ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Pidato 1 Juni Sukarno: Menafsir Ulang Gagasan-Gagasannya

BERITA JABAR NEWS – Kolom OPINI, Kota Bandung (31/05/2025) – Artikel berjudul Pidato 1 Juni Sukarno: Menafsir Ulang Gagasan-Gagasannya” ini ditulis oleh L. Malaranggi yang berprofesi sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu.

“Kita hendak mendirikan negara Indonesia yang semua buat semua. Bukan satu orang, bukan satu golongan, tetapi semua buat semua,” Sukarno, 1 Juni 1945.

Pidato 1 Juni Sukarno seperti rumah yang lama ditinggalkan dan lama tidak berpenghuni. Bahkan, jarang sekali ditilik sebagai bahan ajar atau sekadar refleksi atas seluk-beluk sejarah bangsa. Saya ingin mengajak kita semua untuk pulang, menilik lagi gagasan-gagasannya, memasuki ruang batin bangsa yang penuh dengan harapan dan perlawanan.

Ruang itu bukan sekadar tanggal atau sejarah belaka. Di dalamnya kalau kita selami akan ada banyak gagasan yang tak lekang oleh zaman, tempat di mana fondasi ideologis Indonesia ditegakkan dengan semangat api perjuangan yang tinggi.

L. Malaranggi, penulis - (Koleksi pribadi)
L. Malaranggi, penulis – (Koleksi pribadi)

Sukarno yang sering dibicarakan orang sebagai orator ulung mengukir kata-kata itu—mungkin yang biasa diperdebatkan dan dibicarakan di warkop-warkop kampung dan sudut-sudut desa. Namun, ia justru lebih dari itu, lima sila yang dihadirkan dalam pidatonya bukan sembarang rancangan dasar negara—mereka adalah peta jalan menuju ketahanan sebuah bangsa dan jati diri atau roh bangsa yang berkelindan masuk ke seluruh nadi anak-anak bangsa sebagai kerangka teoritis dan kiblat jalan perjuangan bangsa Indonesia.

Di ibaratkan peta jalan, Sukarno lebih dari sekadar orator, tetapi melampaui itu—pemikir, seperti Mahatma Gandi atau seperti Karl Marx yang merumuskan Marxisme dan jalan pembebasan untuk melawan kolonialisme dan kapitalisme. Lebih dari itu, sila-sila itu mengandung pesan implisit: bahwa ketahanan nasional sejati berakar pada pemahaman mendalam terhadap identitas, keadilan sosial, demokrasi yang hidup, dan kesatuan moral bangsa.

Kebangsaan Indonesia

Kita lihat sila pertama, kebangsaan Indonesia. Sesuatu yang bukan kebanggaan semu, tapi layaknya benih yang di tabur di bumi Indonesia sebagai penyubur gerakan rakyat yang sedang dalam posisi berlawanan dengan penjajah.

Di tengah arus global dan situasi geopolitik yang menggulung dengan derasnya—individualisme, eksklusivisme, dan fragmentasi identitas—sila ini mengajarkan kita bahwa bangsa ini adalah rumah yang teduh bagi seluruh masyarakatnya. Politik yang di bangun atas nama kenyamanan dan kokoh, seperti tembok ini menolak adanya upaya pecah bela diseluruh kehidupan rakyat Indonesia pada waktu itu.

Namun, ironisnya kenyataan hari ini berbeda, hari ini kerap kita bertabrakan, saling singgung antar ras, menggunakan SARA dalam perdebatan sehingga memunculkan retakan-retakan kecil yang mengakibatkan kita tergulung oleh aktivitas politik praktis yang individualistik dan cenderung pada kekuasaan yang pragmatis dan hanya kepentingan golongan bukan kerakyatan.

Apakah kita akan mengingkari warisan Sukarno pada momen 1 Juni ini? Jika kebangsaan menjadi medan pertempuran ideologis maka kita perlu bertanya: sudahkah kita menjaga fondasi rumah itu?

Internasionalisme dan Perikemanusiaan

Sila kedua, internasionalisme dan perikemanusiaan. Menurut saya, keduanya kalau diibaratkan adalah sebuah jendela untuk memandang dunia. Jendela itu sengaja Sukarno kasih pada kita agar kita bisa melihat perkembangan global dengan seksama dan jernih tanpa harus pakai kacamata atau alat bantu lainnya.

Presiden Sukarno
Presiden Sukarno – (Sumber: Arsip Nasional)

Sukarno memandang bahwa ketahanan bangsa tidak bisa dibangun dengan egoisme sempit yang takarannya hanya pada individualistik semata, melainkan harus bersolidaritas kemanusiaan universal. Pada masa perang dingin yang membela dunia, Sukarno memilih jalur bebas aktif yang cerdas—menjadi penyeimbang antara pergerakan dan perdamaian.

Kini, ancaman-ancaman semakin merebak di negara Eropa khususnya, bukan hanya ancaman senjata, tetapi teknologi. Juga sudah dijadikan sebagai alat untuk menghegemoni suatu wilayah atau negara tertentu dengan kekuatannya masing-masing.

Manipulasi informasi atau propaganda, geopolitik digital, dan lain sebagainya. Sikap internasionalisme kita diuji—apakah kita tetap independen dalam menghadapi dominasi asing yang terus merebak dengan berbagai hegemoninya, atau hanya akan menjadi pion dalam permainan besar mereka?

Demokrasi Kita

Demokrasi sebagai sila ketiga adalah sebuah oase di tengah gurun panas, diibaratkan tinta yang terus mencoret-coret kertas putih yang tak ada apapun di dalamnya. Dalam bayangan Sukarno, demokrasi ialah “musyawarah untuk mufakat”—sebuah sistem yang bukan hanya suara terbanyak, dari partai mana golongan mana dan siapa calonnya. Sukarno membayangkannya jauh lebih dari itu, tentang harmoni dan keseimbangan.

