ArtikelBerita Jabar NewsBJNPariwisata

Seni, Kebudayaan, dan Parawisata

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Minggu (10/08/2025) – Artikel berjudul “Seni, Kebudayaan, dan Parawisata” ini merupakan karya original dari Yoyo C. Durachman, seorang penulis, pengarang, dosen,  sutradara, dan budayawan Cimahi. Saat ini aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).

Judul tulisan ini memakai tiga kata yang saat ini sangat familiar untuk diwacanakan di kalangan pelaku seni, yaitu: seni, kebudayaan dan parawisata. Mengapa demikian? Karena ketiga kata itu  mempunyai keterkaitan yang saling memperkuat makna dan manfaat. Namun, sekaligus pada sisi tertentu memberikan dampak  yang negatif.

Dalam persfektif sejarah seni, kita bisa menyimak definisi seni yang dimulai dari pernyataan Aristoteles bahwa seni itu peniruan terhadap alam. Selanjutnya berkembang definisi yang mengoreksi definisi yang lama untuk memperkuat definisi baru, sesuai dengan perkembangan zamannya.

Yoyo C. Durachman
Yoyo C. Durachman, Penulis – (Sumber: J.Haryadi/BJN)

Beberapa definisi baru tersebut seperti: Seni itu adalah respon seniman terhadap kehidupan. Seni itu adalah realitas kehidupan yang sudah diberi makna baru oleh senimannya,  sampai ke definisi seni itu merupakan ekspresi jiwa manusia yang dibingkai oleh estetika (keindahan) dan berbagai definisi lainnya, seperti seni itu tidak selalu harus indah.

Berdasarkan dari berbagai definisi yang mengemuka, dapat datarik kesimpulan bahwa pada intinya seni adalah karya cipta manusia secara individual maupun komunal dengan berbagai jenis, fungsi, dan sifatnya.

Kita saat ini mengenal rumpun seni pertunjukan yang meliputi tari, drama, musik, dan lain lain; seni rupa yang meliputi lukisan, patung, craft, dan lain lain;  seni sastra yang meliputi prosa, puisi baik yang lisan maupun tulisan; seni film dan atau seni media rekam termasuk di dalamnya fotografi. Bahkan, di dalam karya-karya seni mutakhir rumpun seni tersebut berbaur menjadi satu  sehingga sudah tidak jelas lagi pengkotak kotakkannya, disebut karya seni saja.

Kreator, apresiator dan kritikus bebas untuk menafsirkan, memaknai dan menamainya sendiri sesuai dengan kepentingannya. Selanjutnya, kita mengetahui fungsi seni sebagai hiburan, seni untuk upacara dan seni untuk seni dalam pengertian seni itu punya nilainya tersendiri yang tidak bisa dikaitkan dengan faktor faktor pendukung eksternalnya selain nilai estetika (keindahan) dan ekspresi dan pemikiran dari seniman penciptanya itu sendiri.

Seturut dengan zaman dan lingkup sosial budaya di mana seni itu lahir dan diciptakan, kita mengenal istilah seni klasik, seni modern, seni post modern, seni kontemporer, seni tradisi serta berbagai istilah dan sebutan lain sesuai dengan kebutuhannya. Namun, yang paling penting harus dicatat di sini, berbagai istilah yang disematkan pada seni itu sampai sekarang masih hidup walaupun kondisinya beragam sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan dan perkembangan kebudayaan yang melingkupinya di mana seni itu berada.

Tari Bali
Ilustrasi: Pertunjukan tari di Bali – (Sumber: Pexels)

Kebudayaan secara umum dipahami sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia di dalam rangka menghadapi tantangan kehidupannya. Seni adalah salah satu hasilnya selain teknologi, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, adat istiadat, bahasa,  dan lain lain.

Jadi, seni tidak identik dengan kebudayaan, tetapi seni merupakan bagian dari kebudayaan karena seni merupakan bagian dari kebudayaan maka kehidupan dan perkembangan seni dipengaruhi oleh hasil kebudayaan yang lainnya seperti yang disebutkan di atas. Dari pengaruh ini, secara faktual kita akan mendapatkan seni yang sudah mati, seni yang hidup enggan mati tak mau, seni yang masih hidup melalui upaya pelestarian dan kreativitas senimannya, seni yang berkembang sesuai dengan tuntutan zamannya.

Dengan ditemukan dan semakin berkembangnya teknologi yang memberikan kotribusi melahirkan seni yang lebih praktis dan memikat, memberikan dampak positif bagi sebagian jenis seni tertentu dari rumpun seni pertunjukan seperti musik non tradisional dan film. Namun, berdampak negatif bagi kehidupan seni yang lainnya seperti seni tradisisonal dan seni yang berfungsi untuk upacara yang mempunyai konvensi baku untuk memepertahan keotentikannya.

Berkembangnya ekonomi mempengaruhi kepada sikap kreator dan apresiator seni. Tidak sedikit kreator seni yang hanya berorientasi untuk melahirkan karya seni yang bisa dijual sesuai dengan selera masyarakat, tetapi mengenyampingkan nilai intrinsiknya yang berhubungan dengan makna dan estetika.

Di satu pihak masyarakat yang berposisi sebagai apresiator mayoritas hanya mau mengeluarkan uang untuk karya seni yang diselerainya yang pada umumnya seni populer. Situasi semacam ini mengemukakan fakta semakin sedikit seniman yang serius melahirkan karya seni yang personal yang merupakan hasil dari kontemplasinya terhadap kehidupan, dibingkai dengan  cita rasa estetika yang tinggi, sedangkan seni tradisional dan seni untuk upacara semakin termarjinalkan dan lama kelamaan banyak yang punah di tengah-tengah masyarakatnya yang cenderung terus berkembang dan berubah. Ada pun yang masih tetap bisa bertahan, pada umumnya nilai nilai positif yang terkandung di dalamnya sudah tereduksi.

wayang golek
Ilustrasi: Wayang Golek – (Sumber: wallpapercave.com)

Bukan hanya perkembangan teknologi dan ekonomi saja yang bisa mempengaruhi kehidupan seni, produk kebudayaan yang lainnya pun seperti ilmu pengetahuan, adat istiadat, hukum, dan bahasa ikut andil memberikan pengaruh.

Pengaruh positif dari perkembangan ilmu pengetahuan seperti sejarah, psikologi, anthropologi, bisa dipakai sebagai alat kajian untuk seni dari teks dan kontekasnya yang luarannya diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam untuk apresiatornya, sedangkan bagi kreator bisa dijadikan sebagai masukan untuk memperkaya konsep penciptaan karya seninya.

Pengaruh yang positif dari adat istiadat, hukum dan bahasa adalah pada pemberian bobot nilai yang terkandung pada karya seni itu khususnya pada seni tradisional, sedangkan pada seni modern bisa saja menjadi hambatan karena bentuk dan isinya tidak sesuai dengan adat istiadat, hukum dan bahasa di mana apresiatornya berada.

Parawisata adalah salah satu produk penting dan yang diuntungkan dari era globalisasi ini. Dengan bantuan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan transportasi, keterhubungan antara suatu negara dan bangsa dengan negara dan bangsa yang lainnya menjadi mudah.

Dampaknya memberi kemudahan kepada para wisatawan untuk merealisasikan hasratnya. Oleh karena itu, seluruh negara yang mempunyai potensi yang kuat asset parawisatanya berlomba untuk memanfaatkan situasi ini sebagai sumber devisa. Meskipun dalam konteks sosial budaya masih memunculkan inplikasi yang negatif, dan orientasinya, terutama yang dilakukan olerh negara-negara yang sedang berkembang kebanyakan merujuk pada keindahan alam, kuliner, tempat tempat hiburan, heritage, upacara adat istiadat dan yang bernilai tradisional dari produk kebudayaan.

Sementara itu, karya karya seni yang serius, baik itu seni pertunjukkan, seni rupa, sastra dan film masih terabaikan. Hal ini terjadi karena mempunyai anggapan atau pola pikir bahwa karya seni serius tidak mudah untuk dijadikan komoditi yang bernilai ekonomi tinggi, padahal di negara-negara maju tidak demikian.

Karya seni serius bisa juga dimasukan sebagai aset parawisata. Parawisata dijadikan sebagai institusi yang memanfaatkan karya-karya seni yang serius, kalau di Indonesia sesuai dengan UU Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan No. 5 Th. 2017 dalam ranah pemanfaatan dan juga parawisata sebagai etalasenya. Oleh karena itu di negara-negara maju musium peninggalan sejarah kebudayaan, gallery seni rupa, gedung-gedung pertunjukan yang menampilkan tari balet, musik klasik, opera, dan drama-drama karya William Shakespeare, dan festival festival film. Bahkan, rumah patilasan  seniman seniman ternama dunia yang biasanya dijadikan museum bisa menjadi obyek parawisata.

Apakah hal ini bisa dilakukan di Indonesia? Tentu saja bisa karena seperti yang diuraikan dalam tulisan ini, seni,  kebudayaan dan parawisata juga merupakan aset yang dimiliki oleh Indonesia mempunyai keterikatan meskipun saling mempengaruhi yang bisa menimbulkan faktor positif dan negatif. (Yoyo C. Durachman)

***

Judul: Seni, Kebudayaan, dan Parawisata
Penulis: Yoyo C. Durachman
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang Penulis

Yoyo C. Durachman adalah seorang seniman dan budayawan Cimahi yang multitalenta. Pria kelahiran Bandung, 21 September 1954 ini dikenal sebagai dosen, aktor, sutradara, penulis, pengarang, dan budayawan.

Selama karirnya dalam dunia teater, tidak kurang dari 30 pementasan telah dilakukan Yoyo dengan kapasitas sebagai sutradara, pemain, penata pentas, konsultan, dan pimpinan produksi. Naskah drama berjudul “Dunia Seolah-olah” adalah naskah drama yang ia tulis dan dibukukan bersama naskah drama lain milik Joko Kurnain, Benny Johanes, Adang Ismet, Arthur S. Nalan, dan Harris Sukristian.

Pensiunan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini kini sering diundang sebagai juri maupun sebagai narasumber diberbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu, Yoyo juga aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *