ArtikelBerita Jabar NewsBJN

Korupsi: Penyakit Kronis dan Obat Mujarab Bernama Syukur

BERITA JABAR (BJN), Rubrik OPINI, Rabu (05/03/2025) – Esai berjudul “Korupsi: Penyakit Kronis dan Obat Mujarab Bernama Syukur” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Indonesia, negeri yang kaya raya, sayangnya sedang tidak baik-baik saja. Berita korupsi berseliweran, dari skala kecil hingga yang bikin geleng-geleng kepala. Pertamina, pajak, bansos, bahkan dunia pendidikan yang seharusnya jadi benteng moral pun tak luput dari cengkeraman mafia korupsi. Rasanya, kok, ya, ada saja celah untuk mencuri uang rakyat.

Korupsi ini seperti penyakit kronis yang menggerogoti bangsa. Ibarat kanker, sel-selnya terus bermutasi mencari cara baru untuk menggerogoti tubuh. Kekuasaan dan korupsi memang seperti dua sisi mata uang, sulit dipisahkan. Kekuasaan yang seharusnya jadi amanah, malah jadi pintu masuk untuk memperkaya diri sendiri.

Didin Tulus
Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi – (Sumber: Didin KT/BJN)

Namun, jangan putus asa dulu. Di tengah kegelapan ini, ada secercah harapan, yaitu rasa syukur. Ya, syukur. Sederhana, tapi ampuh. Coba kita renungkan, kenapa orang korupsi? Salah satu alasannya adalah tidak pernah merasa cukup. Selalu ada yang kurang, selalu ingin lebih, padahal kalau mau jujur, apa yang sudah kita miliki sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Bersyukur itu bukan berarti pasrah, ya. Bukan berarti kita diam saja melihat ketidakadilan. Namun, bersyukur itu membuat kita lebih menghargai apa yang sudah kita punya. Dengan begitu, kita jadi lebih bijak dalam menggunakan harta dan kekuasaan. Kita jadi lebih peduli dengan orang lain karena kita tahu rasanya hidup berkecukupan.

Dalam Islam, korupsi jelas-jelas haram. Itu perbuatan zalim, mengambil hak orang lain. Korupsi juga melanggar prinsip kepemilikan yang adil. Harta yang kita punya itu bukan sepenuhnya milik kita, ada hak orang lain di dalamnya.

Lalu, bagaimana cara mencegah korupsi? Tentu saja, penegakan hukum harus diperkuat. Para koruptor harus dihukum seberat-beratnya, tanpa pandang bulu. Transparansi juga penting agar publik bisa ikut mengawasi penggunaan uang negara. Pendidikan anti-korupsi sejak dini juga perlu digalakkan agar generasi muda kita punya mental yang bersih.

Mabuk-mabukan
Ilustrasi: Kehidupan koruptor yang suka berpesta dan berfoya-foya – (Sumber: Arie/BJN)

Selain itu, kesejahteraan pegawai publik juga harus diperhatikan. Jangan sampai mereka terpaksa korupsi karena himpitan ekonomi. Sistem pengawasan yang kuat, penggunaan teknologi digital, dan penanaman nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, mandiri, kerja keras, sederhana, berani, dan peduli juga sangat penting.

Bulan Ramadan ini, mari kita jadikan momentum untuk introspeksi diri. Kita tingkatkan rasa syukur kita, kita perkuat iman kita. Kita jadikan bulan suci ini sebagai bulan anti-korupsi. Kita tunjukkan bahwa kita bisa menjadi bangsa yang bersih dan bermartabat.

Ingat, korupsi itu bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah moral. Kalau setiap individu punya kesadaran moral yang tinggi, korupsi pasti bisa diberantas. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil. Mari kita bangun Indonesia yang bebas dari korupsi, Indonesia yang adil dan makmur untuk semua.  (Didin Tulus).

***

Judul: Korupsi: Penyakit Kronis dan Obat Mujarab Bernama Syukur
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Atep Kurnia
Advertorial
Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *