ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniSosial

Menggugat Intimidasi: Dari Rumah, Kantor, hingga Dogma

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik OPINI, Sabtu (13/08/2025) ─ Artikel bertajuk “Menggugat Intimidasi: Dari Rumah, Kantor, hingga Dogma” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Intimidasi adalah realitas yang kerap hadir di sekitar kita, meski tidak selalu disadari. Ia bisa muncul dalam bentuk kata-kata tajam, nada tinggi, sikap merendahkan, hingga aturan tidak tertulis yang membuat seseorang merasa kecil, salah, atau tidak berharga. Ironisnya, intimidasi sering tumbuh di ruang yang seharusnya aman: rumah, kantor, bahkan lingkar keyakinan.

Rumah sejatinya adalah tempat pulang, ruang aman di mana setiap anggota keluarga merasa diterima. Namun, tidak sedikit rumah tangga justru menjadi ladang intimidasi.

Febri Satria, penulis dan pengarang
Febri Satria, pengarang – (Sumber: BJN)

Kata-kata merendahkan dari pasangan, tuntutan tanpa ruang untuk berdialog, atau keyakinan bahwa satu pihak lebih “berhak” mengatur, membuat rumah kehilangan kehangatannya. Budaya patriarki yang sudah mengakar memperparah keadaan.

Masih banyak anggapan bahwa lelaki adalah penguasa mutlak dalam rumah tangga, sehingga suara perempuan dianggap tak penting. Jika “superioritas” ini dijalankan secara salah kaprah yang lahir bukan keharmonisan, melainkan penekanan.

Perempuan sering diposisikan sekadar pelengkap, keinginannya diremehkan. Bahkan, hak dasarnya pun terampas. Dampaknya tidak sederhana. Banyak perempuan akhirnya hidup dalam rasa takut, kehilangan kepercayaan diri. Bahkan, mengalami trauma panjang. Mereka sulit mempercayai orang lain, sekaligus sulit mengenali nilai dirinya sendiri.

Dalam situasi seperti itu, pasangan hidup berubah menjadi sosok menakutkan, bukan lagi sahabat yang menenangkan.Sebuah kisah nyata menggambarkan hal ini. Seorang istri menerima perlakuan kasar dari suaminya. Namun, ia menafsirkan ketaatan sebagai kewajiban mutlak. Dogma yang ditanamkan membuatnya menanggung kekerasan dalam rumah tangga, tanpa berani memperjuangkan dirinya.

Dalam sebuah majelis, seorang penceramah menegaskan dengan lantang, “Kalau begini keadaannya, tidak ada pilihan lain: cerai!”

Pernyataan itu mengingatkan kita bahwa tak ada ajaran agama yang membenarkan perendahan martabat manusia. Rumah tangga sejatinya bukanlah arena untuk saling mendominasi, melainkan ruang untuk bertumbuh bersama.

Laki-laki dan perempuan hadir sebagai dua pribadi yang dipersatukan oleh cinta, lalu dipelihara oleh komitmen dan rasa saling menghargai. Relasi keduanya seharusnya dibangun di atas kesetaraan, bukan pada siapa yang lebih berkuasa atau lebih berhak memutuskan.

Keluarga muslim
Ilustrasi: Sebuah keluarga muslim sedang ngobrol bersama membahas kehidupan rumah tangga mereka di taman – (Sumber: Arie/BJN)

Kesetaraan dalam rumah tangga berarti kedua pihak memiliki ruang untuk bersuara, didengar, dan dipertimbangkan. Suami bukan pemimpin yang memerintah dan istri bukan pengikut yang hanya menurut. Keduanya adalah mitra yang berjalan beriringan, saling menopang ketika salah satu goyah, serta saling menguatkan ketika beban hidup terasa berat. Dengan cara ini, keputusan besar maupun kecil tidak lagi menjadi beban salah satu pihak, melainkan hasil musyawarah yang lahir dari kebijaksanaan bersama.

Dalam keseharian, sikap sederhana seperti mendengar pendapat pasangan, menghargai perbedaan pandangan, atau membagi peran rumah tangga dengan adil, akan memperkuat rasa kebersamaan. Rumah tidak lagi menjadi tempat penekanan, tetapi hadir sebagai ruang aman tempat setiap individu dapat menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Dari sinilah tumbuh cinta yang tidak kering oleh rutinitas, serta kebahagiaan yang tidak rapuh oleh masalah.

Relasi rumah tangga yang sehat adalah relasi yang membebaskan, bukan mengekang. Cinta akan semakin bermakna ketika dibangun di atas dasar kesetaraan, penghormatan, dan saling mendukung. Inilah yang menjadikan rumah tangga bukan sekadar ikatan formal, melainkan perjalanan spiritual dan emosional menuju kebahagiaan sejati. Seperti ungkapan K.H. Abdur Rahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, “ Guru spiritual saya adalah realitas dan guru realitas saya adalah spiritualitas.”

Intimidasi di Ruang Kerja

Selain di rumah tangga, di kantor sering kali menjadi tempat lahirnya intimidasi dalam bentuk yang lebih halus. Atasan yang memerintah tanpa ruang dialog, rekan kerja yang menjatuhkan lewat gosip atau sindiran, hingga diskriminasi berdasarkan gender, usia, atau kedekatan dengan pimpinan. Semua itu menciptakan suasana kerja yang penuh tekanan.

Pegawai yang berada dalam iklim seperti ini bekerja bukan karena semangat, melainkan karena rasa takut. Produktivitas menurun, kreativitas terhambat, dan kesehatan mental karyawan terkikis. Stres berkepanjangan dan rasa cemas. Bahkan, burnout ─ kelelahan fisik, emosional dan mental ─ menjadi konsekuensi nyata. Bila dibiarkan, kerugian tidak hanya dialami individu, tetapi juga organisasi.Karena itu, membangun budaya kerja yang sehat adalah sebuah keharusan.

Pimpinan perlu membuka ruang komunikasi dua arah, menghargai setiap kontribusi, serta menegakkan aturan yang adil tanpa diskriminasi. Lingkungan kerja harus memberi rasa aman, di mana karyawan bisa berpendapat, berkolaborasi, dan berkembang tanpa rasa takut. Dengan begitu, kantor bukan hanya tempat mencari nafkah, melainkan juga ruang untuk tumbuh dan berdaya.

Lebih halus, intimidasi juga hadir lewat dogma atau keyakinan yang dipaksakan. Agama yang sejatinya membawa rahmat terkadang dipelintir menjadi alat pengendali. Ayat atau hadis digunakan untuk membungkam, melarang. Bahkan, menakut-nakuti.

Orang dibuat merasa hina hanya karena berbeda pendapat, atau merasa berdosa hanya karena bertanya, padahal hakikat agama adalah tuntunan agar manusia hidup lebih adil, penuh kasih, dan saling menghargai.

Agama bukan belenggu yang mengekang, melainkan cahaya yang menuntun. Oleh karena itu, penting membangun literasi agama yang sehat, pemahaman mendalam yang terbuka dan relevan dengan kehidupan.Literasi agama yang mencerahkan akan melahirkan manusia yang bijak, tidak mudah menghakimi, dan mampu menghargai perbedaan. Dengan begitu, agama kembali pada fungsinya yaitu rahmat bagi semesta, bukan alat penindasan.

Intimidasi hanya bisa bertahan selama korban merasa tidak berdaya. Langkah pertama untuk melawan adalah menyadari bahwa setiap manusia berharga dan berhak bebas dari penindasan. Kesadaran ini menjadi pondasi agar korban berhenti menyalahkan diri sendiri dan berani berkata, “Aku layak dihormati.  Dengan segala atribut pendidikan, status sosial, aku memenuhi syarat untuk menampilkan jati diri. Aku berhak merdeka dari penjara mental yang membelenggu.”

Si ‘korban’ perlu menyadari dia harus bertanggungjawab terhadap kesehatan mentalnya sendiri, jangan terus menerus merasa pihak lain mengintimidasinya. Sejatinya dirinya yang membiarkan dirinya ‘diintimidasi’.

Kesadaran ini penting bahwa bisa jadi bukan orang lain yang jahat, melainkan dirinya sendiri yang membiarkan dirinya dijahati. Untuk sampai kekesadaran ini, korban perlu dibantu. Orang yang terbiasa jadi korban, punya kecenderungan menyakiti dirinya sendiri, karena sudah terlalu lamakehilangan harga dirinya.

Langkah kedua adalah berani bersuara dan mencari dukungan. Diam hanya akan menguatkan pelaku. Suara sekecil apa pun bisa menjadi awal perubahan, terlebih bila ada keluarga, sahabat, komunitas, atau lembaga yang memberi perlindungan. Dari sana, terbentuk solidaritas yang membuat korban tidak lagi sendirian.

Langkah ketiga adalah perubahan sistem. Intimidasi bukan hanya lahir dari individu, tetapi juga dari budaya yang membiarkannya tumbuh. Oleh karena itu, keluarga harus dibangun di atas kesetaraan, kantor harus memiliki aturan yang adil, dan tafsir agama harus disebarkan dalam semangat rahmat, bukan ancaman.

Perubahan memang tidak bisa instan, tetapi langkah-langkah kecil menuju sistem yang sehat akan membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk hidup lebih merdeka. Menggugat intimidasi bukan sekadar melawan pelaku, melainkan juga perjuangan memulihkan martabat manusia. Dari rumah, kantor, hingga ruang batin terdalam, intimidasi merampas kebebasan jiwa. Oleh karena itu, melawannya adalah kewajiban moral sekaligus tanggung jawab kolektif.

Harapan terbesar dari perjuangan ini adalah lahirnya kesadaran bersama. Masyarakat yang sadar akan bahaya intimidasi akan berupaya menciptakan ruang hidup yang sehat dan bermartabat, keluarga yang penuh cinta, kantor yang memberi ruang berkembang, serta lingkungan sosial yang menumbuhkan rasa hormat.

Merdeka sejatinya bukan hanya urusan bangsa. Merdeka juga berarti jiwa yang tak lagi tunduk pada kuasa yang menindas. Saat intimidasi runtuh, yang tumbuh adalah keberanian, kesetaraan, dan kebahagiaan manusia seutuhnya. (F.S.Y./BJN).

***

Judul: Menggugat Intimidasi: Dari Rumah, Kantor, hingga Dogma
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis Febrisatriayazid.blogspot.com”.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *