ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Nasi yang Menangis: Sebutir Rezeki yang Terabaikan

Berita Jabar News (BJN), Rubrik OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Jumat (10/10/2025) – Artikel berjudul Nasi yang Menangis: Sebutir Rezeki yang Terabaikan” merupakan karya Jumari Haryadi, seorang penulis, jurnalis, dan pendiri Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.

Selasa pagi, 22 April 2025, sekitar pukul 10.15 WIB, saya berangkat dengan kendaraan bermotor menuju kediaman sahabat saya, Bahar Malaka atau akrab disapa Kang bahar ─ seorang pelukis eksentrik berambut gimbal yang baru saja menerima penghargaan sebagai Penerima Anugerah Kebudayaan Tahun 2024 dengan kategori Pencipta dan Pengembang.

Kediaman Kang Bahar hanya berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari rumah saya yang terletak di Kampung Cibaligo, Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Sesampainya saya di Gang Bajat, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi, Kang Bahar sudah bersiap dijemput.

Jumari Haryadi
Jumari Haryadi, Penulis/Jurnalis – (Sumber: Arie/BJN)

Saya dan Kang Bahar pun berangkat mengarungi perjalanan kecil kami menuju Dago Pojok, Kota Bandung, membelah udara pagi yang sejuk. Kami berdua hendak menghadiri undangan teman kami, Kang Aam Zaman. Ia merupakan anggota Komunitas Cika-Cika dan seorang aktivis lingkungan hidup. Hari itu akan ada acara peresmian PASAR SISI WALUNGAN oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Pasar ini diinisiasi oleh Komunitas Cika-Cika.

Komunitas Cika-Cika ini didirikan pada 22 Desember 2011 dan berlokasi di Cikalapa, Dago Pojok, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Komunitas ini bertujuan untuk menjaga kebersihan Sungai Cikapundung. Nama “Cika-Cika” diambil dari serangga malam kunang-kunang yang dapat mengeluarkan cahaya. Program rutin komunitas ini meliputi membersihkan sungai, olahraga, edukasi, seni budaya, dan pembibitan tanaman dengan fokus utama pada melestarikan Sungai Cikapundung

Sepanjang perjalanan, saya dan Kang Bahar asik ngobrol berbagai topik. Obrolan kami tak lepas dari masalah seni, budaya, dan kehidupan sosial. Dalam denting-denting kecil percakapan, topik kami bergeser membahas tentang  sebuah kebiasaan buruk yang banyak dilakukan manusia: membuang makanan.

“Kang, pernah lihat kan kalo di pesta-pesta itu, orang-orang ambil makanan segunung, tapi makannya cuma setengah piring?” kata saya kepada Kang Bahar sambil tertawa getir.

Kang Bahar mengangguk dan ikut menyatakan keprihatinannya terhadap ulah beberapa gelintir manusia yang tak bisa bersyukur tersebut. Bayangan pesta-pesta prasmanan muncul di kepala saya— nasi, lauk-pauk, dan buah-buahan, semuanya diambil penuh semangat, tapi hanya disentuh separuh, sisanya berakhir di tong sampah. Ironis. Sementara di sudut-sudut dunia lain, anak-anak Palestina, Somalia, dan Yaman meregang lapar, berharap pada sesuap nasi yang tak kunjung datang.

Bahar Malaka
Penulis (kiri) dan Bahar Malaka (kanan) – (Sumber: Arie/BJN)

Tangisan Sebutir Nasi

Kang Bahar lalu berkata sesuatu yang membuat saya tertegun, “Andai nasi bisa bicara, mungkin dia akan menangis,” ucapnya lirih.

Saya membayangkan, sebutir nasi kecil, putih bersih, berjuang dari ladang hingga piring manusia. Ia lahir dari padi yang ditanam dengan peluh petani — yang menggemburkan tanah dengan tangan retak, menyemai benih di bawah terik matahari, merawat tanaman dengan cinta dan kesabaran. Berbulan-bulan mereka menunggu, sebelum akhirnya panen datang membawa secercah harap untuk kelangsungan hidup keluarga mereka.

Petani menanam padi
Ilustrasi: Seorang petani sedang menanam padi di sawah – (Sumber: Arie/BJN)

Padi-padi itu kemudian digiling menjadi beras, dikemas, diperdagangkan, dibawa ke dapur-dapur rumah, lalu dimasak dengan api yang juga lahir dari jerih payah manusia. Betapa panjang perjalanan itu, betapa mulianya tugas yang dipikul sebutir nasi. Namun, di atas piring, dalam sebuah pesta, ia terabaikan begitu saja. Dimakan setengah, seperempat, atau bahkan tidak disentuh sama sekali, sebelum akhirnya dibuang ke tong sampah.

Kalau nasi itu punya jiwa, mungkin ia akan menjerit: “Aku lahir dari tanah, disiram peluh, dipanen dengan doa, dimasak dengan harap. Mengapa aku dibuang tanpa arti?”

Saya jadi teringat sebuah kisah yang diceritakan oleh ibu saya ketika saya masih kanak-kanak. Saat itu saya sering menyisakan nasi ketika makan. Ibu saya selalu marah dan meminta anak-anaknya agar tidak menyia-nyiakan makanan. Ia selalu menyuruh kami, anak-anaknya agar selalu menghabiskan setiap makanan yang kami makan dan tak boleh menyisakan nasi walau cuma sebutir.

Namun, kami masih saja sering menyisakan nasi dipiring. Hal ini tentu membuat ibu kami selalu menegur kami. Akhirnya ibu kami bercerita tentang sebuah kisah di kampungnya.

Ibu saya bercerita. Saat itu ia masih kecil dan sedang duduk di tangga rumahnya yang terbuat dari kayu ─ Ibu saya berasal dari Baturaja, Sumatra Selatan, rumah di kampungnya umumnya berupa rumah panggung yang bahannya terbuat dari kayu. Sudah beberapa hari ia sering mendengar ada suara tangisan dari bawah rumah panggung itu, tetapi saat dicari, tak ditemukan seorang pun di sana.

Akhirnya, pada suatu hari karena rasa penasaran, ibu saya terus mencari sumber suara tangisan. Setelah diteliti, ternyata suara itu berasal dari sebutir nasi yang ada di antara tanah, debu, dan butiran pasir.

“Hai nasi, benarkah kamu yang sedang menangis?” sapa ibu saya kepada sebutir nasi yang telah berada di telapak tangannya.

“Benar, saya yang sedang menangis,” jawab nasi itu dengan nada sedih.

“Mengapa engkau menangis? Apa yang membuatmu bersedih?” Tanya ibu saya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Aku sedih karena sering disia-siakan oleh manusia. Aku diciptakan Tuhan untuk dijadikan bahan makanan. Aku senang kalau aku menjadi dimakan, tapi aku justru disia-siakan. Aku merasa seperti makhluk yang tak ada manfaatnya,” ujar sebutir nasi itu dengan nada pilu.

“Maafkan aku ya nasi. Selama ini aku memang sering menyisakan makanan. Aku tak pernah berpikir kalau sisa makanan yang tidak aku makan akan kecewa seperti dirimu. Mulai hari ini, aku berjanji untuk tidak lagi menyia-nyiakan makanan. Aku ingin menjadi manusia yang membuat sebutir nasi tersenyum, bukan menangis,” jawab ibuku dengan rasa penyesalan yang dalam.

Sejak saat itu ibuku berjanji, dirinya tidak akan menyia-nyiakan makanan. Ia akan selalu menghabiskan makanan yang ada di piringnya.

Semoga kita semua bisa menjadi insan yang lebih menghargai rezeki, sebab setiap butir nasi, setiap tetes air, setiap hela napas adalah anugerah yang patut kita syukuri. Sungguh, tiada yang lebih indah di dunia ini selain hati yang penuh rasa syukur.

Pandangan Islam tentang Menyia-nyiakan Makanan

Dalam Islam, makanan adalah nikmat yang harus dihargai. Menyia-nyiakan makanan bukan hanya bentuk ketidakadaban, melainkan juga dosa.

Rasulullah SAW bersabda: “Makanan itu adalah berkah maka jika seseorang menjatuhkan sepotong makanan, hendaklah dia membersihkannya dari kotoran lalu memakannya dan jangan membiarkannya untuk setan.” (H.R. Muslim).

Sebutir nasi yang jatuh ke tanah pun dianjurkan untuk dipungut, dibersihkan, lalu dimakan. Islam mengajarkan betapa agungnya nilai dari setiap rezeki yang Allah berikan. Tidak ada yang terlalu kecil untuk dihargai.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memboroskan itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 27).

Memboroskan makanan, mengambil lebih dari yang dibutuhkan, lalu membuangnya, adalah bagian dari perbuatan mubazir yang dicela agama. Setan mengajak manusia untuk sombong terhadap nikmat, mempermainkan rezeki yang seharusnya disyukuri.

Dalam khazanah tasawuf, ada kisah-kisah tentang makhluk-makhluk kecil yang akan bersaksi di hadapan Allah pada hari kiamat. Mungkin, sebutir nasi pun kelak akan berkata, “Ya Rabb, aku adalah rezeki yang Engkau titipkan, tapi manusia membuangku. Mereka mempermainkanku. Mereka tidak bersyukur atas anugerah-Mu.”

Betapa ngerinya jika kita dipersalahkan oleh nikmat yang kita abaikan. Sesungguhnya tidak sulit untuk menghentikan kebiasaan buruk itu. Ambillah makanan secukupnya. Nikmati dengan penuh kesadaran bahwa di sana ada doa petani, ada peluh koki, ada kasih sayang alam semesta.

Makanlah dengan rasa syukur. Rasulullah SAW sendiri makan dengan penuh rasa hormat terhadap makanan. Beliau tidak pernah mencela makanan, tidak pernah membuang makanan, dan selalu mengajarkan adab makan kepada umatnya.

Mungkin sudah waktunya, di pesta-pesta kita, kita bukan sekadar berbusana indah dan bersolek, tapi juga menjaga adab terhadap rezeki. Bukan hanya mengambil secukupnya, tapi juga menghabiskan apa yang kita ambil sebagai bentuk penghormatan kepada nikmat Allah.

***

Judul: Nasi yang Menangis: Sebutir Rezeki yang Terabaikan
Jurnalis/Penulis: Jumari Haryadi
Editor: JHK

Catatan:

Tulisan ini sudah pernah terbit di KOMPASIANA dengan judul yang sama dan diterbitkan ulang di BERITA JABAR NEWS atas seizin penulisnya. Tulisan aslinya bisa Anda baca di SINI.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *