ArtikelBerita Jabar NewsBJNHukumOpini

Rekayasa Kasus dan Ilusi Keadilan: Potret Gelap Penegakan Hukum Kita

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Jumat (10/10/2025) Artikel berjudul Rekayasa Kasus dan Ilusi Keadilan: Potret Gelap Penegakan Hukum Kita” ini ditulis oleh Laurensius Bagus yang berprofesi sebagai mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan Aktivis Sosial.

Rekayasa hukum bukan cerita baru di Indonesia. Namun, setiap kali kasus semacam itu muncul, publik selalu dibuat geram sekaligus bingung — bagaimana mungkin hukum yang seharusnya menjadi benteng kebenaran justru dipakai untuk menutupi kebohongan?

Kasus Ferdy Sambo menjadi contoh paling nyata. Seorang jenderal polisi membunuh bawahannya, lalu mengubah kronologi seolah terjadi baku tembak. Cerita itu sempat dipercaya publik. Polisi sendiri yang menyebarkan narasi awal tersebut. Belakangan terbukti, semua itu rekayasa. Sebanyak 35 anggota Polri terlibat dalam upaya menutup fakta, dari penghapusan CCTV hingga manipulasi laporan.

Laurensius Bagus
Laurensius Bagus, Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi/BJN)

Fakta ini mengguncang kepercayaan publik. Bagaimana mungkin aparat yang diberi mandat menjaga hukum justru mempermainkannya? Dari kasus Sambo kita belajar, kerusakan hukum bukan sekadar ulah individu. Ia mencerminkan sistem yang membiarkan kebohongan berjalan terlalu lama.

Kasus seperti ini bukan satu-satunya. Dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan, keadilan juga terasa pincang. Novel ─ penyidik KPK ─ diserang air keras, menunggu bertahun-tahun hingga pelaku diadili. Namun, hasilnya jauh dari harapan. Dua pelaku dihukum ringan dan motif di balik serangan itu tak pernah terungkap tuntas. Publik mencium ada yang disembunyikan.

Lain lagi di Indragiri Hulu, Riau, awal 2025. Polisi sempat menerima laporan begal berdarah. Korban disebut mengalami luka tusuk. Publik marah, keamanan kota dipertanyakan. Namun, belakangan akhirnya terungkap bahwa  kasus itu ternyata rekayasa pelapor sendiri.

Berita bohong sudah terlanjur viral. Polisi mengakui laporan itu palsu. Ini menunjukkan betapa longgarnya sistem verifikasi laporan di tingkat kepolisian. Jika pelapor punya akses kuat, mungkin sudah ada orang tak bersalah yang dijebloskan ke penjara.

Rekayasa hukum juga bisa terjadi di ranah politik. April 2025, Kompolnas menerima laporan dugaan kriminalisasi 40 ulama di Tasikmalaya oleh Polda Jawa Barat. Kasus ini muncul menjelang pemungutan suara ulang. Walau penyelidikan masih berlangsung, publik sudah pesimis. Kecurigaan bahwa hukum bisa dipakai untuk menekan pihak tertentu memperkuat keyakinan lama: keadilan di negeri ini berjalan dengan wajah ganda.

Polanya mirip di banyak tempat. Hukum bekerja cepat ketika menjerat rakyat kecil, tetapi lamban ketika menyentuh pejabat atau orang berpengaruh. Seorang petani di Nusa Tenggara Timur bisa langsung dipenjara karena menebang pohon di lahan garapan lama, sementara korporasi besar yang merusak hutan bertahun-tahun tetap aman beroperasi.

Pertanyaannya, mengapa rekayasa kasus begitu mudah terjadi?

Pertama, karena sistem hukum kita masih lemah dalam pengawasan internal. Laporan masyarakat sering berhenti di meja polisi. Sanksi terhadap penyidik nakal jarang dipublikasikan. Akibatnya, publik tak pernah tahu apakah pelanggaran etik benar-benar ditindak.

Kedua, hukum di Indonesia masih sangat bergantung pada kekuasaan. Dalam banyak kasus, tekanan politik atau ekonomi bisa memengaruhi arah penyidikan. Hukum menjadi alat tawar, bukan alat ukur keadilan.

dewi keadilan
Ilustrasi: Dewi keadilan – (Sumber: Arie/BJN)

Ketiga, sebagian aparat masih menganggap publik tidak perlu tahu semua proses hukum, padahal pada era digital ini, transparansi justru menjadi kunci untuk membangun kepercayaan. Ketertutupan hanya melahirkan spekulasi dan memperkuat anggapan bahwa hukum bisa disetir.

Dalam kondisi seperti ini, wajar bila masyarakat lebih percaya opini publik dibanding putusan pengadilan. Kredibilitas hukum runtuh karena terlalu banyak drama di balik meja penyidikan.

Namun, publik juga berperan penting dalam menjaga kejujuran hukum. Kasus Sambo membuktikan, tekanan publik dan media bisa memaksa sistem bekerja. Keadilan akhirnya muncul bukan karena sistem ingin, tetapi karena masyarakat memaksa sistem untuk jujur.

Sayangnya, tidak semua kasus mendapat perhatian sebesar itu. Banyak orang kecil yang dipenjara tanpa pernah benar-benar diselidiki secara adil. Mereka tak punya akses, tak punya pengacara, dan tak punya media yang mau menyorot kasusnya.

Jika hukum terus berjalan seperti ini, kita sedang menuju keadaan berbahaya: ketika kebenaran bisa diciptakan, bukan ditemukan. Setiap laporan bisa diatur, setiap bukti bisa dihilangkan, dan setiap saksi bisa diputarbalikkan. Di titik itu, hukum kehilangan ruhnya.

Negara hukum tanpa integritas hanyalah formalitas. Ia tampak megah di atas kertas, tapi rapuh di lapangan. Padahal, hukum seharusnya menjadi benteng terakhir bagi rakyat — bukan alat untuk menakut-nakuti atau membungkam.

Kita membutuhkan pembaruan yang lebih dari sekadar slogan reformasi. Hukum harus dibersihkan dari budaya transaksional. Pengawasan publik harus diperkuat. Setiap aparat yang terbukti memanipulasi proses hukum harus dihukum terbuka, bukan sekadar dipindahkan jabatan.

Tanpa itu, hukum akan terus menjadi panggung sandiwara. Kasus bisa disulap, fakta bisa diputar, dan kebenaran bisa dibeli.

Indonesia tidak kekurangan aturan. Sesuatu yang hilang adalah keberanian menegakkannya dengan jujur sebab keadilan sejati tidak lahir dari pasal-pasal hukum, tetapi dari nurani manusia yang berani menolak kebohongan — bahkan ketika kebohongan itu datang dengan seragam dan tanda pangkat di dada. (Laurensius Bagus).

***

Judul: Rekayasa Kasus dan Ilusi Keadilan: Potret Gelap Penegakan Hukum Kita
Penulis: Laurensius Bagus
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *