangun masyarakat yang beradab bukan hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui pendidikan estetika, kemampuan merasakan, menghargai, dan mencintai keindahan hidup.

Pementasan pantomim oleh komunitas Bandoengmooi dan pembacaan puisi oleh Yoyo C. Durachman memperlihatkan bahwa ekspresi seni dapat menjadi sarana penyembuhan jiwa kolektif. Di tengah situasi sosial yang penuh tekanan dan keterasingan, seni hadir sebagai terapi budaya. Ia menyembuhkan luka-luka sosial yang sering tak terlihat, mengembalikan manusia pada hakikatnya sebagai makhluk yang berpikir dan berperasaan.

Yoyo C. Durachman
Budayawan Cimahi, Yoyo C. Durachman saat membawakan puisi dalam acara pameran seni rupa “Cima Art 2025” di Cimahi Mall – (Sumber: Arie/BJN)

“Cima Art 2025” adalah bukti nyata bahwa seni dapat menjadi jembatan antara dunia ide dan realitas sosial. Ia bukan sekadar perayaan estetika, melainkan pernyataan moral tentang pentingnya solidaritas, kesadaran lingkungan, dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat modern.

Sebagai pemerhati sosial, saya melihat pameran ini bukan hanya sukses secara artistik, tetapi juga secara sosial. Ia menumbuhkan rasa bangga, mempererat hubungan antarmanusia, dan menghidupkan kembali kepekaan nurani yang mulai pudar.

Dari Kota Cimahi, kita belajar bahwa seni yang membumi bukanlah seni yang tinggi di awang-awang, melainkan seni yang menyentuh hati, berbicara dengan bahasa rakyat, dan menyalakan kembali cahaya kemanusiaan di tengah gelapnya zaman. (F.S.Y./BJN).

***

Judul: Seni sebagai Cermin Sosial dan Ekologis: Refleksi atas “Cima Art 2025” di Kota Cimahi
Penulis: Febri Satria Yazid
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis Febrisatriayazid.blogspot.com”.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *