Sekolah Anti Kekerasan : Pemprov Jabar Larang Hukuman Fisik pada Murid
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Selasa (02/12/2025) ─ Artikel berjudul “Sekolah Anti Kekerasan : Pemprov Jabar Larang Hukuman Fisik pada Murid” ini ditulis oleh Ina Agustiani, S.Pd. yang sehari-hari bekerja sebagai aktivis pendidikan dan pegiat literasi.
Di tengah maraknya kasus kekerasan di sekolah yang terjadi antara pelajar dengan pelajar, termasuk adanya desas-desus kasus kekerasan antara pendidik dengan muridnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) memandang perlu untuk membuat suatu kebijakan. Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi (KDM) kemudian mengeluarkan surat edaran kepada guru supaya tidak menerapkan hukuman fisik karena berisiko melanggar hukum.
Menurut KDM, guru dapat mengalihkan kepada hukuman yang mendidik seperti membersihkan halaman, toilet, mengecat tembok, membersihkan kelas atau tugas lainnya. Sementara itu terkait kemungkinan adanya kasus laporan orang tua murid terhadap guru, kini Pemprov Jabar telah menyiapkan 200 pengacara yang siap mendampingi guru SMA/SMK apabila menghadapi masalah hukum demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk tindakan preventif, Pemprov Jabar juga akan mewajibkan semua orang tua untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya mendukung penuh penerapan disiplin sekolah terhadap anaknya. Jika anaknya melanggar aturan maka sekolah dan orang tuanya tidak berkenan anaknya dihukum oleh gurunya maka anak tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya. Hal ini merupakan upaya Pemprov Jabar dalam menyelamatkan pendidik dalam membentuk pola pikir dan tanggung jawab murid-muridnya.
KDM juga menegaskan agar guru tidak menggunakan hukuman fisik pada siswa. Namun, jika ada murid yang tidak disiplin, guru tidak perlu segan untuk menegur dan memberi mereka sanksi.
Akar Masalah dalam Sistem Pendidikan Sekuler
Jika melihat dunia pendidikan dalam lingkup nasional mengenai kekerasan di lingkungan pendidikan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji selaku koordinator nasional JPPI mengatakan mengalami lonjakan sampai 100 persen dari 285 pada 2023 menjadi 537 pada 2024. Di Jabar yang terhitung 56 kasus, jenis kekerasannya paling banyak adalah kekerasan seksual 42%, bullying 31%, lingkungan rumah/jalan 27% dan yang besar adalah kekerasan di lingkungan sekolah sebanyak 58% (dilakukan guru 43,9%, dengan peserta didik 13%, kakak senior/masyarakat 39,8%).
Segala macam kasus yang terjadi disebabkan perbedaan mendasar tujuan pendidikan yang dicapai. Kita hidup di sistem sekuler kapitalistik yang berpaham kebebasan dan materi menjadi pijakan dasarnya dimana tujuan akhir pendidikan untuk bekerja dan mencari materi sebanyak-banyaknya, sementara dalam sistem Islam pendidikan diarahkan untuk peradaban dan perbaikan akhlak dengan dasar syariat halal-haram menjadi standar.
Persoalan kekerasan ini tak bisa dilepaskan dari Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang oleh pemerintah dihilangkan frasa agama dari visi jalannya pendidikan yang harusnya jadi penyelamat hidup semua umat. Dampaknya tidak ada landasan agama hanya pada akal semata yang terbatas, jadilah menimbulkan perselisihan.
Jika ingin pelajaran agama lebih banyak harus memilih jalur di jalur Kementerian Agama (Kemenag), sementara di Pendidikan Nasional (Diknas) yang memasukkan pelajaran agama dua jam dalam satu minggu.
“Jika ingin agamis masuk jalur Kemenag, jika ingin ilmu dunia masuk Kemendiknas,” begitulah slogan di masyarakat.
Rakyat dipaksa memilih dua jalur, mengapa tidak dua-duanya bisa didapatkan, ilmu agama selaras dengan dunia seperti visi misi pendidikan Islam.
Selain itu kuatnya politik pendidikan sekuler yang manjadikan pendidikan sebagai komoditas, materi yang diajarkan sesuai dengan permintaan pasar (di beberapa daerah disesuaiakan dengan pabrik besar maka disitulah ada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang menyesuaikan jurusannya dengan perusaahaan). Output pendidikan dominan pada capaian materi dan korporasi, siswa dididik untuk kemajuan ekonomi bukan peradaban.
Tertanam dalam diri pelajar pendidikan hanya mengejar sertifikat/ijazah untuk dunia kerja. Relasi guru-murid di sekolah sebatas kepentingan materi, bukan dilingkupi dua elemen yang saling membutuhkan dalam ilmu, bertumbuh dalam tauhid. Lingkungan sekolah lebih banyak menegangkan tak lagi menyenangkan. Sehingga kasus kekerasan justru banyak di dunia pendidikan.
Arah pendidikan ini memang tidak jelas, guru dihindarkan untuk menghukum dalam bentuk fisik, tetapi tidak diberi panduan secara komprehensif untuk membentuk karakter murid. Hukuman diganti tanpa makna mendidik yang mendalam. Sekolah, keluarga, murid dan masyarakat dibiarkan berjalan sendiri-sendiri tanpa konsep.
Sekolah mewajibkan capaian akademik, keluarga fokus pada pekerjaan, masyarakat ingin pendidikan sebagai solusi cari nafkah. Hilangnya peran orang tua sebagai pendidik utama, menyerahkan pada sekolah. Beban guru bertambah dengan ancaman hukum di sistem kebijakan sekuler, guru di posisi problematis sebagai profesi teknis, bukan mendidik generasi. Itulah pendidikan dalam kebingungan dan tanpa arah fokus yang jelas.
Pendidikan berbasis akidah Islam solusi hakiki
Tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam baik pola pikir (akliyah) dan pola sikap (nafsiyah) pada tiap individu dan orientasinya membangun peradaban dan kemaslahatan umat. Pola pikir dengan pondasi akidah dengan memahami tujuan penciptaan umat di muka bumi yaitu menyembah Allah SWT, paham tujuan hidup untuk menjalankan syariat dan menjauhi larangan-Nya. Jadi jika ini dipahami maka untuk kekerasan tidak ada lagi karena hubungan tiap insan adalah tolong menolong, memberi kebermanfaatan, berlomba dalam kebaikan, tidak ada waktu dalam kemudaratan.
Dalam kasus kekerasan di sekolah, negara sangat peduli dengan upaya semaksimal mungkin, pencegahannya dengan memastikan tujuan pendidikan berjalan : terbentuk kepribadian Islam. Setelah terkontrol ketakwaan itu, pengontrolan sosmed juga diurusi dengan syarat ketat yaitu tidak boleh ada unsur negatif, kekerasan, seksualitas yang dapat menstimulus anak-anak untuk melakukannya tindakan negatif.
Pemberian sanksi yang tegas tetap ada dengan memperhatikan tanda baligh (laki-laki mimpi basah, perempuan haid selain usia), jika sudah baligh maka murid dibebankan pelaksanaan hukum syara pada dirinya dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, apalagi guru atau orang dewasa tentu sudah mengetahui konsekuensinya lebih dulu.
Hukuman yang diberikan pun bukan kekerasan fisik tetapi ta’dib (pendisiplinan) tujuannya memperbaiki perilaku. Seperti yang dicontohkan Rasulullah yaitu menegur, memberi nasihat, pembatasan aktivitas. Jikapun hukuman fisik boleh dengan beberapa syarat tidak menyakiti dan sebagai jalan terakhir.
Tanggung jawab negara yang utama adalah penyelenggaraan pendidikan gratis (dari kas baitulmal), berkualitas, berbasis akidah, syariat dan iptek berjalan bersama membentuk generasi unggul. Dengan begitu surat edaran pelarangan hukuman baik tetapi tidak menyelesaikan akar masalah. Oleh karena itu hal yang perlu diperbaiki adalah dasarnya, landasannya Al-Quran dan sunnah.
Sebuah dalil dari Abu Musa ra., Nabi saw. bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah…” (H.R. Bukhari).
***
Judul: Sekolah Anti Kekerasan : Pemprov Jabar Larang Hukuman Fisik pada Murid
Penulis: Ina Agustiani, S.Pd.
Editor: JHK
Sekilas Penulis

Ina Agustiani, S.Pd. adalah seorang penulis wanita yang aktif sebagai pendidik dan pegiat literasi di Jawa Barat. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa online, di antaranya tulisan berjudul “Putus Sekolah Putus Harapan: Jabar Tertinggi” yang dimuat di media online inijabar.com pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Tulisan Ina Agustiani, S.Pd. lainnya berjudul “Derita Keluarga dan Pendidikan di Masa Pandemi” yang terbit di media online radarindonesianews.com pada 29 Desember 2020. Tulisan ini dibuat saat wabah Pandemi Covid-19 sedang melanda Indonesia. Kemudian tulisan berjudul “Merdeka Belajar, Tapi Tak Merdeka Kritik” yang terbit pada 10 November 2020 di media yang sama.
Kemudian tulisan tentang pendidikan berjudul “Saat Kisruh Zonasi Masih Mendominasi” terbit di Suara Muslimah Jabar pada 29 Juli 2023 dan tulisan berjudul “Sawang Sinawang Turunnya Kemiskinan di Jawa Barat” yang terbit di media online terasjabar.co pada 2 Agustus 2023.
