ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniSosial

Menimbang Ulang Arah Pembinaan Generasi di Tengah Derasnya Arus Digital

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Selasa (23/12/2025) – Artikel berjudul “Menimbang Ulang Arah Pembinaan Generasi di Tengah Derasnya Arus Digital” ini ditulis oleh Siti Solehati, S.E., Pendidik dan Pemerhati Persoalan Generasi. Penulis kini berdomisisli di Gegerkalong Tengah, Kota Bandung.

Penghujung tahun 2025 merupakan momentum muhasabah yang tepat dalam mengevaluasi rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun. Dari berbagai peristiwa yang tampak menunjukkan bahwa kondisi generasi muda berada dalam situasi yang mengkhawatirkan, mulai dari paparan konten pornografi, perilaku bullying, sampai gaya hidup liberal di media sosial. Semua itu telah membentuk pola pikir dan prilaku mereka yang semakin jauh dari fitrah.

Bersamaan dengan hal tersebut, kerapuhan mental generasi tampak semakin nyata. Tidak sedikit generasi yang mengalami tekanan psikologis hingga berujung pada tindakan menyakiti diri sendiri maupun mengakhiri hidupnya. Kalau hal ini terus dibiarkan, tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan generasi pada masa depan.

Guru mengajar
Ilustrasi: Suasana belajar di sekolah dasar – (Sumber: Arie/BJN)

Potret suramnya generasi pada era digitalisasi mendorong negara untuk menyelamatkan generasi dari bahaya ruang digital. Pada 28 Maret 2025, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama pemangku kepentingan lain merespon dengan mengesahkan PP TUNAS ─  Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 yang bertujuan untuk melindungi anak. Regulasi yang bertujuan membatasi akses anak ke media sosial dan ruang digital sesuai usia, serta melindungi mereka dari konten negatif, cyber bullying, dan eksploitasi digital.

Dengan hadirnya kebijakan ini, harapannya bukan hanya membendung arus konten destruktif, tetapi juga memberikan pondasi bagi tumbuh kembang generasi yang sehat dari segi mental, moral, dan sosial di tengah derasnya arus digital. Namun, mampukah regulasi yang dibentuk negara benar-benar menyelesaikan kerusakan generasi yang kian parah?

Realitas kerusakan generasi tidak semata-mata lahir dari derasnya paparan ruang digital. Akan tetapi, bersumber dari faktor-faktor sistemik yang membentuk pola pikir, model perilaku hingga arah pendidikan hari ini yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan pembatasan akses platform digital.

Sejatinya media sosial bukan penyebab utama kerusakan generasi, ia hanyalah sarana yang mempertebal nilai yang telah bercokol dalam struktur kehidupan sosial kita. Konten yang vulgar, normalisasi penyimpangan moral tidak lahir dari algoritma kosong. Ia tumbuh dari nilai yang sebelumnya telah menjauhkan generasi dari fitrah dan kebenaran.

Beberapa nilai rusak yang bisa merusak generasi, seperti tiga hal ini. Pertama, normalisasi gaya hidup bebas. Nilai kebebasan (liberalisme) yang diajarkan melalui film, musik, dan kurikulum. Peran media sosial hanya sarana yang ikut menyebarkan tren tersebut lebih luas melalui TikTok, Instagram, YouTube, sehingga gaya pacaran bebas terlihat “biasa”.

Kedua, konsumerisme. Budaya kapitalisme telah menanamkan nilai materialis menjadikan standar “bahagia” adalah “memiliki”. Oleh karena itu, peran media sosial membuatnya lebih masif lewat influencer, iklan, unboxing, FOMO, dll.

Ketiga, kurikulum pendidikan yang Jauh dari Islam. Pendidikan agama ditempatkan sebagai pelengkap, bukan pondasi. Sekolah mengajarkan cara membuat aplikasi, membentuk kreativitas digital, tetapi minim dalam membentuk akhlak, adab, dan identitas keimanan generasi.

Generasi dibiasakan menguasai teknologi, tetapi tidak diperkuat dengan kemampuan membedakan mana nilai yang layak ditiru, mana yang wajib ditolak. Oleh karena itu, wajar ketika media sosial menyodorkan gaya hidup bebas, mereka menerimanya tanpa terlebih dahulu memeriksa standar halal haram.

Walhasil bukan karena paparan layar terlalu kuat, akan tetapi karena nilai kehidupan yang ditanamkan jauh dari Islam. Maka bisa kita simpulkan bahwasanya media sosial tidak menciptakan kerusakan, ia hanya memperbesar panggungnya. Digitalisasi bukan sumber penyakit, hanya pengeras suara dari nilai rusak yang sudah lama dibiarkan tumbuh subur ditengah generasi.

Pembatasan akses digital tidak akan mampu menjadi solusi jika akar masalahnya masih dibiarkan tumbuh subur. Kita mungkin mencegah anak berjam-jam berselancar di dunia maya. Namun, selama sistem pendidikan, budaya yang diterapkan, hingga arah kebijakan negara masih berkiblat pada sekularisme yang meminggirkan agama dari kehidupan, maka perbaikan generasi hanya sebatas wacana.

Muhasabah akhir tahun semestinya tidak berhenti pada evaluasi teknis pembatasan layar dan pengawasan digital. Pertanyaan yang paling mendasar justru terletak pada nilai apa yang seharusnya menjadi acuan pembinaan generasi?

Islam menawarkan jawaban bukan sebatas moral dasar, tetapi sebagai kerangka bangunan peradaban yang menyeluruh. Setidaknya ada empat hal yang positif ketika Islam digunakan sebagai solusi dalam persoalan generasi.

Pertama, Islam membentuk perilaku melalui pemahaman, bukan sekadar larangan. Dalam Islam, perilaku lahir dari akidah yang dipahami dan diyakini. Ketika generasi memahami bahwa Allah Maha Melihat dan setiap perbuatan akan dihisab, maka kontrol diri tidak lagi bergantung pada pengawasan eksternal akan tetapi melalui kesadaran yang bersumber dari aqidah yang tertanam.

Ketika akidah menjadi dasar berpikir (aqliyah Islamiyah) dan bersikap (nafsiyah Islamiyah), maka penggunaan teknologi berubah menjadi ibadah, bukan pelampiasan hawa nafsu semata. Dengan demikian media sosial bukan ancaman, melainkan sarana dakwah dan kebaikan.

Kedua, negara dalam Islam membangun benteng keimanan melalui pendidikan. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan kepribadian (syakhsiyah Islamiyah) yang selaras antara pola pikir dan pola sikap. Negara bertanggung jawab memastikan seluruh proses pendidikan berporos pada akidah.

Berdasarkan landasan tersebut maka akan tercipta literasi digital yang tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi adab bermedia, amanah informasi, dan tanggung jawab hisab.

Ketiga, sistem Islam membentuk ekosistem yang menopang ketakwaan. Kekuatan Islam bukan hanya pada teori moral, tetapi pada sistem yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ketika syariat diterapkan dalam tatanan sosial, hukum, ekonomi, dan budaya maka akan tumbuh generasi tangguh dalam lingkungan yang mendukung ketakwaan mereka.

Dalam Islam, negara berfungsi sebagai junnah (pelindung) maka, konten-konten rusak yang merusak akan dicegah berdasarkan standar halal–haram sebagai rujukan. Ruang publik, media, dan hiburan dikurasi agar menjadi lahan tumbuhnya adab. Kreativitas digital diarahkan untuk dakwah, edukasi, dan pengembangan ilmu, bukan eksploitasi syahwat atau popularitas semu.

Dalam lingkungan seperti ini, generasi tidak merasa berjuang sendirian untuk mempertahankan moral, karena seluruh ekosistem mendukungnya untuk tumbuh dalam kebaikan.

Keempat, generasi harus menjadi pelaku dakwah, bukan sekadar objek perlindungan. Islam tidak membentuk generasi pasif yang hanya menunggu untuk dijaga, tetapi Islam membentuk karakter generasi aktif yang memperjuangkan kebenaran. Generasi akan dibina untuk menjadi pengemban risalah yang dapat mengoreksi arus digital, bukan ikut hanyut di dalamnya.

Adapun tumbuh komunitas pemuda dalam masyarakat yang berfungsi kontrol masyarakat dalam beramar ma’ruf serta sebagai ruang pembinaan akidah, ilmu, dan hikmah. Dengan orientasi ini, media sosial justru menjadi panggung penyebaran cahaya, bukan kegelapan.

Jadikanlah muhasabah akhir tahun sebagai penghantar bagi kita kembali pada nilai Islam sebagai pedoman pembinaan generasi dalam pendidikan, tata sosial, dan arah hidup agar teknologi digital bukan lagi menjadi ancaman melainkan instrumen kebaikan. Dengan demikian media sosial dapat menjadi sarana dakwah, ilmu, dan ketaatan. Hal tersebut bisa terwujud jika generasi dibangun di atas pondasi akidah yang kokoh dan sistem yang menopang ketakwaan yakni sistem Islam. (Siti Solehati).

***

Judul: Menimbang Ulang Arah Pembinaan Generasi di Tengah Derasnya Arus Digital
Penulis: Siti Solehati, S.E., Pendidik dan Pemerhati Persoalan Generasi
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang Penulis

Siti Solehati, lahir di Cimahi pada 5 Januari 1988 dan saat ini tinggal di Gegerkalong Tengah, Kota Bandung. Wanita yang suka menulis ini merupakan seorang sarjana ekonomi dari Universitas Jenderal Achmad Yani, Kota Cimahi. Selain hobi menulis, ia juga tertarik dengan dunia pendidikan, pembinaan generasi, dan nilai-nilai keislaman.

Siti Solehati
Siti Solehati, Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Saat ini Siti aktif sebagai pengajar Al-Qur’an, pendidik, sekaligus pemerhati persoalan generasi. Ia gemar mengamati berbagai fenomena yang terjadi pada generasi hari ini, lalu mengomparasikannya dengan pandangan Islam sebagai pijakan dalam membaca realitas.

Ketertarikan Siti pada sejarah peradaban Islam juga menjadi bagian penting dari proses belajarnya karena ia berpandangan bahwa memahami jejak peradaban adalah langkah awal untuk mengubah arah dan langkah ke depan.

Siti senang bergabung dengan berbagai komunitas, khususnya komunitas literasi. Melalui membaca, ia berupaya memperluas cara pandang dan memperdalam pemahaman, serta melatih kepekaan dalam melihat persoalan dari berbagai sisi. Membaca baginya bukan sekadar aktivitas, tetapi kebutuhan untuk terus bertumbuh secara intelektual dan spiritual.

Bagi pecinta buku ini, menulis adalah sarana belajar berpikir analitik sekaligus mengasah pengetahuan.

“Proses menulis mendorong saya untuk mencari referensi, menimbang gagasan, dan menyusun pemikiran secara lebih runtut,” ujar Siti.

Melalui tulisan, Siti berharap dapat berbagi sudut pandang yang reflektif dan membangun, khususnya dalam isu-isu pendidikan, generasi.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *