Lukisan Digital di Kanvas: Antara Inovasi dan Etika di Dunia Seni Rupa
BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Kamis (11/09/2025) ─ Artikel berjudul “Lukisan Digital di Kanvas: Antara Inovasi dan Etika di Dunia Seni Rupa” ini ditulis oleh Jumari Haryadi, seorang pengajar di Mozi Design Institute, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Coba bayangkan ketika Anda berkunjung ke sebuah galeri dan melihat sebuah lukisan yang menarik: warna-warnanya menyala, teksturnya hidup, dan detailnya memukau. Namun, setelah dilihat dan diperhatikan dengan teliti, Anda menyadari bahwa sebagian besar gambar tersebut ternyata bukan murni lukisan. Karya seni itu merupakan hasil cetakan digital di atas kanvas yang diberi sentuhan manual dengan cat untuk memberi kesan lukisan asli.
Fenomena lukisan yang dibuat dengan cara memoles hasil digital printing di atas kanvas tersebut kini tengah mengundang perdebatan sengit di dunia seni rupa. Ada yang menganggap hal tersebut merupakan hal biasa dan sah-sah saja dilakukan demi mengejar kecepatan dan efektivitas waktu dalam berkarya. Namun, banyak juga yang menentangnya dan menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang tidak etis. Bukan saja menipu calon pembeli, tetapi juga menipu diri sendiri.


Dalam dunia seni rupa, lukisan asli merujuk pada karya yang seluruhnya dihasilkan dari tangan sang seniman—mulai dari ide, sketsa, hingga penyelesaian detail kuas. Sebaliknya, plagiat atau lukisan palsu adalah reproduksi karya orang lain yang dipasarkan sebagai buatan tangan secara utuh.
Media internasional seperti Artsology telah menyoroti bagaimana dunia seni digital menghadapi dilema etika seperti plagiarisme dan penciptaan karya palsu, seperti penyataan ini, “Digital art faces issues of plagiarism, fake art creation, and cultural appropriation.”
Dalam sebuah diskusi di sebuah komunitas online, seorang seniman menyentil, “Printed on canvas … the thing with digital media is that it’s infinitely reproducible, which inherently devalues it as a product.”
Artinya, kemampuan reproduksi tanpa batas membuat karya kehilangan nilai uniknya jika tidak dijelaskan secara transparan.

Kemajuan teknologi cetak digital saat ini memang menciptakan peluang baru dalam dunia bisnis, termasuk bisnis lukisan. Namun, suatu hal yang menjadi persoalannya adalah ketika karya seperti itu disamarkan sebagai lukisan tangan sepenuhnya. Di pasar seni Indonesia, media internasional seperti Artlink pernah mengulas peredaran karya palsu, termasuk lukisan-lukisan terkenal yang dipalsukan tanpa izin ahli waris atau senimannya sendiri.
Khusus dalam dunia digital, seorang seniman Indonesia—Ahmad Nusyirwan—mengalami frustrasi ketika karya bergaya WPAP-nya dicetak dan dijual kembali tanpa izin. Bagi Nusyirwan, kreativitasnya tak hanya soal estetika; kreativitas juga merupakan identitas. Reproduksi tanpa izin berarti kehilangan ruh kreativitas itu sendiri.
WPAP atau Wedha’s Pop Art Potrait adalah salah satu gaya seni populer yang ditandai dengan penyusunan ulang potret wajah menggunakan bentuk-bentuk geometris dengan percampuran warna-warna kontras. Dimensi dari wajah yang digambar ulang tidak berubah sehingga penampakan akhir dari objek yang ditransformasikan masih terlihat jelas dan menyerupai aslinya.

Teknik melukis WPAP ini ditemukan oleh Wedha Abdul Rasyid, seniman grafis asal Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1990. Awal kepopuleran WPAP adalah ketika digunakan untuk mengilustrasikan cerita-cerita karya Arswendo Atmowiloto dan Hilman Hariwijaya di majalah Hai.
Pentingnya Seniman Memiliki Etika
Dalam konteks seni modern Indonesia, seniman dan pengamat seperti Jim Supangkat sering mengedepankan pentingnya etika dan dialog konseptual dalam berkarya. Supangkat, tokoh utama gerakan seni rupa kontemporer, menekankan bahwa seni bukan sekadar visual—tetapi juga bermakna dan bertanggung jawab publik.
Begitu pula dengan A.D. Pirous, maestro seni abstrak yang menghormati warisan tradisi dan menghargai keaslian proses kreatif. Meski bukan secara langsung membahas fenomena cetak digital, pendekatannya yang konsisten pada orisinalitas karya tetap relevan sebagai panggilan bagi semua seniman agar menghargai proses penciptaan mereka sendiri.

Berbicara dalam konteks kreativitas dalam berkarya, bukan berarti lukisan digital + polesan cat adalah praktik yang sepenuhnya terkutuk. Justru, tren ini bisa menjadi eksplorasi kreatif yang menarik—jika disertai kejujuran. Misalnya, karya bisa diberi label seperti “digital print dengan sentuhan manual” sehingga penikmat tahu apa yang mereka lihat.
Secara akademis, bentuk karya seperti ini bahkan telah diidentifikasi sebagai visualisasi mixed media yang esensial dalam pop art: cetak digital membantu membentuk dasar visual, lalu teknik manual menambahkan karakter personal yang tak bisa dihasilkan mesin.
Di Indonesia, perlindungan terhadap karya seni, termasuk digital, diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Namun studi menyebut bahwa perlindungan hukum digital masih lemah. Para seniman dianjurkan untuk melindungi karyanya lewat pendaftaran hak cipta, watermark, dan memperkuat literasi hukum mereka—serta membangun kesadaran publik soal pembeda antara karya orisinal dan reproduksi.
Inspirasi yang Membumi, Jujur dalam Berkarya
Fenomena ini membuka ruang baru bagi seniman muda untuk bervariasi: pakai cetak digital sebagai fondasi, lalu beri sapuan kuas untuk menciptakan gaya baru — genre baru seni hibrida. Dengan talenta, inovasi, dan kejujuran, mereka bisa menghasilkan karya yang tak hanya menarik visual, tetapi juga bermakna dan etis.
Untuk penikmat seni, artikel ini mengajak Anda untuk lebih kritis: tanyalah sejarah karya, teknik pembuatannya, dan apakah seniman memberikan atribusi yang jujur. Publik yang sadar akan mendorong pasar seni yang lebih sehat dan akuntabel.
Akhirnya, tren cetak digital yang diberi sentuhan manual bukan semata soal teknik. Ini tentang bagaimana kita sebagai seniman dan penikmat menghargai proses dan integritas kreatif. Transformasi seni melalui teknologi memang tak terelakkan. Namun, integritas dalam berkarya yang sejatinya membedakan antara seni dan komoditas semata.
Dalam era hybrid ini, kreativitas bukan soal apa yang bisa dilakukan—tapi juga bagaimana Anda menjelaskannya sehingga karya Anda tidak hanya indah, tetapi juga jujur.
***
Judul: Lukisan Digital di Kanvas: Antara Inovasi dan Etika di Dunia Seni Rupa
Penulis: Jumari Haryadi, Mozi Design Institute
Editor: JHK