Keruntuhan Pajajaran dan Literasi Sunda
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Opini, Sabtu (16/08/2025) – Artikel berjudul “Keruntuhan Pajajaran dan Literasi Sunda” ini ditulis oleh D.S. Samdani, seorang penulis dan pegiat literasi yang bermukim di Kota Cimahi, Jawa Barat.
Chapter I : Abu dari Cibeber: Jejak Letusan Gunung Berapi dan Awal Keruntuhan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran yang berdiri megah di Tatar Sunda, dikenal dalam sejarah Nusantara sebagai kerajaan yang makmur, kuat secara politik, dan kaya secara budaya. Namun, seperti banyak kerajaan besar lainnya, kekuatan itu tidak bertahan selamanya. Kerajaan Pajajaran, dengan pusatnya di Pakuan (kini Bogor) merupakan penerus kejayaan Kerajaan Sunda yang telah berdiri sejak abad ke-7.

Dalam catatan naskah kuno dan tradisi lisan Sunda, Pajajaran digambarkan sebagai kerajaan yang makmur, sejahtera, dan sakral — terutama di masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Namun, kejayaan itu berakhir secara tragis pada 1579 M, ketika Kesultanan Banten berhasil menaklukkan dan menghancurkan sisa-sisa kerajaan tersebut.
Selama ini, kejatuhan Pajajaran sering hanya dikaitkan dengan invasi militer. Namun, sejarawan dan ahli geologi kini mulai menyoroti peran bencana alam yang terjadi sebelumnya — yang kemungkinan besar menghancurkan stabilitas kerajaan dari dalam, hingga membuatnya mudah ditumbangkan dari luar.
Salah satu bab awal dari kisah keruntuhannya tersimpan diam-diam dalam lapisan tanah di Cibeber, Cianjur Selatan — jejak abu vulkanik yang menjadi saksi bisu letusan besar di masa lampau.
Endapan Abu di Cibeber: Bukti dari Masa Lalu
Penelitian geologi yang dilakukan di wilayah Cibeber, di sekitar aliran sungai dan lembah pegunungan, menemukan lapisan tebal abu vulkanik yang tertanam rapi dalam stratifikasi tanah. Setelah dianalisis secara stratigrafi, endapan tersebut menunjukkan:
- Karakteristik letusan eksplosif, dengan abu halus yang tersebar luas;
- Ketebalan dan distribusi abu menunjukkan sumber letusan berasal dari gunung api aktif di wilayah barat-tengah Jawa Barat, seperti Tangkuban Parahu atau Patuha;
- Perkiraan waktu pengendapan: sekitar akhir abad ke-15, antara 1480–1500 M.
1. Letusan yang Mengubah Segalanya
Letusan yang mungkin tidak sebesar gunung Krakatau atau Gunung Tambora, bukan hanya peristiwa alam biasa. Akan tetapi, letusan tersebut mampu merubah banyak hal, di antaranya:
Kerusakan lahan pertanian secara luas di wilayah Cianjur Selatan, Priangan, hingga ke Pakuan (Bogor);
Perubahan iklim mikro — di mana suhu menjadi lebih dingin dan curah hujan meningkat akibat abu vulkanik di atmosfer;
Gagal panen selama beberapa musim, menyebabkan kelaparan lokal dan migrasi penduduk;
Terganggunya sistem logistik dan distribusi pangan ke pusat kerajaan.
Letusan yang kemungkinan terjadi dengan rentang waktu yang sama dan berkaitan dengan kisah runtuhnya pajajaran :
1.1. Letusan Gunung Patuha (sekitar 1480–1490 M)
- Gunung ini terletak di wilayah Ciwidey, Priangan Selatan, yang merupakan bagian dari wilayah penting pertanian Pajajaran;
- Letusan besar diduga membentuk Kawah Putih, berdasarkan kajian geologi dan sejarah lisan.
Dampak: Merusak ladang dan sumber air; Memicu kelaparan dan krisis ekonomi lokal; Mengganggu rantai pasok pangan ke pusat kerajaan.
1.2. Letusan Gunung Tangkuban Parahu (sekitar 1495–1500 M)
- Letusan tidak tercatat secara tertulis, tapi analisis endapan abu vulkanik di wilayah Cibeber dan Bandung Barat mengindikasikan peristiwa vulkanik besar;
- Wilayah utara seperti Lembang, Parongpong, dan Subang terdampak cukup parah.
Dampak: Akses perdagangan terganggu; Gangguan cuaca dan suhu (karena abu vulkanik); Memburuknya kondisi pertanian dan perumahan rakyat.
Sebagai kerajaan agraris, Pajajaran sangat bergantung pada wilayah pertanian subur di selatan dan tengah. Maka, ketika wilayah itu lumpuh akibat bencana alam, fondasi ekonomi kerajaan pun mulai goyah
2. Gempa Bumi Hebat (Diperkirakan antara 1500–1510 M)
Selain Meletusnya kedua gunung tersebut, geliat aktivitas vulkanik dan tektonik mengakibatkan bencana besar lainnya
Gempa Besar dari Sesar Cimandiri dan Lembang (1500–1510 M)
Berdasarkan kajian geomorfologi, gempa hebat kemungkinan terjadi akibat aktivitas dua sesar aktif yaitu Sesar Cimandiri (melintasi Sukabumi hingga Padalarang) dan Sesar Lembang (melintasi utara Bandung).
Tradisi lisan menyebut masa “karusuhan alam” dengan istilah seperti lemah ruksak (tanah rusak) dan bumi bolong (bumi terbelah).
Dampak: Kerusakan bangunan istana dan tempat ibadah; Jalur penghubung antar daerah rusak parah; Memicu pengungsian massal dan disorganisasi sosial.
3. Longsor Gunung Salak: “Luluhur yang Marah”
Gunung Salak terletak di sebelah selatan Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor). Gunung ini sejak lama dianggap sakral oleh masyarakat Sunda. Namanya berasal dari kata “salaka” (perak) yang menunjukkan aura mistik dan kemuliaannya. Namun, gunung ini juga menyimpan bahaya laten sebagai daerah rawan longsor dan pergerakan tanah.
Peristiwa Longsor Besar (perkiraan akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16)
Menurut tradisi lisan Sunda, pernah terjadi longsor besar di lereng Gunung Salak yang memutus jalur logistik dari selatan ke Pakuan. Longsor juga menyebabkan luberan air dari mata air dan anak sungai yang akhirnya memperbesar debit Sungai Cisadane dan Ciliwung.
Laporan tak tertulis dari masyarakat adat menyebut masa ini sebagai masa “lemah ruksak, gunung leupas” (tanah rusak, gunung runtuh).
Dampak terhadap Pajajaran: Ladang pertanian di kaki gunung rusak total, menyebabkan krisis pangan; Akses ke wilayah selatan seperti Cianjur dan Sukabumi terputus; Penduduk desa di sekitar kaki gunung banyak mengungsi, sebagian besar ke arah barat (menyebar ke Banten), dan; Aura sakral Gunung Salak berubah menjadi simbol kemurkaan alam, memunculkan kecemasan spiritual di kalangan masyarakat Pajajaran.
4. Banjir Ciliwung: Sungai Suci yang Meluap
Sungai Ciliwung adalah sungai besar yang mengalir dari Puncak melewati wilayah Bogor dan Jakarta. Dalam konteks Pajajaran, Ciliwung bukan hanya sumber air utama, tetapi juga jalur penting perdagangan dan pertahanan.
Longsor di daerah hulu sekitar Gunung Salak, Gunung Gede, dan Pangrango ditambah curah hujan yang tinggi terus menerus akibat perubahan iklim yang disebabkan sebaran abu vulkanik di udara akibat letusan gunung berakibat anomali iklim dan meluapnya sungai Ciliwung yang selama ini dianggap suci dan juga menjadi salah satu jalur transportasi penghubung antara pakuan dan daerah penghasil pangan.
Peristiwa Banjir Besar Ciliwung
Diperkirakan terjadi beberapa kali antara tahun 1490–1520 M, berdasarkan: Jejak endapan lumpur tebal di sekitar jalur sungai di wilayah Bogor modern; Naskah Babad Sunda menyebut tentang “cai na ngagebur sakitu gede” (air meluap begitu besar) yang merusak permukiman; Terjadi pasca kombinasi letusan gunung (Patuha, Tangkuban Parahu) dan hujan ekstrem akibat perubahan iklim lokal.
Dampak terhadap Pajajaran: Prasasti dan situs-situs suci rusak atau hilang, termasuk beberapa peninggalan kerajaan Sunda kuna; Infrastruktur seperti jembatan, bendungan, dan lumbung pangan rusak, menyebabkan kemacetan ekonomi dan kelaparan; Sungai yang dulu menjadi penghubung perdagangan kini menjadi penghalang — dan rakyat mulai meninggalkan kota.
Chapter 2 : Alam yang Menghukum, Musuh yang Menyambut
Ketika alam mengamuk, kerajaan mulai runtuh dari dalam. Setelah beberapa dekade dihantam bencana alam, struktur sosial dan ekonomi Pajajaran melemah drastis. Rakyat banyak yang mengungsi ke wilayah pesisir seperti Banten dan Cirebon dua kekuatan yang tak terpengaruh langsung oleh bencana tersebut.
- Pajajaran kehilangan kendali atas daerah-daerah penghasil pangan;
- Pemberontakan kecil mulai muncul di daerah terpencil akibat kelaparan dan kurangnya bantuan;
- Para bangsawan dan prajurit mulai berkurang wibawanya di mata rakyat, dianggap tak mampu melawan kekuatan alam.
Pakuan, kerajaan sudah dalam kondisi lemah, tanpa daya, dan sebagian besar wilayahnya sudah tercerai-berai akibat krisis alam dan sosial. Dua wilayah yang telah mengadopsi Islam dan tumbuh menjadi kekuatan baru. Di sinilah Kesultanan Banten, di bawah Sultan Maulana Yusuf, melihat peluang.
Pada 1579 M, pasukan Banten berhasil menembus pertahanan Pajajaran di Pakuan. Ibu kota dihancurkan, para bangsawan Sunda yang tersisa melarikan diri, dan prasasti-prasasti suci seperti Sanghyang Tapak ditinggalkan. Pajajaran secara resmi runtuh, dan sejak itu wilayah bekas kerajaan Sunda mengalami Islamisasi yang pesat.
Pemusnahan Literasi Sunda saat Serangan Banten ke Pajajaran (1579 M)
Keruntuhan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M bukan hanya menandai akhir dari kekuasaan politik Hindu-Sunda di Tatar Sunda, tetapi juga menjadi titik hancurnya warisan literasi dan intelektual Sunda Kuno. Salah satu aspek paling menyedihkan dari peristiwa itu adalah pemusnahan literasi Sunda, baik dalam bentuk naskah lontar, prasasti, manuskrip, maupun pusat pengetahuan (semacam perpustakaan tradisional) yang ada di lingkungan istana Pakuan Pajajaran.
Kerajaan Sunda, terutama pada masa Pajajaran (abad ke-14 hingga ke-16 M), dikenal memiliki tradisi aksara dan pengetahuan yang kuat. Beberapa bukti:
- Penggunaan aksara Kawi dan Sunda Kuno dalam prasasti seperti Prasasti Kawali, Prasasti Batutulis, dan Prasasti Sanghyang Tapak;
- Naskah-naskah keagamaan dan pemerintahan, serta teks ajaran moral dan kosmologi, ditulis di atas lontar atau daun gebang;
- Terdapat “Pustaka Sanghyang” dan “Pustaka Nagara”, yang menurut naskah Carita Parahyangan dan Wangsakerta merupakan pustaka kerajaan yang menyimpan sejarah, silsilah, hukum adat, dan petuah leluhur.
Ketika Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan Banten pada 1579 M, banyak bangunan termasuk balai pustaka dihancurkan: Naskah dibakar, hilang, atau dibuang karena dianggap “ajaran lama” yang bertentangan dengan ajaran Islam; Banyak pujangga dan brahmana dibunuh atau mengungsi, membawa sebagian kecil naskah ke pegunungan Priangan atau ke wilayah timur.
Inilah yang menjelaskan mengapa hari ini sangat sedikit naskah Sunda Kuno yang tersisa dan sejarah Sunda seringkali harus direkonstruksi dari sumber-sumber sekunder — termasuk babad dari luar Sunda.
Hilangnya literasi Sunda kuno membuat sejarah Tatar Sunda banyak bergantung pada tradisi lisan, sehingga: Banyak kisah sejarah menjadi kabur dan tumpang tindih secara timeline; Terjadi sinkretisasi antara sejarah, mitos, dan legenda, seperti kisah Prabu Siliwangi, Gajah Mada, atau Wangsakerta; Upaya penulisan ulang sejarah (seperti oleh Pangeran Wangsakerta di Cirebon) bersifat rekonstruktif dan tidak bebas dari bias.
Akibat dari Pemusnahan Literasi Ini:
1. Putusnya jalur pengetahuan Sunda dari masa klasik ke masa Islam. Banyak ajaran lama hilang, sehingga generasi berikutnya tidak punya dokumentasi otentik tentang asal-usul dan sistem nilai nenek moyangnya;
2. Tumpang tindih sejarah Sunda. Karena kehilangan banyak sumber tertulis, cerita sejarah Sunda kini banyak dicampur dengan mitos, rekonstruksi lewat naskah Jawa atau Cirebon. Bahkan, distorsi budaya;
3. Hilangan aksara Sunda Kuno dari kehidupan sehari-hari. Sejak keruntuhan Pajajaran, aksara Arab Pegon dan aksara Jawa menggantikan aksara Sunda di lembaga pendidikan dan keagamaan.
Transformasi budaya besar-besaran
Identitas masyarakat Sunda menjadi berlapis — Sunda lama yang tersisa dalam legenda, dan Sunda baru yang dibentuk dalam bingkai Islam dan Jawa.
Luka yang Tak Pernah Benar-Benar Sembuh
Hilangnya pusat ilmu dan naskah Sunda bukan sekadar kehilangan teks — melainkan kehilangan jati diri, kehilangan ingatan kolektif, dan kehilangan arah sejarah. Sampai hari ini, sejarah Sunda lama masih belum sepenuhnya utuh karena warisan tertulisnya dibakar dan dilenyapkan.
Namun, selama masih ada orang Sunda yang ingin tahu siapa leluhurnya, apa ajarannya, dan dari mana jati dirinya berasal — maka semangat literasi Sunda tak akan pernah benar-benar padam.
***
Judul: Keruntuhan Pajajaran dan Literasi Sunda
Penulis: D.S. Samdani
Editor: Jumari Haryadi