Demokrasi ini menjadi tameng sekaligus pencegah konflik horizontal yang merusak. Namun hari ini, kita semua tahu—demokrasi telah berkali-kali dikangkangi oleh segelintir elit politik yang hanya menggebuh-gebuh pada kepentingannya bukan pada rakyat banyak.

Demokrasi menjadi arena perpecahan, kebencian disulut retorika dan polarisasi yang terus terjadi dikalangan rakyat. Demokrasi jauh dari apa yang di cita-citakan Sukarno dalam pidatonya, kini pemahamannya bukan ke pada—demokrasi yang seharusnya menjadi perekat sosial tetapi justru malah menjadi pemantik api perpecahan.

Sebuah bangsa yang terbagi dalam suara-suara saling berlawanan sulit mempertahankan stabilitas dan kedaulatan maka kembali ke demokrasi musyawarah bukan hanya nostalgia, tapi kebutuhan mendesak.

Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial, sila keempat adalah akar dari ketahanan bangsa yang sering terlupakan. Sukarno sendiri menyadari bahwa kemiskinan dan ketimpangan adalah penyakit kronis yang terus menggerogoti bangsa, melemahkan kondisi nasional dan lebih parah daripada ancaman militer asing. Ketidakadilan nasional adalah bencana besar yang bisa menjadi suatu jalan masuknya ideologi radikal dan dapat membajak semangat kebangsaan kita.

Pada zaman neo-liberalisme dan kapitalisme yang mengakar kuat hari ini, kita sebetulnya tercengang karenanyalah kesenjangan semakin melebar. Rakyat kecil sering kehilangan akses terhadap keadilan ekonomi, tumpang-tindih pengambilan kebijakan dan kesemrawutan nasional karena seluruhnya di lepaskan pada pasar. Sebuah negara yang hanya diam saja membiarkan hal seperti ini terjadi, berarti ia sedang merakit bom waktunya sendiri.

Menafsir ulang sila ini menuntut keberanian politik dan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.

Ketuhanan yang Maha Esa

Di sini Sukarno mengajarkan bahwa negara harus berdiri di atas landasan toleransi yang kokoh, bukan dogma tunggal yang menindas dan mengintimidasi karena perbedaan. Di tengah arus radikalisme dan eksklusivisme agama yang menghancurkan keharmonisan sosial, sila ini bagaikan obat pelipur lara yang Sukarno tawarkan. Sila yang menuntun bangsa untuk tetap menjunjung tinggi kerukunan dan penghormatan terhadap perbedaan. Penguatan nilai ketuhanan yang berkebudayaan menjadi syarat mutlak untuk merawat kedamaian.

Pulang ke Rumah Sejarah

Membaca ulang pidato Sukarno 1 Juni ini  adalah bagian dari refleksi dan pulang ke rumah di mana kita harus ingat pada pesannya “JASMERAH”. Kita diingatkan bahwa gagasan-gagasannya bukanlah teks mati, melainkan nadi kehidupan bangsa yang terus bernapas sampai berabad-abad ke depan.

Sebuah survei BPIP menunjukkan rendahnya pemahaman Pancasila dikalangan generasi muda, menandakan kegagalan sistem pendidikan dan komunikasi nilai-nilai kebangsaan (BPIP, 2022). Dalam dunia yang sarat dengan informasi, namun juga hoaks dan polarisasi, menafsir ulang Pancasila dan gagasan Sukarno menjadi misi kritis. Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tapi soal membentuk karakter bangsa yang mampu menolak ideologi destruktif dan menjaga persatuan.

Kita dihadapkan pada paradoks: rumah ideologis yang dibangun Sukarno sebagai benteng bangsa kini sering kali terbuka lebar bagi ancaman baru yang tak kasat mata. Oleh karena itu, pulang ke 1 Juni bukan sekadar mengenang, tetapi menghidupkan kembali api semangat dan nalar politik yang mampu menyatukan bangsa dalam kompleksitas zaman. (L. Malaranggi).

***

Judul: Pidato 1 Juni Sukarno: Menafsir Ulang Gagasan-Gagasannya
Penulis: L. Malaranggi
Editor: JHK

Sekilas tentang Penulis

L. Malaranggi atau akrab disapa “El” adalah seorang mahasiswa aktif yang tengah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu. Dengan minat yang kuat terhadap isu-isu keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat, ia terus menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan kapasitas diri baik secara akademis maupun organisasi. Di tengah kesibukan kuliah, ia tetap aktif mengikuti berbagai forum diskusi dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Keterlibatan El dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjadi wujud nyata dari semangat juang dan dedikasinya terhadap perjuangan kaum marhaen. Saat ini, ia dipercaya menjabat sebagai Wakil Kepala Bidang Kaderisasi GMNI Komisariat Hukum Universitas Wiralodra. Dalam posisi ini, ia berperan aktif dalam merancang dan melaksanakan program pengkaderan yang progresif, sekaligus mendorong tumbuhnya kesadaran ideologis di kalangan anggota muda.

Sebagai kader muda yang berpijak pada semangat Trisakti Bung Karno, El meyakini bahwa perubahan dimulai dari keberanian untuk berpikir kritis dan bertindak kolektif. Baginya, organisasi bukan sekadar ruang berkumpul, melainkan tempat untuk menempa diri dan menyumbangkan energi terbaik demi kemajuan rakyat dan bangsa. Komitmen ini menjadi dasar pijakannya dalam menjalani setiap proses perjuangan, baik di ranah akademik maupun pergerakan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *