Kasih Sayang Berbatas: Pria Sejati Tumbuh Tegas
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik OPINI, Sabtu (27/09/2025) ─ Artikel bertajuk “Kasih Sayang Berbatas: Pria Sejati Tumbuh Tegas” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Siapa yang tak mengenal kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam legenda Tangkuban Perahu? Cerita rakyat ini bukan sekadar dongeng, melainkan cermin tentang bagaimana kasih sayang tanpa batas bisa berubah menjadi kabut yang menyesatkan.
Dayang Sumbi begitu menyayangi putranya, Sangkuriang. Namun, kasih yang berlebihan tanpa disertai pagar hikmah membuat hubungan ibu dan anak ini melewati batas kewajaran. Ketika Sangkuriang dewasa, ia justru jatuh hati pada ibunya sendiri, sebuah tragedi yang lahir dari cinta yang tak lagi mengenal ruang dan arah. Dari sanalah lahir pelajaran berharga: kasih sayang ibu tetap harus punya batas agar anak laki-laki tumbuh wajar, sehat, dan menjadi pria sejati.

Sejak pertama kali membuka mata ke dunia, seorang anak laki-laki biasanya merasakan dekapan lembut ibunya. Kehangatan itu memberi rasa aman, seolah dunia begitu bersahabat. Tak heran, banyak anak laki-laki yang tumbuh dengan kedekatan emosional yang sangat kuat dengan ibunya.

Kasih ibu memang tak tertandingi. Namun, pernahkah kita merenung, apakah mungkin kasih yang terlalu erat justru bisa membuat seorang anak sulit tumbuh menjadi lelaki dewasa yang mandiri? Bahkan, bisa tumbuh seperti kisah legenda di atas?
Pertanyaan ini penting, sebab banyak kasus menunjukkan bahwa ikatan yang terlalu melekat tanpa batas dapat membuat anak laki-laki kesulitan berdiri tegak sebagai pribadi yang matang. Cinta sejati seorang ibu sejatinya bukanlah yang mengikat, melainkan yang melepaskan anaknya agar mampu terbang sendiri.
Mengenal Oedipus Complex Secara Ringkas
Dalam dunia psikologi, ada istilah Oedipus Complex yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Singkatnya, ini adalah fase normal yang dialami anak laki-laki pada usia 3–6 tahun, di mana ia menunjukkan ketertarikan emosional yang besar pada ibunya. Pada tahap ini, anak bisa merasa “bersaing” dengan ayahnya, meski hanya secara bawah sadar.
Fase ini umumnya akan berlalu jika anak mendapat pola asuh yang seimbang: kasih sayang ibu tetap hadir, tetapi ayah juga berperan sebagai panutan laki-laki. Namun, bila fase ini tidak terselesaikan dengan baik, akibatnya bisa terbawa hingga dewasa: anak terlalu bergantung pada ibu, sulit menjalin relasi sehat dengan pasangan, atau kehilangan rasa percaya diri untuk berdiri sebagai pria sejati.
Oedipus Complex bukanlah penyakit, dan bukan pula bawaan genetik. Lebih banyak dipengaruhi oleh pola asuh, dinamika keluarga, serta lingkungan sosial.

Banyak orangtua, terutama ibu, yang merasa bahwa menunjukkan kasih sayang tanpa batas adalah bentuk cinta paling tulus, padahal kasih sayang yang tidak diberi pagar justru bisa membuat anak tidak siap menghadapi kehidupan. Batasan bukan berarti mengurangi cinta, melainkan menempatkan cinta pada tempatnya. Anak laki-laki tentu masih butuh pelukan dan perhatian, tetapi setelah menginjak usia remaja, interaksi fisik perlu lebih proporsional.
Ibu tetap mendukung penuh, tetapi juga memberi ruang bagi ayah untuk mengambil peran penting sebagai figur laki-laki. Anak diarahkan untuk bertanggung jawab, tidak selalu dilindungi, sehingga terbiasa menghadapi tantangan sendiri.
Kasih sayang yang berimbang justru membantu anak membedakan peran: ibu sebagai sumber cinta dan kelembutan, ayah sebagai sumber teladan dan ketegasan. Dari sinilah pondasi kemandirian tumbuh.
Perspektif Agama dan Nilai Budaya
Ajaran agama memberi panduan bijak tentang batasan kasih. Dalam Islam, misalnya, ada larangan bagi seorang suami menyamakan istrinya dengan ibunya (zihār). Larangan ini mengandung makna mendalam: cinta kepada istri dan cinta kepada ibu memiliki ruang yang berbeda, keduanya sama-sama mulia, tetapi tidak boleh dipertukarkan.
Begitu pula interaksi antara ibu dan anak laki-laki setelah baligh. Ada adab yang perlu dijaga agar hubungan tetap penuh hormat tanpa melewati batas. Ini adalah pagar etis sekaligus psikologis, agar anak tumbuh dengan pemahaman yang sehat tentang kasih sayang.
Nilai budaya Nusantaradan ajaran agama sama-sama mengingatkan: kasih ibu adalah anugerah, tetapi anak laki-laki tetap harus diajarkan batas dan kemandirian. Dengan begitu, ia tumbuh menjadi pria sejati yang tegas, berbakti, dan tidak kehilangan kelembutan hatinya.
Peran Ayah dan Lingkungan Sosial
Dalam banyak keluarga, masalah muncul ketika ayah absen atau kurang terlibat. Ketidakhadiran figur ayah membuat anak laki-laki hanya berpatokan pada ibu. Akibatnya, kedekatan yang seharusnya sehat bisa menjadi ketergantungan, padahal, kehadiran ayah sangat penting untuk membantu anak mengenali identitasnya sebagai laki-laki. Ayah yang terlibat aktif, bermain, berdialog, dan memberi teladan tentunya akan membantu anak bisa tumbuh seimbang.
Keseimbangan peran inilah yang membuat anak laki-laki tumbuh normal, sehat, dan mampu menjadi lelaki sejati: penuh hormat kepada perempuan, tetapi juga kuat, tangguh, dan mandiri. Kasih sayang penuh, tetapi beri ruang mandiri. Biarkan anak mencoba, gagal, lalu belajar bangkit. Cinta kepada anak diungkapkan dengan dukungan dan doa, bukan dengan memberikan perlindungan yang berlebihan.
Jika dalam perjalanan seorang anak laki-laki peran ayah tidak dia peroleh dalam pengasuhan, bisa disebabkan ayahnya telah meninggal sejak anak lahir atau bahkan sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya atau bisa juga akibat terjadinya perceraian ibu dan ayahnya. Lalu ayah tidak menunjukkan tanggung jawabnya dalam pengasuhan anak laki-lakinya. Oleh karena itu kita dapat belajar dari perjalanan hidup Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh teladan untuk menghadapi kejadian seperti di atas, lahir dalam kondisi yatim. Bahkan, ayah beliau ─ Abdullah bin Abdul Muthalib ─ wafat saat beliau masih dalam kandungan. Namun, perjalanan hidup beliau menunjukkan bahwa anak yatim pun bisa tumbuh menjadi pemimpin agung, manusia paling mulia.
Peran Ibu ─ Aminah ─ meski singkat, kasih sayang ibunda Nabi menjadi fondasi awal kelembutan hati beliau. Peran Kakek ─ Abdul Muthalib ─ menjadi pelindung dan memberi rasa aman, menanamkan kehormatan keluarga.
Begitu pula dengan peran Paman ─ Abu Thalib ─ menjadi pengasuh sekaligus figur maskulinitas yang membimbing Nabi menjadi pria sejati, termasuk dalam dunia perdagangan. Artinya, meski tanpa ayah kandung, Nabi tetap mendapat kombinasi kasih sayang, pendidikan nilai, dan figur teladan dari lingkaran terdekatnya.
Kasih ibu adalah energi kehidupan. Ia tak pernah habis, selalu setia meski dunia berbalik arah. Namun, cinta itu akan menjadi lebih indah bila diberi batas yang bijak. Dengan begitu, anak laki-laki dapat tumbuh menjadi pria sejati: mandiri, berbakti, dan penuh cinta kepada keluarganya.
Bagi ibu yang membesarkan anak laki-laki tanpa kehadiran ayah, ada beberapa langkah penting: kasih sayang tetap penuh, tetapi arahkan pada kemandirian. Jangan sampai karena rasa iba, ibu memberi keleluasaan berlebihan yang membuat anak sulit mandiri atau kebablasan seperti Sangkuriang.
Cari figur teladan pengganti, bisa kakek, paman, ustaz, guru, atau tokoh masyarakat yang bisa menjadi rujukan laki-laki bagi anak.Tanamkan nilai agama dan akhlak sejak dini karena kekuatan spiritual akan menjadi benteng sekaligus kompas hidup. Libatkan lingkungan sehat dengan mendorong anak untuk bergaul dengan teman sebaya yang positif dan komunitas yang membentuk karakter.
Sejatinya, kasih ibu adalah “sayap” yang melindungi anak pada masa kecil, lalu menjadi “angin” yang mendorongnya terbang di masa dewasa. Biarlah sayap itu mengajarkan perlindungan dan angin itu memberi kekuatan untuk terbang tinggi, hingga ia menjadi pria tegas yang siap menghadapi dunia, tanpa kehilangan kelembutan hatinya.
Ayah memang pilar penting dalam pertumbuhan anak laki-laki, tetapi jika takdir berkata lain, masih ada jalan lain yang tak kalah mulia. Seorang ibu tunggal bisa mendidik anaknya menjadi pribadi kuat, apalagi bila mendapat dukungan dari keluarga besar dan lingkungan.
Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang lahir tanpa ayah. Namun, mampu tumbuh tanpa ibu pada usia dini dan tetap menjadi manusia yang paling sempurna akhlaknya. Begitulah bukti bahwa kasih sayang yang benar, meski tanpa figur ayah kandung, dapat melahirkan pria sejati yang tegas, bijaksana, dan penuh cinta kasih.
Oedipus Complex lebih banyak dipengaruhi lingkungan dan pola asuh, bukan turunan. Agama hadir memberi pagar etika agar cinta anak-ibu tetap suci, tidak berubah arah menjadi ketertarikan yang keliru. (Febri Satria Yazid/BJN).
***
Judul: Kasih Sayang Berbatas: Pria Sejati Tumbuh Tegas
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi
Catatan:
Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis ”Febrisatriayazid.blogspot.com”.