Saat Naluri Terkikis
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Opini, Selasa (23/09/2025) – Artikel berjudul “Saat Naluri Terkikis” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Malam itu, angin pantai berhembus kencang. Gelombang berdebur, seakan ingin menyampaikan rahasia yang tak terucap. Seorang ibu berdiri termangu di tepi Pantai Sigandu, menggenggam erat tangan dua anak perempuannya. Mata mereka berbinar, polos, penuh percaya.
“Ibu, kenapa kita di sini malam-malam?” Tanya sang kakak dengan suara kecil.
“Karena di sini tenang, Nak. Ibu ingin kalian merasakan laut yang luas,” jawab ibunya dengan senyum yang dipaksakan.
Di balik senyum itu, ada badai yang tak terlihat. Hutang menumpuk, nafkah seret, tekanan rumah tangga menyesakkan dada. Dunia terasa menutup jalan keluar.

Jeritan Sunyi
Sang ibu melirik kedua anaknya. Mereka belum paham arti kesulitan hidup. Belum mengerti arti harga beras yang terus naik, biaya sekolah yang menjerat, atau suami yang hilang arah. Mereka hanya tahu: ibu adalah rumah, ibu adalah pelindung.
“Ibu sayang sama kalian,” bisik sang ibu dengan suaranya yang bergetar.
“Kami juga sayang Ibu,” jawab si bungsu sambil memeluk pinggang ibunya.
Air mata menetes di pipinya. Malam semakin pekat. Dalam diam, sang ibu memikirkan jalan keluar yang salah—jalan keluar yang akhirnya merenggut nyawa.
Cermin Sistem yang Retak
Tragedi itu membuat negeri berduka. Bagaimana mungkin seorang ibu, simbol kasih sayang, bisa tega melukai buah hatinya sendiri? Inilah cermin betapa beratnya beban hidup sebagian perempuan di negeri ini. Bukan hanya persoalan pribadi, tapi juga masalah sistemik: ekonomi yang mencekik, sosial yang abai, dan sekularisme yang memisahkan agama dari solusi kehidupan.
Dialog Kehidupan
Seorang tetangga yang mengenal ibu tersebut pernah berkata, “Dia ibu yang baik. Selalu tersenyum, meski jelas dia menanggung beban.”
“Kalau begitu, kenapa tega?” Tanya yang lain dengan bingung.
“Karena terkadang, senyum adalah topeng terakhir sebelum seseorang jatuh.”
Jalan Keluar Sesungguhnya
Islam mengajarkan, ibu seharusnya tidak sendirian menghadapi badai. Nafkah adalah kewajiban ayah, sementara negara wajib hadir memastikan keadilan ekonomi dan perlindungan sosial. Dalam sistem Islam, ibu dihormati, bukan ditekan. Anak-anak dijaga, bukan dibiarkan.
Allah Swt. mengingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56). Tragedi ini adalah tanda kerusakan yang harus dihentikan dengan kembali pada aturan Allah.
Harapan di Ufuk Timur
Jika Islam ditegakkan kafah, ibu tidak lagi menjadi korban. Anak-anak tumbuh dalam dekapan penuh cinta. Negara menanggung beban ekonomi rakyat, bukan melemparkannya ke pundak perempuan yang rapuh.
Pantai Sigandu akan tetap menyimpan rahasia duka itu, tapi kita bisa memastikan tidak ada lagi ibu yang menangis sendirian, tidak ada lagi anak yang kehilangan kasih sayang karena sistem yang salah. (Ummu Fahhala).
***
Judul: Saat Naluri Terkikis
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK