Pentingnya Menulis dalam Islam
BERITA JABAR (BJN), Kolom OPINI, Rabu (04/06/2025) – Tulisan berjudul “Pentingnya Menulis dalam Islam” ini merupakan karya Mariska Lubis, seorang penulis berpengalaman yang pernah bekerja di berbagai majalah nasional, di antaranya Femina Grup.
Sepanjang sejarah perkembangan agama Islam dunia, menulis bukanlah hal baru. Bahkan, menulis memiliki peran penting di dalam kemajuan dan pencapaian kejayaan Islam.
Karya tulis para ulama, ilmuwan, dan penyair Islam menjadi dakwah, serta penyebaran ilmu, konservasi pengetahuan, pemikiran, dan kemajuan peradaban yang hingga kini terus berguna dan bermanfaat, baik bagi Islam maupun bagi perkembangan kemajuan pendidikan dan teknologi. Buku dan karya tulis mereka bukan hanya sekedar karya tulis, tetapi juga menjadi bagian integral dari sejarah Islam yang menjadi bukti bahwa menulis adalah penting dilakukan oleh umat Islam. Bukan sebagai kegiatan semata, tetapi dilakukan sebagai bagian yang semestinya dipentingkan dalam menjalankan ibadah.

Dasar dari pentingnya menulis dalam Islam itu sendiri adalah wahyu pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu “Iqra”. Secara tekstual “Iqra” berarti “bacalah”. Namun, bila dimaknai secara konteksual yang tersirat dan tersurat, kata tersebut juga merujuk pada perintah untuk belajar, menyebarkan ilmu, dan mengembangkan diri.
Membaca memperluas wacana dan wawasan. Namun, untuk benar-benar paham dan mengerti, seseorang wajib belajar. Hasil dari membaca, pengalaman, dan proses belajar ini, akan menghasilkan ide dan gagasan, pemikiran dan pemahaman yang lebih mendalam, lalu menghasilkan karya-karya tulis dalam beragam bentuk, baik tulisan ilmiah, sastra, jurnalistik, dan lain sebagainya.
Selain itu, menulis juga merupakan latihan untuk memiliki struktur dan pola berpikir yang lebih teratur. Mampu membuat berbahasa dan berkomunikasi menjadi lebih baik. Membantu mengembangkan diri dan menjadi media untuk belajar menjadi lebih baik.
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi yang lebih dikenal dengan panggilan al-Khawarizmi adalah salah satu ilmuwan Islam terkenal yang hidup di Era Tinta Emas Kejayaan Islam atau disebut sebagai “The Golden Era of Islam” (750–1517 M) yang menghasilkan buku-buku penting bagi perkembangan Islam dan ilmu pengetahun modern.
Buku pertama al-Khawarizmi yang juga dikenal sebagai Bapak Aljabar, berjudul “Al-Kitaab al-Muhtasar fii Hisaab al-Jabr wa’l Muqabaala” adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik persamaan linier dan kuadrat. Selain itu, beliau juga kemudian menerbitkan “Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind” untuk memperkenalkan angka Arab yang lalu diadaaptasi oleh banyak bahasa dunia.
Abū Nashr Al-Fārābī, atau Al-Farabi, yang juga dikenal sebagai Alpharabius di dunia Barat adalah seorang filsuf Islam yang menghasilkan banyak karya tulisan. Beliau dijuluki sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles di dalam dunia filsafat. Karya beliau beragam, mulai dari epistemologi, metafisika, logika, matematika, sains (filsafat alam), ilmu politik, tata bahasa, dan musik. Karyanya yang berjudul “Ihsa Al-‘Ulum” (Indonesia: Klasifikasi Ilmu; Latin: De Scientiis) merupakan pemikirannya yang paling banyak dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa asing.
Imam asy-Syafii yang warisannya dalam masalah hukum dan pendidikan hingga pembentukan mazhab fiqh Syafi’I adalah seroang teolog muslim, penulis, dan cendekiawan. Beliau adalah salah satu kontributor pertama dari prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (Uṣūl al-fiqh). Beliau yang begitu cerdas dan sibuk, tetap terus meluangkan waktu untuk membaca, berpikir, dan menulis. Banyak sekali hasil pemikiran dan ilmu yang disebarkannya lewat tulisan menjadi guna dan manfaat bagi umat Islam dunia.
Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Meskipun beliau terlahir dari keluarga miskin, tetapi mau belajar dan bekerja keras, serta kedisiplinannya menghasilkan banyak pengalaman dan pemikiran yang berguna.
Kegelisahan Al-Ghazali atas “matinya tradisi spiritual Islam” yang telah diturunkan turun menurun, mendorong beliau menulis magnum opus yang berjudul “Ihya Ulumuddin” (Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama). Ada banyak sekali karya lain yang dituliskan beliau dan salah satu yang terkenal sebagai bahan pemikiran filsafat karena mengkritik sains Aristotelian adalah sebuah buku berjudul “Tahafut al-Falasifah” (Incoherence of the Philosophers).
Di Indonesia, ada Buya Hamka yang merupakan seorang filsuf, penulis, sastrawan, politikus, dan pengajar asal Sumatra Barat. Beliau berdakwah bukan hanya secara lisan dan menunjukkan lewat perilaku, tetapi juga lewat karya tulisan. Perceraian orang tua, konflik politik, dan bahkan penjara tidak membuat beliau berhenti menulis.
Dalam kurun waktu 57 tahun, beliau sudah menghasilkan karya sebanyak depan puluh empat buku. Buku yang membuat beliau dikenal sebagai sastrawan adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Buku-buku lain yang terkenal dan masih bisa dicari untuk dibaca antara lain adalah “Terusir”, “Merantau Ke Deli”, dan “Tuan Direktur”.
Ada masih banyak lagi ribuan penulis muslim di dunia ini yang menulis dan menebarkan pemikiran, ilmu pengetahuan, keindahan dan kebesaran Tuhan yang Maha Kuasa, dan kebenaran Islam. Tentunya tidak harus menjadi sesuatu yang mengherankan juga.
Umar Bin Khatab yang merupakan salah seorang sahabat Rasullulah SAW pernah berpesan, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakkan kebenaran. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.”
Lantas, mengapa sekarang umat Islam yang justru meremehkan belajar menulis dan tidak menganggapnya penting?
Bayangkan bila sepuluh persen saja penduduk muslim di Indonesia dari total sebanyak 248,22 juta jiwa (2024) menulis buku maka akan ada 24,822 juta buku yang dihasilkan oleh umat Islam Indonesia. Jika hal ini terjadi maka Indonesia tidak akan lagi dianggap sebagai negara yang memiliki kemampuan literasi rendah di dunia. Tidak akan ada lagi kekurangan buku untuk dibaca dan dipelajari – Rasio antara buku dengan jumlah penduduk adalah 0,098 yang masih sangat jauh dari ideal.
Selain memang sebagai umat Islam wajib “Iqra”, bukankah cerdas merupakan salah satu ciri dari umat Islam? Bila sadar bahwa menulis akan sangat membantu siapa pun menjadi cerdas dan bisa menjadi ladang ibadah, mengapa malas melakukannya?
Sejarah sudah membuktkan, tunggu apa lagi? Menulislah untuk kebaikan dan masa depan umat. (Mariska Lubis).
***
Judul: Pentingnya Menulis dalam Islam
Kontributor: Mariska Lubis
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Mariska Lubis adalah salah seorang tokoh literasi nasional yang sangat berpengalaman. Wanita kelahiran Bandung, 6 Agustus 1974 ini pernah bersekolah di TK-SDK Yahya, lalu meneruskan di SMPN 5 Bandung. Ketika kelas 3 SMP, ia pindah sekolah di SMPN 3 Manggarai, Jakarta dan lanjut ke SMAN 8 Jakarta.
Wanita yang pernah dijuluki blogger seks terpopuler oleh Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) ini melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Trisakti pada 1992 dengan mengambil Jurusan Ekonomi dan lulus pada 1996. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Sydney, Australia dengan mengambil Jurusan International Studies dengan topik utamanya Politik Asia Tenggara.
Selain menulis dan membaca, Mariska memiliki hobi melukis, travel, dan fotografi. Ia pernah menerbitkan lima buah buku yaitu buku berjudul “Wahai Pemimpin Bangsa! Belajar Dari Seks, Dong!”, “Ayahku Inspirasiku”, “Seni, Politik, & Perjuangan”, “Gelegar Suara Kalbu”, dan “Mewarnai Gambar Puisi Mariska”.
***