ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Memperingati Hari Jurnalis Internasional: Udin, Algoritma, dan Perjuangan yang Belum Usai

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik ARTIKEL/OPINI, Rabu (19/11/2025) ─ Artikel bertajuk “Memperingati Hari Jurnalis Internasional: Udin, Algoritma, dan Perjuangan yang Belum Usai ini adalah hasil tulisan Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam lanskap media yang serba digital ini, nama Fuad Muhammad Syafruddin, atau Udin, kembali menjadi pengingat bahwa keberanian seorang jurnalis adalah fondasi peradaban yang sehat. Wartawan Harian Bernas itu tidak pernah membayangkan bahwa namanya kelak menjadi simbol kebebasan pers di Indonesia. Namun, jejak langkahnya membuktikan bahwa integritas seorang jurnalis dapat menggetarkan kekuasaan dan menegakkan kebenaran, meski harus dibayar dengan nyawa.

Memperingati Hari Jurnalis Internasional adalah momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa jurnalisme ─ Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab ─ menjadi penjaga ruang publik, menghadirkan informasi bagi warga untuk mengambil keputusan rasional. Pers juga berfungsi sebagai watchdog yang mengawasi jalannya kekuasaan.

Febri Satria Yazid
Febri Satria Yazid, Penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Kebebasan pers harus dibarengi tanggung jawab moral dan etika jurnalistik. Pers merupakan pilar keempat demokrasi, setelah Konstitusi Undang-undang Dasar 1945, Lembaga-lembaga Demokrasi (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) dan Partai Politik.

Di tengah derasnya informasi digital, jurnalis menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Kebenaran tidak lagi bersaing hanya dengan kekuasaan, tetapi juga dengan opini, sensasi, serta arus informasi yang bergerak tanpa batas. Perubahan teknologi membawa kemudahan dan kecepatan, tetapi sekaligus menghadirkan ancaman terhadap akurasi dan integritas.

Udin dan Nilai Abadi tentang Keberanian

Udin bekerja pada masa ketika internet belum mendominasi, ketika media sosial belum menguasai ruang publik. Ia menegakkan jurnalisme pada era analog. Namun nilai-nilai yang ia perjuangkan, keberanian, integritas, ketelitian, tetap aktual hingga hari ini.

Setiap pagi Udin berangkat dari rumah kecilnya di Bantul dengan motor sederhana, membawa catatan lapangan, keberanian, dan keyakinan bahwa kebenaran adalah milik rakyat. Ia bukan tokoh terkenal, bukan pemilik kolom opini besar, dan bukan figur publik. Namun keberaniannya dalam membongkar dugaan korupsi pejabat kuat di daerahnya menjadikannya ancaman bagi mereka yang takut pada transparansi.

Udin menelusuri dokumen, mendatangi narasumber yang enggan bicara, dan merangkai fakta-fakta yang mengguncang kenyamanan kekuasaan. Ia tahu risikonya besar. Namun ia tetap menulis karena baginya jurnalisme adalah panggilan nurani.Pada satu malam di tahun 1996, dua orang mendatangi rumahnya. Mereka membawa pesan kekerasan. Udin dipukul hingga tak sadarkan diri.

Tiga hari kemudian ia meninggal dunia tanpa pernah mendapatkan keadilan. Kasusnya tak pernah tuntas, dan kebenaran dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian.Meski demikian, nama Udin tidak pernah padam. Ia menjadi lilin kecil yang tetap menyala di sejarah pers Indonesia. Ia bukan sekadar jurnalis melainkan martir kebebasan pers, simbol bahwa keberanian sering kali dibayar mahal di negeri ini.

Jurnalis di Persimpangan Zaman Digital

Pada era sekarang, tantangan jurnalisme berubah bentuk. Ancaman fisik memang masih ada, tetapi tekanan digital tidak kalah berbahaya. Hoaks, misinformasi, disinformasi, dan bias algoritma membentuk perspektif publik dengan sangat cepat.

Sebuah kabar palsu dapat menjadi “kebenaran” hanya karena dibagikan berkali-kali. Kecepatan sering kali mengalahkan ketelitian, dan popularitas kerap menggeser objektivitas. Di tengah banjir informasi tersebut, jurnalis merupakan pagar terakhir. Mereka menjadi penjaga akal sehat masyarakat. Mereka menyisir data, memverifikasi fakta, membedakan informasi dari manipulasi, serta menyajikan berita yang dapat dipertanggungjawabkan.

Para jurnalis bekerja di medan bencana ketika banyak orang memilih menjauh. Mereka meliput konflik ketika publik lebih memilih aman. Mereka menuliskan tragedi dengan hati yang kadang tersayat, namun tetap berusaha objektif demi kepentingan publik.

Tidak sedikit jurnalis yang bekerja dalam tekanan. Mereka dihina, dituduh bias, diseret ke meja hukum, bahkan diintimidasi. Namun, mereka tetap bertahan karena satu keyakinan bahwa kebenaran harus terus hidup. Spirit seperti inilah yang diwariskan Udin.

Udin bukan jurnalis yang bekerja dalam gemerlap studio modern. Ia tidak viral di media sosial. Namun integritasnya menjelma menjadi teladanbahwa satu berita yang jujur lebih kuat daripada sejuta kebohongan. Bahwa pena tetap lebih tajam daripada tirani. Bahwa publik berhak tahu apa yang terjadi, tanpa sensor dan tanpa manipulasi.

Dalam ritme kehidupan yang terus bergerak, jurnalis hadir sebagai penjaga cerita dan penjaga nurani. Setiap berita yang mereka tulis mengandung tanggung jawab moral kepada masyarakat. Di balik kamera yang merekam tragedi, di balik mikrofon yang menangkap suara para korban, ada rasa takut, ada kelelahan, ada kesedihan. Namun, ada juga tanggung jawab besar untuk mengabarkan fakta.

Ada saat-saat ketika jurnalis menulis sambil menahan tangis melihat tragedi terlalu pedih untuk dilukiskan kata-kata. Ada saat ketika mereka menahan amarah melihat upaya menutupi kebenaran. Ada saat mereka harus memilih antara pulang kepada keluarga atau mengejar sebuah cerita yang belum tuntas. Namun, mereka tetap berjalan karena sadar bahwa tanpa jurnalisme, kebenaran akan kehilangan ruang untuk bersuara.

Pada era ketika informasi berhamburan seperti hujan tanpa atap, jurnalis menjadi penyaring. Mereka memilah yang jernih dari yang keruh. Mereka memastikan masyarakat tidak tenggelam dalam banjir hoaks. Mereka menjaga agar demokrasi tetap bernapas. Agar masyarakat tetap waras. Agar keadilan tetap mendapat tempat untuk tumbuh.

Hari Jurnalis Internasional bukan sekadar perayaan seremonial. Ia merupakan pengingat bahwa jurnalis adalah fondasi penting pembangunan bangsa. Tanpa mereka, publik kehilangan panduan; kekuasaan kehilangan kontrol; sejarah kehilangan catatan; dan masyarakat kehilangan kesadaran kolektif.

Pada hari ini, kita diingatkan bahwa, kebenaran tidak lahir begitu saja; ia diperjuangkan. Transparansi tidak hadir dengan sendirinya; ia ditegakkan.Demokrasi tidak berdiri sendirian; ia dijaga oleh mereka yang berani bertanya dan mengabarkan.Keadilan membutuhkan saksi; dan jurnalis adalah saksi yang bekerja dalam senyap.Jurnalis menulis agar kita mengerti.

Para jurnalis meliput agar kita waspada.Mereka bertanya agar kekuasaan tidak lupa bahwa publik adalah pemilik negara.Mereka mengabadikan peristiwa agar generasi mendatang mengetahui apa yang pernah terjadi di zaman ini.Dan di balik semua itu, mereka tetap manusia, punya keluarga, punya rasa takut, dan punya harapan, tetapi memilih berjalan lebih jauh daripada keberanian kebanyakan orang.

Menghormati jurnalis berarti menghormati hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar. Oleh karena itu kita perlu mendukung kebebasan pers, menciptakan ruang yang aman bagi jurnalis untuk bekerja, menjadi pembaca yang cerdas dan kritis,tidak mudah terprovokasi oleh kabar palsu, dan menghargai proses panjang verifikasi yang sering tidak terlihat. Jika jurnalis dibungkam maka suara publik ikut padam. Jika jurnalis kehilangan ruang untuk mencari kebenaran, maka ruang publik akan diisi oleh kepalsuan.

Kita memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada para jurnalis yang tetap bekerja dengan dedikasi, keberanian, dan integritas. Untuk mereka yang memotret dunia ketika langit runtuh, untuk mereka yang menulis dengan tinta bercampur peluh dan air mata, serta untuk mereka yang menjaga akal sehat masyarakat dengan berita yang jernih dan dapat dipercaya.

Kepada Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), sosok yang menjadi simbol keberanian dalam sejarah pers Indonesia, warisannya  tetap hidup. Perjuangan itu belum usai. Kita semua memiliki peran untuk menjaga dan meneruskannya.(F.S.Y./BJN).

***

Judul: Memperingati Hari Jurnalis Internasional: Udin, Algoritma, dan Perjuangan yang Belum Usai
Penulis: Febri Satria Yazid
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis Febrisatriayazid.blogspot.com”.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *