ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniSosial

Pelakor, Apa yang Kamu Cari? Sebuah Analisis Psikologis dan Sosiokultural di Balik Stigma Sebuah Label yang Membakar

BERITA JABAR NEWS (BJN)Kolom OPINI, Minggu (28/09/2025) – Artikel berjudul “Pelakor, Apa yang Kamu Cari? Sebuah Analisis Psikologis dan Sosiokultural di Balik Stigma Sebuah Label yang Membakar” ini merupakan karya Binti Wasunah ─ Seorang guru mengaji  di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ─ yang telah menulis  beberapa judul buku.

Di panggung sosial masyarakat Indonesia, “pelakor” ─ sebutan untuk perebut suami orang ─ bukanlah sekadar akronim. Ia adalah sebuah label membara, sebuah stigma yang dilekatkan dengan cepat dan penuh penghakiman kepada seorang perempuan yang menjalin hubungan dengan pria beristri. Label ini membawa beban sosial yang berat, mengimplikasikan karakter perusak, egois, dan amoral.

Namun, hal yang menarik adalah fenomena penolakan keras dari mereka yang diberi label tersebut. Mereka sering kali tidak melihat diri mereka sebagai “perebut”. Mengapa demikian? Artikel ini tidak bertujuan untuk melakukan justifikasi, melainkan untuk melakukan dekonstruksi.

Binti Wasunah
Binti Wasunah, Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Kita akan menyelami kompleksitas psikologis dan jaring-jaring sosiokultural untuk memahami mengapa label “pelakor” ditolak dan hal yang lebih penting untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang dicari dalam sebuah hubungan yang sejak awal sudah sarat akan masalah?

Penolakan Label, Perang Melawan Narasi Tunggal

Penolakan terhadap label “pelakor” bukanlah sekadar penyangkalan sederhana. Ia adalah sebuah mekanisme pertahanan psikologis yang kompleks untuk melindungi citra diri dan Individu yang berada dalam posisi ini sering kali membangun benteng mental untuk meredakan konflik batin dan stigma sosial yang berat.

Disonansi Kognitif dan Narasi Personal

Secara fundamental, setiap individu ingin memandang dirinya sebagai orang baik. Psikologi mengenal ini sebagai kebutuhan akan citra diri yang positif. Ketika tindakan (menjalin hubungan dengan pria beristri) bertentangan dengan keyakinan diri (“saya orang baik”), terjadilah disonansi kognitif—sebuah ketidaknyamanan mental.

Untuk meredakannya, individu cenderung mengubah narasinya. Alih-alih menerima label “perusak”, narasi yang dibangun adalah: “Saya menemukan cinta sejati”; “Pernikahannya sudah hancur sebelum saya datang”; atau “Dia yang mengejar saya, saya hanya merespons”. Narasi ini memungkinkan individu untuk mempertahankan citra diri positif di tengah situasi yang secara moral ambigu.

Simplifikasi Peran dan Penolakan Objektifikasi

Label “pelakor” secara inheren menempatkan 100% kesalahan pada pihak perempuan. Pria dalam narasi ini direduksi menjadi objek pasif yang “direbut” atau “dicuri”, seolah-olah ia tidak memiliki agensi atau kemampuan untuk membuat pilihan.

Penolakan terhadap label ini sering kali merupakan penolakan terhadap simplifikasi tersebut. Ini adalah pernyataan implisit bahwa hubungan adalah dinamika dua arah. Laki-laki tersebut adalah partisipan aktif yang turut membuat keputusan untuk tidak setia pada komitmennya. Dengan menolak label “pelakor”, seorang wanita juga menolak untuk dijadikan satu-satunya kambing hitam dalam kegagalan komitmen dua orang.

“Apa yang Dicari?”

Di balik penolakan label, terdapat pencarian yang lebih dalam. Pertanyaan “Pelakor , apa yang kamu cari?” membuka pintu menuju labirin motivasi psikologis yang sering kali tidak disadari oleh pelakunya sendiri.

pelakor
Ilustrasi: Suasana keributan antara istri sah dan pelakor di sebuah restoran – (Sumber: Arie/BJN)

Sering kali, pilihan ini berakar pada kebutuhan mendalam akan validasi. Perhatian dari seorang pria yang telah “dipilih” oleh wanita lain (istrinya) dapat memberikan dorongan ego yang kuat. Secara evolusioner, ini dikenal sebagai fenomena “mate poaching” ─ di mana individu tertarik pada pasangan yang sudah terikat karena status mereka yang “terbukti” memiliki nilai (misalnya, mampu berkomitmen, provider yang baik).

Bagi individu dengan harga diri rendah atau luka masa lalu terkait penolakan, perhatian eksklusif dari pria beristri bisa terasa seperti validasi tertinggi atas nilai dan daya tarik mereka.

Beberapa wanita masuk ke dalam hubungan ini dengan persepsi bahwa mereka adalah “penyelamat”. Mereka melihat pria tersebut sebagai korban dalam pernikahan yang tidak bahagia, dingin, atau penuh konflik.

Dalam skenario ini, mereka tidak melihat diri mereka sebagai perusak, melainkan sebagai pahlawan yang datang untuk menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan yang tidak ia dapatkan di rumah. Ini mengubah dinamika dari perselingkuhan menjadi sebuah “misi penyelamatan emosional”.

Hubungan terlarang sering kali menciptakan gelembung keintiman yang intens namun semu. Kerahasiaan, pertemuan curian, dan risiko yang ada dapat memicu adrenalin dan dopamin, menciptakan perasaan “cinta yang luar biasa” dan “koneksi mendalam” yang mungkin sulit ditemukan dalam hubungan konvensional. Mereka tidak mencari status pernikahan, melainkan mencari intensitas emosi yang ditawarkan oleh dinamika hubungan terlarang itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, aspek pragmatis juga berperan. Seorang pria yang sudah menikah dan mapan sering kali dilihat sebagai sumber daya stabilitas finansial dan keamanan. Dalam beberapa kasus, ini bukan murni tentang cinta, melainkan sebuah strategi bertahan hidup atau jalan pintas untuk mencapai status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi, meskipun dengan risiko sosial yang besar.

Perspektif Sosiokultural, Ketika Masyarakat Ikut Berperan

Fenomena ini tidak terjadi di ruang hampa. Struktur masyarakat dan norma budaya turut membentuknya.  Istilah “pelakor” sendiri sangat bias gender. Jarang sekali kita mendengar istilah yang sepadan dan sepopuler itu untuk pria yang merebut istri orang.

Fokus pada perempuan sebagai “penggoda” dan “perusak” adalah cerminan dari struktur patriarkal yang cenderung menyalahkan perempuan atas isu-isu moralitas seksual, sementara memaafkan atau menormalkan ketidaksetiaan pria.

Meningkatnya fenomena ini juga bisa menjadi cermin dari krisis dalam institusi pernikahan itu sendiri. Ekspektasi yang tidak realistis, komunikasi yang buruk, dan ketidakmampuan pasangan untuk berevolusi bersama dapat menciptakan kekosongan emosional dalam pernikahan, menjadikannya rentan terhadap intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga ini sering kali hanya mengisi kekosongan yang sudah ada lebih dulu.

Menjawab pertanyaan “Pelakor, apa yang kamu cari?” bukanlah sebuah upaya untuk mencari pembenaran. Ini adalah sebuah ajakan untuk melihat melampaui label yang menghakimi dan memahami kompleksitas manusia di baliknya.

Penolakan terhadap label “pelakor” adalah perjuangan seorang individu untuk tidak direduksi menjadi karikatur jahat. Di balik pilihan tersebut, terdapat pencarian akan validasi, cinta, keamanan, atau sekadar intensitas emosi—pencarian yang dilakukan di tempat yang salah dan dengan cara yang destruktif.

Fenomena ini adalah sebuah cermin sosial yang merefleksikan tidak hanya kerapuhan individu, tetapi juga kerapuhan komitmen, bias dalam struktur sosial kita, dan kekosongan yang mungkin ada dalam institusi pernikahan modern. Memahaminya secara mendalam bukan untuk memaafkan, tetapi untuk mendorong introspeksi yang lebih jujur bagi kita semua tentang esensi sebuah hubungan, komitmen, dan tanggung jawab.

Mengapa Ia Tetap Maju Meski Tahu Pria Itu Berkeluarga?

Pertanyaan mengapa seorang wanita secara sadar memilih untuk menjalin hubungan dengan pria beristri, padahal ia tahu tindakannya akan menyebabkan luka adalah sebuah pertanyaan yang sangat kompleks. Pada intinya, keputusan tersebut sering kali tidak didorong oleh keinginan untuk menghancurkan, melainkan oleh kebutuhan internal yang begitu kuat hingga menutupi pertimbangan moral.

Sering kali, ini berakar dari pencarian validasi diri yang ekstrem. Perhatian dari seorang pria yang telah “dimiliki” wanita lain dapat memberikan dorongan ego yang luar biasa, seolah menjadi bukti bahwa dirinya lebih unggul atau lebih diinginkan. Kebutuhan ini menjadi semakin kuat ketika pria tersebut melukiskan dirinya sebagai korban dalam pernikahan yang tidak bahagia.

Narasi ini mengubah wanita tersebut dari perusak menjadi “penyelamat” dalam benaknya sendiri, memberinya pembenaran moral untuk melanjutkan hubungan tersebut. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai orang ketiga, tetapi sebagai solusi atas penderitaan pria yang ia cintai.

Lalu, bagaimana dengan tindakan yang seolah sengaja menyakiti sesama perempuan? Ini sering kali merupakan mekanisme pertahanan psikologis yang sangat kuat agar ia dapat hidup dengan pilihannya tanpa dihantui rasa bersalah, ia harus berhenti melihat sang istri sebagai manusia seutuhnya yang memiliki perasaan.

Sang istri direduksi menjadi sekadar “penghalang” atau “rival” dalam sebuah kompetisi. Dengan mendehumanisasi lawannya, rasa empati bisa dimatikan. Agresi atau provokasi yang ia lakukan bukanlah tanda kekuatan, melainkan cerminan dari rasa tidak amannya sendiri. Posisinya dalam hubungan itu sangat rapuh dan tidak memiliki legitimasi sehingga menyerang sang istri menjadi cara yang salah untuk menegaskan dominasi dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah “menang”.

Jadi, pada akhirnya, tindakan menyakiti itu bukanlah tujuan utama, melainkan akibat tragis dari usahanya untuk memenuhi kekosongan dalam dirinya dan mempertahankan posisi yang ia tahu sejak awal sangatlah rapuh.

Dalam “sinetron kehidupan” yang ia ciptakan sendiri, seorang “pelakor” seringkali memposisikan dirinya sebagai tokoh protagonis yang maha benar. Ini bukanlah tanda kejahatan murni, melainkan sebuah mekanisme pertahanan psikologis yang sangat kuat untuk membenarkan tindakannya.

Dalam narasinya, ia bukanlah perusak; ia adalah pahlawan penyelamat yang datang untuk menyelamatkan seorang pria dari pernikahan yang hampa dan menyedihkan. Sang istri sah seringkali dilukiskan sebagai tokoh antagonis yang lalai, dingin, atau tidak mampu memberikan kebahagiaan sehingga perselingkuhan suaminya dianggap sebagai “kesalahan” sang istri.

Dengan keyakinan bahwa ia berada di pihak yang benar dan memperjuangkan “cinta sejati”, ia merasa memiliki hak dan legitimasi untuk melanggar batas-batas, mengabaikan ikatan suci pernikahan. Bahkan, menyakiti wanita lain.

Rasa sakit yang ditimbulkannya dianggap sebagai ‘konsekuensi logis’ dari kegagalan istri sah, bukan sebagai akibat dari perbuatannya sendiri. Pada akhirnya, ia tidak merasa sedang merusak tatanan rumah tangga orang lain; menurut versinya, ia sedang ‘memperbaiki’ sebuah ketidakadilan dan ‘menyelamatkan’ cinta, sebuah peran maha benar yang memberinya izin untuk melakukan apa saja.

Dalam pandangan Islam, sikap merasa “maha benar” adalah penyakit hati yang sangat berbahaya karena menutup pintu hidayah, nasihat, dan taubat. Sifat ini dipandang sebagai cerminan dari kesombongan (`kibr`), yang merupakan dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis.

Allah SWT secara eksplisit melarang hamba-Nya untuk mengklaim kesucian atau kebenaran bagi diri mereka sendiri. Kebenaran sejati tentang siapa yang paling bertakwa hanya diketahui oleh Allah. Firman Allah dalam Q.S. An-Najm [53]: 32:

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Ayat ini adalah pukulan telak bagi siapapun yang merasa dirinya paling benar, paling suci, atau tindakannya paling absah. Allah menegaskan bahwa penilaian semacam itu bukanlah hak manusia.

Sifat merasa maha benar adalah wujud dari kesombongan (`kibr`). Rasulullah saw memberikan ancaman yang sangat keras terhadap sifat ini, bahkan jika hanya ada sebesar biji sawi di dalam hati. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

 “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.”

Kemudian seorang sahabat bertanya, “Sesungguhnya seseorang suka jika baju dan sandalnya bagus.” Beliau menjawab:

إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (H.R. Muslim)

Hadis ini mendefinisikan kesombongan dengan sangat jelas. Orang yang merasa maha benar sejatinya sedang melakukan dua hal. Pertama , menolak kebenaran (`baṭarul-ḥaqq`). Ia menolak nasihat, hukum syariat, dan fakta bahwa perbuatannya salah.

Kedua meremehkan manusia (`ghamṭun-nās`), Ia memandang rendah orang lain (seperti istri sah), merasa dirinya lebih baik, lebih pantas, dan lebih layak. Ketiga, ia adalah orang yang tertipu oleh perbuatannya sendiri .

Al-Qur’an juga menggambarkan kondisi orang-orang yang celaka karena mereka merasa telah melakukan hal yang benar, padahal sesungguhnya mereka sedang berbuat kerusakan. Mereka adalah golongan yang paling rugi. Firman Allah dalam Q.S. Al-Kahf [18]: 103-104:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?’ (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”

Ayat ini menjadi cerminan bagi siapa saja yang membenarkan perbuatan maksiat dengan dalih cinta atau alasan lainnya, merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kebaikan, padahal di mata Allah itu adalah sebuah kerusakan.

Dalam Islam, tidak ada ruang bagi seseorang untuk merasa “maha benar”. Sikap seorang mukmin sejati adalah `tawadhu` (rendah hati), selalu `muhasabah` (introspeksi diri), dan sadar bahwa dirinya penuh dengan kekurangan. Merasa benar adalah pintu menuju kesombongan, dan kesombongan adalah jalan menuju kemurkaan Allah dan kehancuran.

“Pelakor”: Sebuah Pelanggaran terhadap Batasan Allah

Dalam kacamata ajaran Islam, tindakan seorang wanita yang secara sadar menjalin hubungan dengan suami orang lain, yang populer dengan istilah “pelakor” adalah sebuah perbuatan yang secara tegas dilarang dan tercela. Islam memandang perbuatan ini bukan sekadar masalah sosial atau persoalan perasaan, melainkan sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip fundamental agama, kehormatan, dan tatanan masyarakat.

Apapun alasan yang dikemukakan—baik itu cinta, janji akan dinikahi, merasa sebagai penyelamat dari pernikahan yang tidak bahagia, atau bahkan karena faktor ekonomi—semua itu tidak dapat menjadi pembenaran di hadapan hukum Allah SWT. Dasar pelarangan ini berlandaskan pada beberapa pilar utama dalam ajaran Islam

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 32). 

Ayat ini menggunakan frasa “wala taqrabu” (janganlah kamu mendekati), yang memiliki makna lebih dalam daripada sekadar “jangan berzina”. Mendekati zina mencakup semua perbuatan yang menjadi pintu gerbang menuju perzinaan, seperti berduaan (khalwat) dengan yang bukan mahram, percakapan mesra, sentuhan fisik, dan hubungan emosional terlarang. Hubungan seorang wanita dengan suami orang lain adalah bentuk nyata dari “mendekati zina” yang membuka pintu fitnah dan kemaksiatan yang lebih besar.

Pelakor sangat merusak ikatan suci pernikahan (Mītsāqan Ghalīzhā).  Pernikahan dalam Islam disebut sebagai mītsāqan ghalīzhā, yaitu “perjanjian yang agung” (Q.S. An-Nisa’: 21).

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat darimu.”

Ini adalah ikatan suci yang dibuat atas nama Allah SWT antara seorang pria dan seorang wanita. Mengganggu, merusak, atau menjadi penyebab retaknya ikatan suci ini adalah dosa yang sangat besar. Tindakan tersebut sama saja dengan merusak sebuah bangunan yang didirikan atas dasar ketakwaan dan merampas hak-hak seorang istri yang sah, seperti hak atas kesetiaan suaminya, ketenangan batin, dan keutuhan rumah tangganya.

Secara spesifik, Rasulullah saw memberikan ancaman yang sangat keras bagi siapa pun yang menjadi penyebab rusaknya hubungan seorang istri dengan suaminya. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang merusak (hubungan) seorang wanita dengan suaminya.” (HR. Abu Daud, dinilai shahih oleh Al-Albani).

Kalimat “bukan termasuk golongan kami” adalah sebuah pernyataan lepas diri dari Rasulullah saw. Ini menunjukkan betapa beratnya dosa perbuatan tersebut di sisi Allah, karena pelakunya tidak diakui sebagai pengikut setia ajaran Nabi Muhammad saw. Hadis ini tidak membedakan apakah pelakunya pria atau wanita; siapapun yang menjadi perusak rumah tangga orang lain, ia mendapat ancaman yang sama.

Menjadi orang ketiga adalah bentuk kezaliman (dzulm) yang nyata. Pertama, zalim kepada istri sah yang haknya dirampas dan hatinya dilukai. Kedua, zalim kepada anak-anak dari keluarga tersebut yang berisiko kehilangan keharmonisan dan figur orang tua yang utuh.

Ketiga, zalim kepada dirinya sendiri dengan menempatkan diri dalam kubangan dosa dan murka Allah. Perbuatan ini juga termasuk menebar kerusakan (fasād) di muka bumi, karena ia merusak tatanan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat dan menyebarkan benih permusuhan serta kebencian.

Dalam Islam, alasan seperti “kami saling mencintai” atau “pernikahannya sudah di ujung tanduk” tidak dapat diterima sebagai pembenaran. Cinta yang lahir dari jalan yang haram adalah cinta yang dinodai oleh bisikan setan. Jika sebuah pernikahan bermasalah, solusinya adalah perbaikan (ishlah) atau perpisahan yang baik (talak), bukan dengan memasukkan pihak ketiga.

Bagi seorang wanita beriman, pintu solusi dari masalah apapun bukanlah dengan melanggar batasan Allah dan menyakiti sesama saudari muslimah. Jalan yang benar adalah menjaga kehormatan (iffah), menjauhi fitnah, dan memohon kepada Allah agar diberikan pasangan melalui cara yang halal dan diridhai-Nya.

Dengan demikian, apapun alasannya, peran sebagai “pelakor” adalah jalan yang dimurkai Allah, merusak tatanan sosial, dan membawa kehancuran tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi diri pelakunya sendiri di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, apa yang kamu cari wahai pelakor?

Kau datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai bara api. Menghangatkan satu hati dengan janji. Namun, membakar seluruh rumah hingga menjadi abu. Kebahagiaan yang kau tanam di atas ladang air mata wanita lain tidak akan pernah berbuah manis. Sebab setiap akarnya adalah racun yang perlahan akan merusak dirimu sendiri.”

***

Judul: Pelakor, Apa yang Kamu Cari? Sebuah Analisis Psikologis dan Sosiokultural di Balik Stigma Sebuah Label yang Membakar
Penulis: Binti Wasunah, seorang guru mengaji  di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *