ArtikelBerita Jabar NewsBJN

Peran Strategis Perempuan dalam Islam

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Rabu (05/03/2025) – Artikel berjudul “Peran Strategis Perempuan dalam Islammerupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Sebagai seorang perempuan tentu akan merasakan sedih dan menderita jika diperlakukan tidak sesuai fitrah. Sungguh miris, kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak terjadi, di antaranya terjadi di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman, sekarang tidak lagi.

Sebagai bentuk perhatian dari penguasa, Pemda Provinsi Jawa Barat terus mengoptimalkan program pemberdayaan dan perlindungan anak guna mencegah kerawanan yang dialami perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, gelandangan dan anak jalanan, serta pekerja seks komersial. (jabarprov.go.id,12/02/2025).

belajar membaca
Ilustrasi: Seorang ibu sedang mengajar anaknya di rumah – (Sumber: Arie/BJN)

Ketika pemberdayaan perempuan diartikan dengan peran perempuan di ranah publik atau di luar rumah yang bisa menguntungkan secara finansial maka ini menimbulkan polemik dan problem juga karena telah menjadikan perempuan memiliki peran ganda bahkan multiperan.  Perannya di luar rumah dengan aktif di dunia kerja, di samping tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu di rumah.

Fenomena ini menuntut strategi yang tepat agar perempuan dapat menjalani semua perannya secara harmonis, baik pada aspek karir maupun keluarga. Sungguh berat beban perempuan hari ini, harus menjalankan peran ganda sekaligus.

Itu akibat penerapan sistem kapitalisme yang meniscayakan kehidupan yang sulit bagi sebagian besar masyarakat. Sebab, sistem ekonomi kapitalisme melegalkan kebebasan kepemilikan. Beban ekonomi keluarga semakin berat hingga akhirnya perempuan keluar dari rumah mereka untuk mengais-ngais rupiah. Sungguh peran ganda yang saat ini dicitrakan baik oleh sistem kapitalisme justru sebenarnya tidak sesuai dengan fitrah perempuan sebagai ibu generasi.

Lebih dari itu, kepemimpinan kapitalisme telah gagal menjamin kesejahteraan perempuan dan memaksa mereka harus turut menjadi bagian aset ekonomi negara. Karena itu, sudah saatnya kaum perempuan terutama para muslimah harus menyadari peran syar’inya dengan benar.

Peran Perempuan dalam Islam

Allah Swt. sebagai pencipta dan pengatur kehidupan manusia telah jelas menempatkan peran perempuan di posisi strategis dan mulia dari sebuah peradaban. Peran syar’i-nya perempuan adalah sebagai al-umm wa rabatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) serta madrasatul ‘ula (pendidik pertama) bagi anak-anaknya.

Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana penuturan Ibnu Umar (hadis riwayat Al-Bukhari), “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang perempuan adalah memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.”

Peran perempuan di dalam rumah yakni sebagai al-umm wa rabatul bait dan madrasatul ‘ula sangat berat. Di tangan mereka, generasi akan dibentuk, baik buruknya generasi bergantung pada pola pendidikan dan pengasuhan yang diberikan kaum Ibu. Seorang perempuan jugalah yang mengelola urusan rumah suaminya, kehormatan sebuah keluarga pun ada di tangan seorang perempuan.

Jadi tidak berlebihan jika ada pernyataan bahwa sebuah peradaban ditentukan dari para perempuannya. Sayangnya, tugas strategis dan mulia ini tidak dipandang berharga oleh peradaban sekulerisme kapitalisme hari ini. Peran perempuan sebagai al-umm wa rabatul bait dan madrasatul ‘ula dipandang tidak produktif karena tidak bisa menghasilkan uang.

Foto Ummu Fahhala
Ummu Fahhala, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Betapa sulitnya para perempuan melaksanakan peran strategisnya karena negara tidak menerapkan sistem Islam secara kafah (menyeluruh), padahal syari’at Islam telah menetapkan segenap aturan yang akan mendukung peran perempuan sebagai ibu generasi.

Di antara aturan tersebut adalah jaminan nafkah. Islam menempatkan suaminya, ayahnya, dan walinya sebagai pihak yang wajib menanggung nafkahnya.  Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”

“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233 tersebut, menjadi dalil adanya jaminan ekonomi bagi perempuan agar fokus menjalani perannya di dalam rumah sebagai al-umm wa rabatul bait dan madrasatul ‘ula.

Dengan syari’at Islam tentang jaminan nafkah saja, perempuan dalam Islam tidak diarahkan menjadi penggerak ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya sebagaimana sistem kapitalisme hari ini. Semua tanggungan itu dibebankan kepada laki-laki.

Makan bersama
Ilustrasi: Sebuah keluarga muslim sedang makan bersama – (Sumber: Arie/BJN)

Di sisi lain, syari’at Islam juga mewajibkan negara menyediakan lapangan pekerjaan hingga memastikan tidak ada satu pun laki-laki yang tidak bekerja dengan bekerja laki-laki bisa memenuhi nafkah istri dan anak-anaknya secara ma’ruf.

Negara juga diwajibkan menjadi pihak yang menyediakan kebutuhan publik dengan mudah. Bahkan, gratis seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Inilah sebagian hukum syari’at Islam yang mendukung peran perempuan sebagai al-umm wa rabatul bait dan madrasatul ‘ula.

Adapun berkaitan dengan pemberdayaan perempuan di ranah publik, Islam mengarahkan potensi tersebut untuk kemaslahatan rakyat, yaitu dengan berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan membina umat dengan tsaqofah Islam.

Syari’at Islam selaras dengan fitrah perempuan sebagai al-umm wa rabatul bait dan madrasatul ‘ula, bukan pemberdayaan ekonomi seperti yang diarahkan oleh sistem kapitalisme hari ini.

Islam tidak melarang perempuan bekerja, hukum perempuan bekerja adalah mubah (boleh atau pilihan). Karena itu, pekerjaan tidak boleh melalaikannya dari tugas utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi. Bekerja digunakan untuk berkontribusi memanfaatkan ilmunya untuk kemaslahatan rakyat. Syari’at ini akan digunakan sebagai landasan negara untuk mengatur jam kerja dan jenis pekerjaan bagi perempuan.

Inilah pandangan Islam tentang peran strategis perempuan, yang hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah) dalam segala aspek kehidupan. (Ummu Fahhala).

***

Sekilas tentang penulis:

Ummu Fahhala, seorang pegiat literasi, ibu dari lima anak (Fadilah, Arsyad, Hasna, Hisyam & Alfatih). Selain sebagai ummu warobbatil bait, juga sebagai praktisi pendidikan. Menulis untuk dakwah. Semoga menjadi wasilah datangnya hidayah dari Allah Swt. dan meraih pahala jariyah.

Judul: Peran Strategis Perempuan dalam Islam
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *