ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Ketika Jumlah Siswa di Kelas Terlalu Banyak: Apakah Proses Pendidikan dan Pengajaran Berlangsung Efektif?

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI/ARTIKEL/FEATURE, Sabtu (02/08/2025) – Artikel berjudul “Ketika Jumlah Siswa di Kelas Terlalu Banyak: Apakah Proses Pendidikan dan Pengajaran Berlangsung Efektif?  ini merupakan karya original dari Diantka IE, seorang penulis/pengarang asal Ciamis, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.

Sebagai seorang guru yang telah berpengalaman mengajar di berbagai jenjang pendidikan, saya memiliki keresahan tersendiri yang setiap hari menggelitik tentang jumlah siswa di kelas. Kebijakan tentang jumlah siswa 50 orang di dalam kelas membuat saya khawatir tentang efektifitas pembelajaran dan hasil pendidikan itu sendiri.

Bukankah tujuan sekolah adalah agar siswa menjadi terpelajar dan terdidik? Sedangkan untuk mencapai tujuan tersebut tidak dapat dilakukan dengan hanya bicara di depan forum seperti seorang pemateri mengisi seminar dengan jumlah peserta yang memenuhi seluruh ruangan.

Siswa ini datang berulang ke sekolah. Mereka harus dikelola, ditangani, diajarkan, dan dididik dalam proses pembelajaran yang efektif.

Guru sedang mengajar
Ilustrasi: Guru sedang mengajar di kelas – (Sumber: Arie/BJN)

Jumlah Siswa yang Ideal

Saya telah mengajar sejak 2007 dan memiliki pengalaman mengajar di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Playgroup dan TK (memiliki ijazah PGRA/PGTK), mengajar di Sekolah Dasar dan Menengah pun pernah saya alami dan lakukan dengan berbekal ijazah S1 Pendidikan Agama Islam. Dari pengalaman mengajar tersebut saya berani membagi keresahan dalam tulisan ini.

Jumlah siswa di kelas yang ideal adalah tidak lebih dari 36 siswa. Ini menurut saya masih sangat sesuai sama seperti ketika NEM tolok ukur kelulusan siswa. Dengan jumlah maksimal 36 siswa sesuai dengan Permendikbud Ristek Nomor 1 Tahun 2021 tersebut sudah berada dalam batas maksimal kemampuan guru mengajar dan kemampuan fokus siswa itu sendiri.

Sebab, andai boleh menawar, pasti setiap guru ingin mengajar siswa dengan jumlah lebih sedikit karena selain fokus guru dan siswa tetap terjaga, tujuan pembelajaran pun lebih mudah tercapai. Bagaikan mencuci piring dalam sebuah wadah besar, jumlah piring kotor yang lebih sedikit akan lebih cepat terselesaikan daripada yang jumlahnya lebih banyak.

Dengan jumlah siswa yang sedikit, pengelolaan kelas lebih efektif, metode, dan model pembelajaran lebih berhasil, serta proses pendidikan lebih terarah.

Saya sendiri pernah membandingkan bagaimana rasanya mengajar siswa yang berjumlah 36 dan yang 22 orang, dan hasilnya sangat berbeda. Jumlah 36 siswa saja cukup menguras energi, apalagi jika 50 orang. Bahkan saya pernah menjadi wali kelas untuk 56 siswa di sebuah sekolah swasta karena belum memiliki ruangan yang memadai jadi terpaksa masuk dalam satu kelas. Effort-nya luar biasa. Satu tahun menjadi wali kelas, belum sepenuhnya mampu menghafal nama siswa, sering tertukar dan banyak kendala lainnya yang saya alami sendiri. Benar-benar sangat melelahkan.

Guru mudah letih karena fokus dan energi terkuras habis. Lima puluh orang itu baik kalau semuanya memiliki karakter, semangat belajar dan fokus yang sama. Kalau tidak? Guru hanya akan menghabiskan setengah perjalanan jam KBM hanya untuk membuat siswanya tertib. Lantas dimana proses pendidikan yang sesungguhnya berjalan?

Ya, kecuali jika guru dibayar mahal untuk mempersiapakan perangkat ajar yang memadai untuk jumlah sebanyak itu — seperti pembicara seminar yang dibayar banyak untuk satu kali kelas.

Efek dari Jumlah Siswa yang Banyak

Jumlah siswa yang banyak dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti:

Pertama, guru kesulitan mengenal siswa satu per satu. Jumlah siswa yang terlalu banyak memungkinkan guru kesulitan mengingat nama dan karakter anak, sedangkan dalam pendidikan dan pengajaran mengenal karakter siswa adalah hal yang paling utama.

Ketika guru akan menerapkan metode pembelajaran pengenalan karakter sangat bermanfaat untuk menentukan model dan metode pembelajaran apa yang akan diambil. Bahkan menyulitkan guru untuk memberikan motivasi kepada siswa secara personal sesuai dengan permasalahan yang dialami.

Jika lebih kenal, bukankah motivasi dan penyelesaian masalah lebih mudah dilakukan?

Ingat, guru bukan paranormal. Ia memerlukan banyak waktu untuk melakukan observasi kepada siswa yang menjadi tanggung jawabnya di dalam kelas. Jika siswa terlalu banyak, kapan ini dilakukan? Apakah harus dilakukan di luar jam kerja? Mana bisa, memangnya guru digaji berapa?

Kedua, proses pendidikan dan pengajaran tidak efektif. Membuka kelas untuk memulai pembelajaran yang menyenangkan perlu metode yang tepat. Begitu pun saat guru menyampaikan pembelajaran pada kegiatan inti sampai akhirnya ia melakukan refleksi dan evaluasi di akhir pembelajaran ini memerlukan kerja sama yang baik dengan siwa.

Siswa yang terlalu banyak memungkinkan banyaknya kendala dan gangguan di dalam kelas. Ngobrol, permisi ke kamar mandi, pengabenan, dan kendala lain yang mungkin terjadi dan mengganggu  efektivitas KBM.

Ketiga, guru kesulitan memberikan penilaian sikap yang akurat. Dalam penilaian ada penilaian sikap. Kini, bagaimana guru mampu menilai sikap secara objektif jika karakter siswa saja tidak sepenuhnya dipahami. Sedangkan jika siswa tetap dalam jumlah ideal, maka proses itu akan mudah dilakukan.

Keempat, guru tidak mampu menangani permasalahan siswa seluruhnya. Siswa yang terlalu banyak tidak mungkin tertangani semua. Karena guru pun memiliki keterbatasan daya dan waktu, mungkin hanya beberapa siswa yang diketahui memiliki masalah saja yang berhasil ditangani oleh guru terutama wali kelasnya. Sementara yang masalahnya tidak terdeteksi akan lepas dari pengawasan.

Di sanalah pentingnya ikatan emosional. Ketika siswa dalam jumlah ideal menjadi akrab dengan wali kelas, alih-alih harus mencari tahu masalah, sebelum dipanggil pun siswa bisa cerita langsung menyampaikan keluh-kesahnya kepada wali kelas.

Ikatan emosional antara guru dan siswa sangat penting dalam proses pendidikan. Ketika guru dan siswa saling mengenal dengan dekat, proses pendidikan lebih terarah dan siswa lebih mudah menerima arahan. Jika siswa sudah merasakan dekat dengan guru, mereka akan menganggap guru sebagai orang tua yang harus dipatuhi.

Kesimpulan

Dengan jumlah siswa yang ideal. Bahkan, lebih sedikit (kisaran 22-24 siswa), memungkinkan pengelolaan kelas lebih efektif dan proses pendidikan lebih terarah. Kebijakan tentang jumlah siswa 50 orang di dalam kelas dapat menyebabkan beberapa masalah dan tidak efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, saya berharap kebijakan ini dapat dipertimbangkan kembali untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

***

Judul: Ketika Jumlah Siswa di Kelas Terlalu Banyak: Apakah Proses Pendidikan dan Pengajaran Berlangsung Efektif?
Penulis: Diantika IE
Editor: JHK

Sekilas tentang penulis/pengarang

Diantika IE
Diantika IE, Pengarang – (Sumber: Koleksi pribadi)

Diantika Irma Ekawati, M.Pd. adalah seorang perempuan kelahiran Ciamis, Jawa Barat, alumni Jurusan PGRA (Pendidikan Guru Raudhatul Athfal) 2007 dan menyandang gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

Saat ini Diantika masih dipercaya sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia. Sebelumnya ia pernah memegang jabatan itu untuk masa bakti 2018-2020. Selain sering menulis artikel, ia juga hobi menulis cerita pendek, cerita anak, novel, dan puisi. Ia juga memiliki kegemaran membaca, bercerita, dan mendongeng. Diantika memiliki segudang pengalaman sebagai pembicara di beberapa event kepenulisan.

Karya tulis yang pernah dipublikasikan oleh Diantika di antaranya buku kumpulan cerpen berjudul “Secarik Pesan Terakhir” yang merupakan buku tunggal perdananya, antologi cerpen, antologi puisi, tulisan tentang pendidikan Islam, dan novel berjudul “Handaru”.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *