ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Politik Kartel Lokal dan Perlawanan Rakyat Pati

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Minggu (16/11/2025) – Artikel berjudul Politik Kartel Lokal dan Perlawanan Rakyat Pati ini ditulis oleh L. Malaranggi yang berprofesi sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu.

Politik lokal sering kali gampang kita tilik atau pelajari, semacam tidak ada sekat atau penghalang lain untuk kita mengetahuinya secara langsung, apalagi kalau pemilu: ada pemilihan bupati yang wajahnya terpampang dengan senyuman di baliho dan juga ada pemilihan dewan daerah. Setiap kali musim pemilu datang, ia datang seperti hujan yang deras, mengoyak-ngoyak pikiran rakyat, sekaligus menggerakan rakyat untuk bisa memilih, ikut mencoblos dengan berbagai cara dan upaya.

Rakyat mempunyai suara, semacam memilih siapa yang akan mewakilinnya nanti. Bagaimana kalau rakyat punya keluh kesah? Bagaimana kalau rakyat punya masukan, dan bagaimana kalau rakyat kesusahan. Harus ada orang yang mendengar atau melihat—barangkali pun bisa merasakan penderitaannya. Artinya semua itu, perlu dan dilakukan dengan sebaik-baiknya agar suara atau saran serta masukan dan penderitaan bisa dirasakan bersama.

Ilustrasi: Suasana demo di Pati, Jawa Tengah - (Sumber: Istimewa)
Ilustrasi: Suasana demo di Pati, Jawa Tengah – (Sumber: Istimewa)

Di Pati, semua yang saya gambarkan diatas, semacam pertunjukan itu sudah mencapai babak yang memuakkan. Di sanalah kita menyaksikan bagaimana demokrasi berubah menjadi semacam kartel—sebuah kesepakatan tak tertulis antara elit untuk saling menjaga, saling melindungi, dan menutup pintu bagi segala bentuk kritik.

Rakyat menuntut pemakzulan terhadap Bupati Sudewo, suatu kritik yang membuat rakyat marah dan tidak percaya lagi pada pemimpinnya. Harusnya mereka dengar dengan seksama, rakyat hanya sedang mengetuk pintu pelan, tapi justru anggota DPRD sendiri yang ingin rakyat menggedor kencang.

Sebenarnya, tidak ada yang ruwet dari semua permasalahan ini. Tuntutan masyarakat sesungguhnya sangat sederhana: keadilan terhadap kebijakan yang mencekik, terutama kenaikan pajak bumi dan bangunan yang dianggap menindas rakyat kecil dan arogansi kekuasaan.

Di ruang sidang DPRD, Dari 49 anggota, hanya 13 yang berani memilih pemakzulan. Enam dari tujuh fraksi di DPRD Pati — Gerindra, Golkar, PKB, PKS, NasDem, PPP — memilih mempertahankan Sudewo. Hanya PDIP yang menolak. Sisanya—seperti biasa—bersembunyi di balik kalimat normatif: “rekomendasi perbaikan.”

Fraksi-fraksi dari partai politik yang seharusnya berbeda ideologi ternyata berbicara dengan bahasa yang sama—bahasa kartel. Richard Katz dan Peter Mair menyebut fenomena ini sebagai cartel party: saat partai-partai berhenti bersaing dan mulai bekerja bersama untuk mempertahankan akses mereka terhadap sumber daya negara. Di Pati, teori itu bukan lagi teori; ia hidup, bernafas, dan menertawakan kita semua.

Dalam politik kartel, perbedaan bukan lagi soal ide, tapi soal posisi di meja belakang. Bisik-bisik antar telinga dan kompromi-kompromi bersama untuk mempertahankan jabatan, membungkam kritik dan mengkriminalisasi demonstran.

Partai-partai tidak lagi bertarung untuk rakyat, melainkan bernegosiasi untuk ruang, proyek, dan loyalitas. Di sinilah demokrasi lokal kehilangan rohnya: dewan yang seharusnya menjadi alat kontrol malah berubah menjadi tameng kokoh yang hidup bagi penguasa.

Ketika rakyat merasa dikhianati, jalanan menjadi satu-satunya tempat berbicara. Kemarin, keputusan rapat DPRD Pati dibacakan, keputusannya sangat-sangat mencederai seluruh masyarakat Pati atas apa yang telah terjadi dan arogansi kekuasaan yang terlihat gamblang disaksikan seluruh masyarakatnya yang tercekik.

Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) bergerak, marah, lalu memblokade jalur Pantura—tindakan yang bagi banyak orang tampak ekstrem, tapi bagi mereka itu satu-satunya cara agar suara didengar. Dari situ, dua aktivis—Supriyono (Botok) dan Teguh—ditangkap, diborgol, lalu dijerat pasal berlapis. Media menulis mereka sebagai “pentolan aksi”, aparat menyebut mereka “penghasut”, sementara kita tahu: mereka hanya orang-orang yang sudah terlalu lama diabaikan.

Di sinilah wajah politik kartel tampak paling telanjang. Kekuasaan lokal bersekongkol dengan hukum, hukum bersekongkol dengan narasi, dan narasi dipelihara untuk menciptakan propaganda di hadapan pers oleh pihak aparat. Setiap lapisan bekerja untuk membungkam kebisingan rakyat, agar demokrasi tetap tampak damai di atas kertas.

Jika Richard Katz dan Peter Mair berbicara tentang bagaimana partai menjadi “semipublik”—hidup dari uang negara, tapi tak lagi milik rakyat—maka di Pati kita melihat versi paling mentahnya. DPRD tak lagi mewakili rakyat. Ada sekat disitu. Terjadi ketidakmelekatan dan terjadi ruang-ruang yang tertutup antara rakyat (pemilik suara) dan dewan yang mewakili suara rakyat (harusnya).

Kegagalan pemakzulan Bupati Sudewo bukan sekadar soal angka di ruang sidang; ia adalah simbol matinya mekanisme akuntabilitas lokal. Ketika 36 anggota dewan menolak pemakzulan maka yang mati bukan hanya harapan, tapi juga makna dari kata “wakil rakyat.”

Tak ada lagi oposisi sejati; yang ada hanyalah kompetisi memoles citra di musim pemilu. Inilah bentuk politik kartel paling murni: saat semua perbedaan menjadi palsu, dan semua persatuan hanya untuk melindungi diri dari rakyat. Namun, kalau kita belajar pada  sejarah itu sendiri. Kita akan menemukan sisi yang keras kepala.

Rakyat, betapapun dikhianati, tidak mudah diam. Mereka mungkin kalah karena di permainkan, tapi mereka menang merawat moral dan perlawanan, bertahan di ruang simbolik dan menyadarkan seluruh elemen masyarakat lain untuk tetap merawat api perlawan itu sendiri secara terus-menerus dan berkobar.

Penangkapan dua aktivis itu justru menguatkan satu hal: bahwa ketakutan penguasa terhadap rakyat masih nyata. Penguasa yang benar-benar kuat tidak akan terganggu oleh blokade jalan. Namun,  penguasa yang dibangun di atas kompromi dan kepalsuan, selalu panik terhadap suara keras dari luar sarang kartel. Penangkapan itu adalah upaya memulihkan ketertiban yang salah kaprah, tidak jelas prosedurnya dan tidak paham penafsiran hukum mengenai penangkapan itu sendiri.

Pati, dengan segala paradoksnya, kini menjadi cermin dari politik lokal di banyak daerah lain di Indonesia. Demokrasi di tingkat kabupaten telah lama direbut oleh kartel-kartel politik: jejaring antara partai, birokrat, dan pengusaha lokal. Mereka berbagi proyek, berbagi jabatan, berbagi citra—tapi menutup rapat ruang partisipasi warga. Inilah wajah paling nyata dari apa yang disebut sebagai “oligarki dalam kulit demokrasi.”

Rakyat Pati tidak kalah. Rakyat Pati masih menjadi barometer gerakan di seluruh daerah-daerah dan  cermin bahwa demokrasi lokal telah sampai pada titik di mana rakyat harus menciptakan bentuk baru dari partisipasi: di luar partai, di luar parlemen, di luar sarang kartel itu sendiri. (L. Malaranggi).

***

Judul: Politik Kartel Lokal dan Perlawanan Rakyat Pati
Penulis: L. Malaranggi
Editor: JHK

Sekilas tentang Penulis

L. Malaranggi atau akrab disapa “El” adalah seorang mahasiswa aktif yang tengah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu. Dengan minat yang kuat terhadap isu-isu keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat, ia terus menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan kapasitas diri baik secara akademis maupun organisasi. Di tengah kesibukan kuliah, ia tetap aktif mengikuti berbagai forum diskusi dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

L. Malaranggi, penulis - (Koleksi pribadi)
L. Malaranggi, penulis – (Koleksi pribadi)

Keterlibatan El dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjadi wujud nyata dari semangat juang dan dedikasinya terhadap perjuangan kaum marhaen. Saat ini, ia dipercaya menjabat sebagai Wakil Kepala Bidang Kaderisasi GMNI Komisariat Hukum Universitas Wiralodra. Dalam posisi ini, ia berperan aktif dalam merancang dan melaksanakan program pengkaderan yang progresif, sekaligus mendorong tumbuhnya kesadaran ideologis di kalangan anggota muda.

Sebagai kader muda yang berpijak pada semangat Trisakti Bung Karno, El meyakini bahwa perubahan dimulai dari keberanian untuk berpikir kritis dan bertindak kolektif. Baginya, organisasi bukan sekadar ruang berkumpul, melainkan tempat untuk menempa diri dan menyumbangkan energi terbaik demi kemajuan rakyat dan bangsa. Komitmen ini menjadi dasar pijakannya dalam menjalani setiap proses perjuangan, baik di ranah akademik maupun pergerakan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *