ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Mengkritik sebagai Hasil Refleksi Membaca

BERITA JABAR NEWS (BJN)Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Kamis (17/10/2024) – Artikel berjudul “Mengkritik sebagai Hasil Refleksi Membaca” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam dunia literasi, membaca dan mengkritik memiliki hubungan yang erat. Ketika kita membaca suatu tulisan—baik itu esai, opini, maupun karya sastra—proses yang terjadi bukanlah sekadar menyerap informasi. Membaca yang baik melibatkan pemikiran kritis, refleksi, dan evaluasi. Proses ini dapat menimbulkan efek pemahaman yang lebih mendalam sehingga ketika seorang pembaca memberikan kritik terhadap suatu tulisan, hal tersebut sebenarnya adalah hasil dari refleksi terhadap bacaan tersebut.

Mengkritik tidak hanya soal menemukan kekurangan. Kritik yang baik justru mencerminkan pemahaman mendalam terhadap teks yang dibaca, termasuk menghargai kelebihan karya tersebut. Namun, juga harus berani mengemukakan pandangan tentang aspek yang dirasa kurang. Proses ini menuntut pembaca untuk berinteraksi dengan teks, membandingkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, serta memperluas wacana berdasarkan pengalaman dan pemahaman.

Membaca dengan Refleksi: Melihat Kelebihan dan Kekurangan Tulisan

Saat kita membaca dengan penuh kesadaran, kita tidak hanya menikmati alur cerita atau ide-ide yang dihadirkan penulis, tetapi juga secara otomatis melakukan analisis terhadap isi tulisan tersebut. Kita mulai melihat bagaimana sebuah tulisan dibangun, dari pemilihan kata hingga struktur logika yang dipakai. Proses ini memunculkan sebuah refleksi: apa yang menarik dari tulisan ini? Apa yang kurang jelas? Apakah informasi yang diberikan sudah lengkap? Dari sinilah muncul dorongan untuk mengkritik.

Membaca buku
Ilustrasi: Membaca buku menyehatkan jiwa dan pikiran – (Sumber: Arie/BJN)

Sebagai contoh, mari kita lihat tulisan Agung Ilham Setiadi mengenai Ajip Rosidi yang disusun oleh Agung Ilham Setiadi (AIS) dan dimuat di media online MajmusSunda News pada 8 Oktober 2024 dengan judul  Ajip Rosidi: Geugeut jeung Cinta ka Sarakan Lemah Cai Ditamperkeun dina Sajakna ‘Tanah Sunda’. Dalam tulisan tersebut, terdapat aspek-aspek yang mengundang kritik, terutama bagi mereka yang akrab dengan karya-karya Ajip Rosidi.

Saya sebagai pembaca yang hampir menyelesaikan semua buku karya Ajip, merasakan bahwa tulisan yang dibuat oleh Agung terasa kurang lengkap. Informasi yang disajikan seolah hanya sepintas dan ada beberapa aspek penting dari kehidupan dan karya Ajip yang tidak dibahas secara mendalam. Sebagai pembaca yang telah mengenal lebih dekat sosok Ajip Rosidi melalui karya-karyanya, saya merasa ada kebutuhan untuk melengkapi informasi yang disampaikan Agung.

Didin Tulus
Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi – (Sumber: Didin KT/BJN)

Proses ini, yaitu saat kita merasakan adanya kekurangan dalam sebuah tulisan, sebenarnya adalah hasil dari interaksi kritis dengan teks. Pikiran kita tergugah untuk memberikan perspektif tambahan, menyempurnakan apa yang sudah ada, atau bahkan menyajikan kontra-argumen yang lebih kuat. Ini adalah proses alami yang terjadi ketika kita membaca dengan penuh perhatian dan refleksi.

Kritik sebagai Kontribusi

Mengkritik bukanlah sekadar mencari kesalahan atau menunjukkan kelemahan. Kritik yang baik justru berfungsi sebagai kontribusi terhadap dialog intelektual yang terus berkembang. Ketika seorang penulis menerima kritik, ia diberi kesempatan untuk melihat karya mereka dari sudut pandang yang berbeda. Kritik yang membangun memungkinkan penulis untuk memperbaiki kekurangan, memperkaya ide, dan pada akhirnya menghasilkan tulisan yang lebih baik.

Dalam kasus tulisan Agung Ilham Setiadi tadi, kritik saya terhadap kekurangan informasi mengenai Ajip Rosidi bukan berarti saya menilai tulisannya secara keseluruhan buruk. Sebaliknya, tulisan Agung memberikan wawasan yang cukup menarik tentang Ajip. Namun, karena saya memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang karya Ajip, saya merasa terdorong untuk memberikan tambahan informasi yang mungkin bermanfaat bagi pembaca lainnya. Dalam hal ini, kritik saya adalah bentuk kontribusi untuk memperkaya diskusi tentang Ajip Rosidi.

Mengkritik dengan Empati

Tentu saja, ada seni dalam menyampaikan kritik. Kritik yang baik harus disampaikan dengan empati dan kejujuran. Kritikus yang bijak tahu bagaimana menyampaikan ketidaksepakatannya tanpa merendahkan karya penulis. Tujuan dari kritik bukanlah untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun diskusi yang lebih kaya dan mengedukasi.

Banyak orang yang enggan mengkritik karena takut dianggap arogan atau merendahkan karya orang lain,  padahal, selama kritik tersebut disampaikan dengan niat yang baik, dan didasarkan pada refleksi mendalam dari proses membaca, kritik bisa menjadi salah satu cara untuk memperkaya wawasan dan memberikan sudut pandang baru.

Cindekna

Pada akhirnya, mengkritik adalah bagian integral dari proses membaca dan berpikir kritis. Ketika kita membaca sebuah tulisan dengan baik, kita tidak hanya menerima informasi secara pasif, melainkan juga merenungkan, membandingkan, dan mengevaluasi apa yang telah kita baca.

Kritik yang muncul dari proses ini adalah bentuk refleksi intelektual yang pada hakikatnya bertujuan untuk memperkaya wacana dan memperdalam pemahaman. Kritik bukanlah soal mencari-cari kesalahan, melainkan hasil dari keinginan untuk terus mengembangkan pemikiran dan pengetahuan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. (Didin Tulus/BJN).

***

Judul: Mengkritik sebagai Hasil Refleksi Membaca
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: JHK

Baca juga: Esai Kritik Tulisan Agung Ilham Setiadi tentang Ajip Rosidi

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *