Rudy dan Palupi
Berita Jabar News (BJN) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Rudy dan Palupi” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Sudah beberapa saat di pagi sejuk ini Rudy berdiri di teras lantai dua kantornya menunggu seseorang berjalan melintas pelataran gedung. Dia ingin melihat, menyapa, dan kalau ada waktu, ingin juga mengobrol dengannya.
Lelaki berkacamata itu dengan seksama mengamati pelataran. Dia beruntung, orang yang ditunggunya terlihat melintas. Nah, itu dia Palupi, tidak salah lagi, gumam Rudy.
Rudy menatap dari jauh sambil melambaikan tangannya. Perempuan itu membalas dan tampaknya dia juga membalas senyumnya walaupun masker menutupi hidung dan mulutnya. Rudy bertambah yakin kalau dia itu adalah Palupi.
Menjadi lebih yakin lagi dari caranya berjalan. Ayunan tangan dan langkah kakinya itu khas milik Palupi. Semua tingkah-laku dan gerak-geriknya membuatnya bahagia. Lelaki ini hanya berharap, dia tidak keliru pandang.
Bukan sekali ini saja Rudy terpesona dan amat bahagia melihat Palupi. Itulah yang kadang membuatnya membatin, kalau melihatnya saja aku sudah merasa sangat bahagia, bagaimana kalau aku memilikinya?
Rudy lalu mencoba memastikan matanya tidak salah lihat. Perlahan dilepas kacamatanya. Dipegang ujung-ujung tangkainya, lalu diusap dua kacanya dengan ujung baju. Dua bola matanya juga dikucek-kucek pelan menggunakan dua jari telunjuknya.
Sesaat kemudian, sambil mengenakan kembali kacamatanya, Rudy bergegas menyapukan pandangan matanya ke pelataran kantor. Kekhawatirannya menjadi kenyataan. Perempuan tadi sudah tidak terlihat.
Rudy terdiam. Lalu kembali bergumam, wouuw, cepat sekali. Hanya dalam hitungan sekejap sudah lenyap dari pandangan. Kayak makhluk gaib saja.
Diam-diam Rudy kecewa. Namun, dengan cerdas dia simpan kekecewaannya dalam-dalam untuk dirinya sendiri karena dia tidak ingin orang lain tahu isi hatinya.
Rudy belum menyerah. Dia tidak mau melewatkan begitu saja kesempatan langka pagi ini. Lelaki penuh semangat ini lalu bergeser dari tempatnya berdiri mendekat ke mulut tangga lantai dua. Di situ dia pasang mata dan bersiap menyambut kedatangan perempuan istimewa itu.
Satu persatu orang masuk ke lantai dua. Namun, sampai tidak ada lagi orang yang keluar dari mulut tangga itu, perempuan itu belum juga terlihat. Rudy menyambung gumamannya, sial lagi aku, ke manakah dia?
Rudy berusaha bersabar dengan menghibur diri dan menganggap apa yang dilihatnya di pelataran tadi memang bukan Palupi, hanya sosok yang mirip dengannya, apalagi tadi dia terlihat tumben memakai masker.
Ah, pasti itu hanya mirip, pengelihatanku keliru lagi, kata Rudy dalam hati.
Pengalaman pagi itu membuat lelaki berbadan agak tipis ini bertambah hati-hati dengan penglihatannya sendiri. Sudah kesekian kalinya Rudy melihat perempuan yang dia yakini Palupi. Namun, ternyata dia salah.
Kesalahan melihat ini bagi Rudy bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Pernah suatu hari di sebuah toko buku, sekelebat di melihat dari belakang sesosok perempuan memakai rok panjang longgar berwarna gelap. Dari tinggi dan resam tubuhnya, dia yakin ini pasti Palupi.
Perempuan itu terlihat sedang berdiri di depan rak buku-buku berat karya Pramoedya Ananta Toer, Tere Liye, Leila S. Chudori, Yuval Noah Harari, dan sederetan nama besar lainnya. Tanpa pikir panjang, sambil berjalan mendekat, Rudy menyapa hangat, “Hai Palupi, sedang cari buku apa?”
Suara sapaan Rudy sebenarnya pelan, tetapi di toko buku itu suaranya sudah cukup untuk membuat semua pengunjung menoleh ke arah sumber suara, apalagi perempuan itu tidak menjawab. Namun, justru malah melangkah menjauhinya tanpa suara. Ternyata itu memang bukan Palupi. Rudy merasa amat malu.
Seperti biasanya, lelaki berkacamata ini hanya ngedumel dalam hati, ya Tuhan, aku salah lagi. Pasti perempuan tadi mengiraku hanya mencari-cari alasan untuk bisa berkenalan. Atau jangan-jangan malah mengiraku orang gila.
Toko buku memang salah satu tempat yang sering dikunjungi Palupi. Dia bisa berdiri di depan rak-rak buku berjam-jam hanya untuk membaca dan memilih-milih buku yang bagus. Buku-buku baru yang belum dijual di kaki lima atau di lapak buku loak.
Palupi pernah cerita, dia suka toko buku karena suasananya yang adem dan menjadi sumber inspirasi untuk keperluan pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu berpikir tentang segala hal, dari soal sampah hingga pertempuran di Gaza. Sayangnya, meski pun Rudy dan Palupi berkantor di gedung yang sama, hanya beda satu lantai, tetapi ternyata mereka tidak mudah untuk bisa bertemu.
Perempuan trengginas itu sering melakukan pekerjaan di luar kantor. Bahkan, tugas ke lain daerah. Oleh karena itu, setiap kali ada kesempatan, sekecil apapun, Rudy tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk ketemu, baik di lingkungan kantor maupun di luar kantor.
Rudy tidak pernah akan lupa betapa bahagianya, dulu, ketika keinginannya untuk bertamu ke rumah Palupi terwujud. Saat itu, sepulang kantor, dia diterima bertamu di teras rumah orang tuanya yang asri.
“Mau minum apa Rud?” Sapa Palupi ramah.
“Kopi hitam boleh,” jawab Rudy.
“Sebentar ya, gulanya dipisah kan?” Kata Palupi sambil masuk ke ruang dalam.
Sejenak kemudian Palupi sudah keluar lagi sambil membawa segelas minuman kopi panas dan serombongan jajanan pasar. Meja yang tidak begitu besar di teras rumah itu menjadi tampak penuh.
“Silahkan diminum kopinya dan dicicipi kueh cucur lapisnya.”
“Siap, terima kasih,” jawab Rudy, lalu bersiap diri pasang telinga dan menata hati untuk ngobrol dengan Palupi.
Bagi Rudy, ngobrol dengan Palupi memang bukan sembarang ngobrol. Tanpa persiapan yang cukup bisa membuatnya gagap dan gugup. Dia yang dikenal suka mbanyol pun bisa mendadak menjadi seperti orang yang kurang bahan omongan.
Untungnya Palupi banyak ngomong, jadi tidak pernah kekurangan bahan. Dari soal sosial, budaya, ekonomi, politik, sejarah, dan buku. Rudy tahu sekali Palupi banyak membaca buku, majalah, koran, jurnal, dan pasti juga berita di media sosial. Dia juga banyak menulis dan bercerita.
Bagi banyak orang, Palupi identik dengan buku berjalan. Pemahamannya luas, detil, dan dalam, serta selalu ada hal baru setiap kali berbincang-bincang dengannya. Itu yang membuatnya semakin ketagihan ngobrol dengan Palupi.
Begitu juga sore kala itu. Rudy dibawa jauh menembus lorong waktu terbang ke zaman kuno, era Jawa di abad tujuh. Palupi mengucuri Rudy dengan cerita sejarah.
“Tahu gak kamu, di negeri ini seharusnya tidak ada yang perlu berbangga diri merasa telah mendirikan dan memiliki lembaga anti rasuah, apapun namanya,” ujar Palupi memulai obrolan sejarah dengan mimik dan intonasi serius.
“Emang siapa yang berbangga diri? Aku mah biasa-biasa saja …he ..he .. he,” canda Rudy.
“Aku tadinya sih bangga, tapi sekarang gak lagi,” balas Palupi dengan nada masih tetap serius.
Rudy sangat paham ekspresi serius Palupi. Dia menikmati wajah Palupi yang sedang serius. Candanya dilanjutkan.
“Lho kamu gak bangga juga. Lalu, kalau bukan kamu dan juga bukan aku, siapa dong yang berbangga. Di dunia ini kan cuma ada kamu dan aku,” lanjut candaan Rudy.
“Aaahh….” Sahut Palupi sambil menarik napas, semacam pesan untuk lawan bicaranya, ini belum saatnya bercanda.
Mereka berdua lalu diam sesaat seperti memberi waktu untuk suara mobil keliling lewat.
“Tahuu-tahuuu, tahu bulat goreng dadakan, silahkan beliii…”
Rudy mencoba mencairkan suasana dengan ngomong, “Itu orang jualan sok tahu (ta-hu) banget!”
Di luar dugaan, Palupi ketawa ngakak, “Hahaha, iya sok tahu kayak kamu.”
Rudy tidak melewatkan kesempatan melihat Palupi ketawa ngakak. Mulutnya terbuka menampakkan giginya yang rapi dan putih bersih, menandakan kepeduliannya pada kebersihan dan kesehatan gigi. Bertambah sukalah Rudy.
“Terus gimana tadi tentang lembaga anti rasuah?” Lanjut Rudy dengan nada girang.
Palupi lalu dia cerita tentang sejarah nusantara. Diceritakannya di Pantai Utara Pulau Jawa dulu pada abad ketujuh ada Kerajaan Kalingga yang mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh Ratu Shima yang berkuasa dari tahun 674-695, sekitar 1.300 tahun yang lalu.
Palupi meneruskan, “Kita harusnya malu sama Ratu Shima. Bayangkan Rud, lebih dari seribu tahun yang lalu sudah ada Ratu yang menerapkan peraturan keras, tegas, tetapi juga adil. Ratu Shima menempatkan semua warganya sama dan setara di muka hukum. Anaknya pun dihukum karena melanggar aturan, sama seperti warga yang lain.”
“Artinya,” lanjut Palupi, “Tidak ada tebang pilih. Hukum tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, semua sama dimuka hukum.”
Rudy merespon, “Kayaknya rakyat saat itu hidupnya aman, tertib, dan makmur ya? Karena pasti tidak ada korupsi kan?”
“Nah itu Rud. Itu terjadi pada abad ketujuh, lebih dari seribu tahun yang lalu. Bayangkan ..,“ kata Palupi.
“Malu juga aku, ternyata korupsi di sini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu yaa,” balas Rudy.
“Malu atau bangga terserahlah, tapi nama harum Ratu Shima masih semerbak hingga sekarang. Itu sungguh luar biasa! itu poin pentingnya Rud! Coba pikir, seorang wanita, memimpin kerajaan dan prestasinya diabadikan dalam prasasti, kan hebat Rud!”
Sebenarnya Rudy tidak tahu banyak tentang Ratu Shima. Nama itu pun baru pernah dia dengar. Namun, dia ikuti dan dengarkan saja ceritanya. Itu lebih baik dari pada kenikmatan perjamuan ini terputus.
Obrolan malam itu hampir berakhir setelah dari dalam rumah, ibunya Palupi memberi sinyal dengan dehem-dehem, tanda waktu sudah larut malam. Namun, Palupi belum selesai dan tetap meneruskan omongannya.
Menurut Palupi, harusnya kaum wanita itu maju secara alami, bukan maju karena kemudahan dan keistimewaan. Kemajuan karena ada kemudahan dan keistimewaan itu menurutnya tidak mendidik. Dia mencontohkan Kartini, meskipun dia istri Bupati, tetapi dia menjadi wanita maju karena suka bergaul, membaca, dan menulis.
Keberpihakan Palupi pada wanita pernah membuatnya secara terbuka cerita kepada Rudy yang isinya membanggakan peran vital kaum wanita di balik kemajuan dan prestasi kaum lelaki. Dia menyebut nama Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, dan Ibu Ainun Habibie sebagai contoh.
Lalu Rudy mengimbanginya dengan bertanya, “Kalau di belakang para lelaki koruptor-koruptor kakap itu, wanita seperti apa?”
Palupi wanita cerdas, pertanyaan itu dijawabnya, “Lhoo itu lakinya saja yang lemah.”
“Oooh gitu yaaa.”
Malam itu Rudy sangat terkesan dengan sambutan dan jamuan Palupi. Namun, karena malam semakin larut, dia pamit pulang.
***
Begitulah Palupi. Bagi lelaki matang ini, segala yang melekat pada Palupi, dari ujung kerudung di kepala hingga pucuk tali sepatu di kakinya semuanya mengesankan dan mempesona. Pesona itu sering membuat Rudy kerepotan membagi perhatian saat ngobrol berdua, antara mendengarkan dan menikmati kecantikan Palupi.
Ketika Palupi bicara, diperhatikan dengan baik gerak bibir mungilnya. Rudy pun terpesona. Demikianpun saat Palupi kesal, dilihatnya cuping hidung mancungnya yang kembang kempis. Rudy pun senang habis, apalagi saat Palupi bicara berapi-api, dilihatnya gerak berputar bola mata hitamnya, wow sungguh indah.
Pun saat Palupi emosi, dadanya naik turun, mengundang pandangan mata nakal Rudy. Semuanya betul-betul indah. Rudy ingin memiliki keindahan tiada banding itu selamanya.
***
Hari itu, seharian benak Rudy penuh dengan memikirkan Palupi. Rasa kecewa setelah tadi pagi gagal ketemu belum hilang. Dia ingin menebus kekecewaannya itu dengan mengunjungi Palupi segera di rumahnya.
Rudy sudah bertekad bulat akan mengakhiri kucing-kucingan dengan perasaannya sendiri. Rudy akan mencari pendamping hidup. Di kepalanya, di hatinya, di dadanya hanya ada Palupi, tidak ada perempuan yang lain. Oleh karena itu hanya Palupi itulah pilihannya.
Rudy sedang merancang momen yang tepat untuk bicara langsung. Dia lelaki yang tidak bisa main romantic, mutar-muter ngomong kesana-kemari. Dia mau tanya langsung, mau jadi istriku?
Tanpa dinyana, momen itu datang saat bubar kantor. Tidak sengaja mereka berdua nyaris bersamaan berdiri di pinggir pelataran kantor menunggu taksi online.
“Hai Palupi,” Sapa Rudy.
“Hai Rudy, ngapain?” Sahut Palupi.
“Lagi nunggu taksi online, mau pulang. Kamu?” Ttanya Rudy sambil dalam hati berharap bisa pulang satu mobil.
“Sama, aku juga mau pulang pakai taksi online.”
Entah apa yang mereka omongkan setelah itu. Tampak dari bahasa tubuhnya yang satu mengajak dan yang lain menolak, disusul adu basa-basi. Lalu berakhir dengan naik taksi online yang sama menuju rumah Palupi.
Rasa senang Rudy karena bisa semobil ke rumah Palupi diungkapkan dengan ketawa ketiwi dan ngobrol ngalor-ngidul soal remeh-temeh dengan supir.
Sementara Palupi sibuk dengan handphone-nya. Mungkin dia sedang kirim pesan ke rumahnya dan menyatakan akan ada tamu datang bersamanya atau mungkin saja hanya sekadar membuka media sosial atau sekedar bermain-main gadget-nya.
Secara jarak sebenarnya rumah Palupi tidak terlalu jauh, tetapi waktu tempuh pada jam-jam sibuk bisa lama. Macet sudah menjadi makanan sehari-hari.
Sambil menikmati padatnya lalu-lintas, Rudy bertanya, “Tadi pagi rasanya kita saling melambaikan tangan ya? Itu kamu bukan siih Palupi, kok tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi?”
“Betul, tadi pagi di tangga lantai dua aku lihat kamu sibuk dengan kacamatamu. Ya sudah, aku teruskan jalan ke kantorku.”
“Oh pantesan,” sahut Rudy dengan rasa lega memperoleh jawaban atas kekecewaannya tadi pagi, juga Lega karena ternyata pengelihatannya masih bisa dipercaya.
Ngobrol sambil jalan ternyata membuat mereka berdua tanpa terasa lama sudah sampai tujuan, rumah orang tua Palupi. Seperti biasa, basa-basi, minuman kopi dengan gula dipisah, jajanan pasar dengan cepat sudah berjajar di meja teras. Namun, walaupun meja tamu penuh makanan dan minuman, kali ini Rudy terlihat agak tegang, sampai-sampai mengundang tanya.
“Mikir apa kamu Rudy?” Tanya Palupi.
Sontak Rudy menyahut, “Eeehhh iya, mikir itu, lagi ingat ceritamu tentang wanita luar biasa di belakang pria yang perkasa.”
“Eeh iya, ingat, kenapa Rud?” Tanggap Palupi.
“Begini Palupi, aku kurang bisa mengolah kata-kata,” Rudy agak tercekat.
“Okey, terus kenapa?” sahut Palupi lembut.
“Sekian lama aku mengenalmu, kamu itu bagiku wanita sangat kuat dan penuh semangat. Aku berkesimpulan, aku sangat cocok, suka, dan cinta kamu. Aku mengajakmu untuk hidup bersama dalam ikatan cinta di KUA. Dengan dirimu ada disampingku, aku yakin akan menjadi lelaki adidaya. Mau kan?”
“Haaaah….!” Palupi terdiam dan tampak terkejut.
Dari mulut berbibir merahnya hanya terucap, “Beri aku waktu.”
Rudy mengangguk pelan, lalu pamit pulang menunggu jawaban.
Purwokerto, 19 November 2023.
Sarkoro Doso Budiatmoko
***
Judul: Rudy dan Palupi
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***