Dari Lapangan ke Lembaran: Mengukir Masa Depan Cimahi dengan Pena dan Pikiran
BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Sabtu (21/06/2025) – Esai berjudul “Dari Lapangan ke Lembaran: Mengukir Masa Depan Cimahi dengan Pena dan Pikiran” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Perayaan hari ulang tahun sebuah kota seharusnya menjadi momentum refleksi dan proyeksi, di mana kita tak hanya bersuka cita atas capaian, tetapi juga berani mengevaluasi langkah ke depan. Kota Cimahi, dengan segala potensi dan dinamikanya, tentu tak luput dari harapan dan sorotan warganya. Namun, di tengah gemerlap perayaan HUT Kota Cimahi, muncul sebuah pertanyaan yang menggantung: mengapa gaung literasi terasa kurang nyaring, tenggelam di antara riuhnya sorak sorai festival olahraga dan kemeriahan lainnya?

Bukan berarti festival olahraga tradisional tak penting; justru sebaliknya, mereka adalah bagian vital dalam melestarikan budaya dan mempererat tali silaturahmi. Namun, jika kita berbicara tentang pembangunan kota yang berkelanjutan dan masyarakat yang berdaya maka “literasi adalah fondasi tak tergantikan”. Sayangnya, kesan yang muncul adalah literasi belum mendapatkan panggung yang sepadan, seolah ia adalah adik tiri yang kurang menarik perhatian dibanding kakaknya yang lebih populer.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, ada dugaan bahwa banyak pihak, termasuk pemerintah daerah sendiri, belum sepenuhnya menyadari bobot esensial literasi. Mereka mungkin melihatnya sebagai kegiatan sampingan, bukan sebagai urat nadi yang mengalirkan kecerdasan dan kemajuan, padahal literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis; ia adalah gerbang menuju pemikiran kritis, inovasi, dan kemandirian. Kota yang warganya literat adalah kota yang tangguh menghadapi tantangan zaman.
Kedua, fenomena “pilihan acara yang lebih populer” tak bisa dimungkiri. Acara seperti festival olahraga memang menawarkan hiburan instan dan lebih mudah menarik keramaian. Sementara itu, kegiatan literasi mungkin dianggap kurang sensasional, atau kurang dipahami manfaat jangka panjangnya oleh sebagian besar masyarakat. Ini adalah tantangan besar: bagaimana membuat literasi terasa relevan dan menarik di tengah gempuran hiburan digital yang serba cepat?
Ketiga, soal keterbatasan sumber daya juga kerap menjadi alasan klise. Dana, tenaga ahli, dan sarana prasarana memang krusial. Namun, jika literasi benar-benar dipandang sebagai investasi masa depan, seharusnya alokasi sumber daya bisa diprioritaskan. Bukankah pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah aset termahal sebuah kota? Tanpa SDM yang berkualitas, pembangunan fisik akan terasa hampa.

Terakhir, peran serta masyarakat sendiri tak bisa dikesampingkan. Ibarat tepuk tangan, satu tangan saja tak akan berbunyi. Jika minat baca dan menulis masyarakat belum menggeliat, tentu sulit bagi penyelenggara untuk menciptakan acara literasi yang gempar. Ini adalah lingkaran setan yang harus diputus: masyarakat kurang minat karena acara kurang menarik, dan acara kurang menarik karena minat masyarakat rendah.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk memecah kebuntuan ini?
Pertama dan terpenting, “integrasi literasi dalam setiap denyut nadi kota”. Literasi tak harus melulu diselenggarakan dalam acara khusus yang terkesan kaku. Bayangkan jika dalam setiap perayaan HUT Kota, ada lomba menulis puisi tentang Cimahi, sayembara cerpen berlatar kota, pameran buku lokal yang memukau, atau diskusi ringan dengan penulis inspiratif di taman kota. Bahkan, sesi “baca bersama” di ruang publik bisa menjadi pemandangan yang menyejukkan. Literasi harus meresap, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar tempelan.
Kedua, “peningkatan kesadaran secara masif”. Pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan dalam mengampanyekan pentingnya literasi. Gunakan semua kanal komunikasi yang ada – media sosial, papan reklame, bahkan program-program televisi lokal – untuk menyosialisasikan bahwa literasi adalah kunci kemajuan. Edukasi tak boleh berhenti di bangku sekolah; ia harus terus-menerus disuntikkan ke dalam sanubari setiap warga.
Ketiga, “penyediaan fasilitas literasi yang memadai dan mudah diakses”. Perpustakaan yang nyaman, taman bacaan masyarakat yang hidup, atau ruang diskusi yang inspiratif adalah investasi yang tak akan pernah rugi. Buatlah tempat-tempat ini ramah pengunjung, modern, dan dilengkapi dengan koleksi buku yang beragam dan relevan.
Terakhir, “kolaborasi multipihak adalah kunci sukses”. Pemerintah daerah tak bisa bekerja sendiri. Gandeng sekolah, komunitas literasi, penerbit, toko buku, dan bahkan pihak swasta. Sinergi ini akan melahirkan ide-ide segar, memperluas jangkauan, dan mengoptimalkan sumber daya. Bersama-sama, kita bisa menciptakan ekosistem literasi yang kuat.
Cimahi memiliki potensi besar. Dengan menggeser sedikit fokus dari hiruk pikuk lapangan ke kedalaman lembaran buku, dari euforia sesaat ke pencerahan jangka panjang, kita bisa mengukir masa depan kota yang lebih cerdas, lebih berbudaya, dan lebih berdaya. Mari jadikan setiap HUT Kota bukan hanya perayaan, melainkan juga momentum untuk menabur benih literasi, agar generasi mendatang menuai panen kecerdasan dan kemajuan. (Didin Tulus).
***
Judul: Dari Lapangan ke Lembaran: Mengukir Masa Depan Cimahi dengan Pena dan Pikiran
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.
Aktifitas dan Karir
Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.
Pengalaman Internasional
Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.
Kegiatan Saat Ini
Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.
Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.
***