ArtikelBerita Jabar NewsBJNFeature

Sebuah Catatan Didin Tulus: Sepotong Keringat di Atas Nasi Goreng

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Sabtu (28/06/2025) – Esai berjudul “Sebuah Catatan Didin Tulus: Sepotong Keringat di Atas Nasi Goreng” ini adalah sebuah catatan  Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Duduk bersandar di kursi usai solat Isya. Tubuh ini terasa seperti kain lap yang diperas hingga kering. Lelah? Tentu saja. Namun, ada semacam kepulan hangat yang mengendap di dada, bekas dari hari yang baru saja berlalu.

Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul 06.09 WIB. Udara masih menggigit dingin ketika aku menggendong putri kecilku keluar rumah. Tujuannya jelas: Rumah Sakit “Hermina” di Jalan Pasteur, Kota Bandung untuk transfusi darah rutinnya. Dia ringan saja di punggung, tapi beban di hati jauh lebih berat.

Ilustrasi: Kemacetan lalu lintas di Kota Bandung - (Sumber: Arie/BJN)
Ilustrasi: Kemacetan lalu lintas di Kota Bandung – (Sumber: Arie/BJN)

Sampai di halaman rumah sakit, baru kusadari isteriku belum tiba. Dari belakang, tak lama kemudian, dia menyusul dengan Grab. Maafkan Ayah, Nak, motor tua kita tak sanggup lagi mengangkut bertiga menempuh jarak Cimahi-Pasteur yang terasa semakin jauh, ujar batinku menjerit.

Senja mulai merayap ketika waktu menunjukkan pukul 17.40 WIB. Aku meluncur lagi ke arah Jalan Pasteur. Jam segini? Jangan tanya. Jalan Gunung Batu yang kulalui menjelma jadi lautan logam bergerak merayap, padat mencekik hingga lampu merah Jalan Pasteur yang terkenal kejam. Setiap senti maju terasa seperti perjuangan.

Akhirnya, setelah waktu yang terasa abadi, kami sampai di depan halaman Rumah Sakit “Hermina”. Segera kuhubungi isteriku lewat telepon, “Sudah di depan, Sayang.” Tak lama, Grab yang dipesannya pun tiba, membawanya pulang terlebih dahulu.

Lalu, tinggal aku dan putriku, berjuang lagi melawan arus balik yang sama ganasnya. Macet luar biasa ini memang sudah menjadi pemandangan langganan setiap hari jelang Maghrib, tapi tak pernah membuatnya lebih mudah diterima.

Ilustrasi: Suasana kemacetan di Jalan Gunung Batu menuju Jalan Pasteur Kota Bandung - (Sumber: Arie/BJN)
Ilustrasi: Suasana kemacetan di Jalan Gunung Batu menuju Jalan Pasteur Kota Bandung – (Sumber: Arie/BJN)

Pundakku mulai terasa kaku. Pergelangan tanganku pun mulai berdenyut nyeri. Tanganku pegal karena terlalu lama mencengkeram setang motor. Kendaraan ini seperti kereta kuda tua yang dipaksa berlari. Perhentian wajib lagi di Jalan Gunung Batu yang kembali menguji kesabaran yang kedua kalinya hari itu. Napas kota terasa sesak oleh asap dan klakson.

Di Jalan Abdul Halim, sebuah ide penyelamat muncul: nasi goreng. Kubeli dua bungkus besar. Harumnya yang menggoda menawarkan sedikit penghiburan di tengah kelelahan.

Sampai di rumah, azan Magrib sudah berkumandang. Kami langsung menunaikan salat, mensyukuri perjalanan yang akhirnya berujung selamat. Lalu, meja makan menjadi panggung kecil kebahagiaan. Plastik bungkusan segera kubuka. Aroma nasi goreng hangat langsung memenuhi ruangan rumah keluarga kami.

Semua duduk berkumpul – aku, isteri, si sulung perempuan yang lelah, tetapi masih bisa tersenyum dan si bungsu laki-laki yang matanya berbinar. Kami makan bersama dengan lahap yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang baru melewati hari-hari yang panjang dan melelahkan.

Suara sendok berdentang, tawa kecil, dan komentar polos si bungsu, “Abis, Ayah! Lapar banget,” sambil menunjukkan bungkusnya yang sudah licin. Sejenak, segala pegal dan penat terbayar lunas di meja itu dalam kebersamaan yang hangat dan sederhana.

Usai makan dan menunaikan salat Isya dengan badan yang lebih berat, tetapi hati entah kenapa terasa lebih ringan. Kini, di kursi ini, kutatap jalan depan rumah lewat jendela. Langit sudah gelap gulita, kelam tanpa bulan. Lampu-lampu jalan menyala seperti kunang-kunang yang tersesat.

Dalam heningnya malam, tubuh masih merintih sisa lelah, mengingatkan pada kemacetan di Jalan Gunung Batu, pada dinginnya pagi di Rumah Sakit “Hermina”, pada pegal di pundak. Namun, ada sesuatu yang hangat tersimpan. Bekas kecupan selamat datang anak-anak, gambar si bungsu melahap nasi goreng, dan rasa syukur karena kami semua bisa berkumpul utuh di penghujung hari yang melelahkan ini.

Lelah ini, seperti sepotong keringat yang jatuh di atas nasi goreng tadi. Ini adalah bumbu yang membuat rasa kebersamaan itu terasa lebih nikmat, lebih berarti. Malam ini, aku hanya ingin menikmati rasa itu sambil menunggu tenaga kembali terkumpul untuk esok yang mungkin akan menguji dengan cara yang serupa atau berbeda

***

Judul: Sebuah Catatan Didin Tulus: Sepotong Keringat di Atas Nasi Goreng
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Didin Tulus
Didin Tulus, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Aktivitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *