Luka Sunyi Korban Kekerasan Seksual Anak
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Artikel/Opini, Rabu (29/10/2025) – Artikel berjudul “Luka Sunyi Korban Kekerasan Seksual Anak” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Langit Ciamis sore itu mendung, seolah ikut berduka. Di sebuah ruang tamu sederhana, Ato Rinanto, Ketua Forum KPAID Jawa Barat, menatap layar ponsel dengan wajah tegang. Di sana terpampang kabar yang membuat dadanya sesak, tuntutan terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak di Cihaurbeuti hanya sepuluh tahun penjara.
“Sepuluh tahun?” Gumam Ato pelan, menatap kosong sambil mengepalkan tangannya.
“Padahal, pelaku itu guru. Orang yang seharusnya mendidik, bukan menodai masa depan anak didiknya,” tambah Ato.

Telepon genggamnya berdering. Suara dari seberang menembus kesunyian.
“Kita kecewa, Kang. Anak itu belum genap enam belas tahun, dan perbuatannya dilakukan berulang. Apa ini keadilan?” ujar salah satu anggota KPAID dengan suara bergetar.
Ato menarik napas panjang, kemudian berkata, “Besok pagi, surat keberatan kita kirim ke Pengadilan Negeri Ciamis. Kita harus hadir saat putusan dibacakan. Keadilan tidak boleh sekadar janji di atas kertas.”
Luka yang Tak Tersembuhkan
Kasus itu mencuat sekitar Juni 2025. Seorang guru di pondok pesantren di Kecamatan Cihaurbeuti, Kabupaten Ciamis, mencabik-cabik kehormatan siswinya sendiri. Perbuatan itu bukan sekali, tapi berkali-kali. Luka itu mungkin tak tampak di kulit, tapi menancap dalam di jiwa seorang anak.
“Bu, aku takut mondok lagi, ” kata korban lirih, seperti dituturkan sang ibu kepada media.
Sang ibu hanya bisa menangis. Bagaimana menjelaskan pada anak bahwa dunia yang seharusnya aman telah berubah menjadi penjara ketakutan?
Hukum yang Terlalu Ringan, Luka yang Terlalu Berat
Bagi Ato Rinanto dan banyak orang tua, tuntutan sepuluh tahun terasa seperti penghinaan bagi nurani.
“Seharusnya hukuman itu memberi efek jera, bukan sekadar formalitas hukum,” tegas Ato dalam wawancara dengan salah satu media (16 Oktober 2025).
Hukum di negeri ini seolah kehilangan daya untuk menegakkan rasa adil. Ia menimbang dengan angka, bukan air mata.
Ketika Sekolah Tak Lagi Aman
Lembaga pendidikan yang dulu dijunjung sebagai tempat suci ilmu, kini sering jadi tempat terciptanya luka. Kita terlalu sering mendengar berita serupa: guru yang seharusnya jadi teladan justru jadi pelaku. Apa yang salah?
Jawabannya ada pada sistem yang membiarkan kebebasan tanpa batas. Negara sudah membuat undang-undang perlindungan anak, bahkan merevisi beberapa kali. Namun, kekerasan seksual terus berulang, seolah regulasi hanyalah pagar yang lapuk dimakan waktu.
Di sisi lain, tontonan vulgar, iklan sensual, dan konten media sosial yang menggoda dibiarkan beredar atas nama kebebasan berekspresi. Tak ada kontrol yang tegas, tak ada moral yang memayungi. Oleh karena itu, jangan heran bila masyarakat kehilangan arah—ketika yang baik dan yang buruk tak lagi punya garis pembeda yang jelas.
Akar Luka Itu Bernama Sekularisme
Kekerasan seksual bukan hanya soal individu yang sakit moral. Ia adalah gejala dari sistem yang salah urus. Sistem sekuler-kapitalis menempatkan kebebasan di atas iman, materi di atas moral. Dalam sistem ini, tubuh hanyalah komoditas. Sensasi dijual, syahwat dipertontonkan, dan kesucian dianggap kuno.
Kita membiarkan anak-anak tumbuh di tengah arus pornografi yang tak terbendung, di dunia digital yang menjadikan dosa sekadar hiburan. Maka jangan kaget jika manusia kehilangan kendali atas nafsunya, sebab iman telah lama dikorbankan di altar kebebasan.
“Pak, kenapa guru itu begitu?” Tanya seorang anak dalam liputan televisi, polos.
Pertanyaan sederhana itu menampar keras seluruh sistem yang gagal mendidik manusia beriman.
Pendidikan yang Kehilangan Arah
Sekolah kini lebih sibuk mengejar nilai, bukan akhlak. Siswa dituntut pandai berhitung, tapi lupa bersyukur.
Guru dibebani administrasi, bukan tanggung jawab moral. Negara pun hanya jadi penyedia kurikulum, bukan penjaga moral bangsa, padahal secerdas apa pun anak, tanpa iman mereka akan mudah terseret arus.
Sebaik apa pun orang tua menjaga, mereka tak akan sanggup melawan sistem yang membiarkan maksiat bebas berkeliaran. Kita lupa, bahwa suasana sosial yang kotor akan menodai siapa pun di dalamnya.
Islam Menawarkan Pelindung Sejati
Dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar pengatur, tapi pelindung umat. Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari)
Negara dalam sistem Islam wajib menjamin hak-hak anak: pendidikan berbasis akidah, lingkungan aman, dan keluarga harmonis. Media dan informasi dikontrol agar bersih dari pornografi dan kekerasan. Tidak ada dalih kebebasan untuk merusak moral masyarakat.
Jika pencegahan sudah maksimal namun kejahatan tetap terjadi maka Islam menegakkan sanksi tegas dan menjerakan. Hukum Islam memiliki dua fungsi: sebagai penebus dosa (jawabir) dan pencegah kejahatan (zawajir).
Sejarah mencatat, di masa peradaban Islam, jarang sekali kasus kekerasan seksual terjadi karena hukum ditegakkan tanpa kompromi. Rasa takut kepada Allah lebih tinggi daripada takut pada manusia.
Keadilan sejati tidak lahir dari sistem yang abu-abu antara iman dan kebebasan. Ia lahir dari hukum yang bersandar pada kebenaran Ilahi. Islam tidak hanya menghukum, tapi juga mencegah. Tidak hanya menebus dosa, tapi menanamkan ketakwaan.
Anak-anak negeri ini butuh pelindung yang nyata, bukan sekadar pasal hukum di atas kertas. Mereka butuh negara yang berani menjaga kehormatan warganya dengan iman, bukan dengan janji kosong.
Mungkin, hanya ketika hukum Allah kembali ditegakkan, barulah tangis para korban bisa benar-benar reda dan langit Ciamis, serta langit negeri ini, berhenti menangis. (Ummu Fahhala).
***
Judul: Luka Sunyi Korban Kekerasan Seksual Anak
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: Jumari Haryadi
