Janji Air Kehidupan
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Opini, Senin (29/09/2025) – Artikel berjudul “Janji Air Kehidupan” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
“Bu, kenapa airnya bau begini? Kok warnanya hitam?”
Seorang anak kecil di Cimahi menatap ember yang baru saja diisi ibunya dari keran rumah. Bau anyir bercampur busuk menyergap, membuatnya menutup hidung. Ibunya hanya terdiam. Ia tahu, sejak lama sungai di dekat rumah mereka sudah tak lagi jernih.

Fakta pahit itu akhirnya terbuka luas. Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) menyatakan, dari tahun 2022 hingga 2024, kualitas air sungai di Cimahi adalah yang paling buruk di Jawa Barat (19 September 2025). Kota kecil ini menanggung beban besar, seolah menjadi simbol darurat sanitasi yang menghantui banyak daerah lain.
Namun, di tengah kegelisahan itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyuarakan janji besar: sanitasi layak 100 persen pada 2045 (19 September 2025). Sebuah harapan yang memercikkan cahaya di tengah gelap.
Antara Harapan dan Kenyataan
Seorang guru sekolah dasar di Cimahi bercerita, “Kami ingin anak-anak sehat, bisa belajar dengan tenang. Tapi bagaimana mungkin, kalau air minum saja harus selalu direbus berkali-kali?”
Kisahnya mengingatkan kita bahwa sanitasi bukan sekadar target angka. Ia adalah kebutuhan dasar, penentu kualitas hidup manusia. Pakar lingkungan dari IPB, Dr. Dwi Sawitri, menegaskan dalam sebuah forum pada Juli 2025, “Air bersih dan sanitasi yang buruk akan langsung berimbas pada kesehatan masyarakat, mulai dari stunting hingga penyakit menular.”
Harapan dan kenyataan seakan berkejaran. Di satu sisi, ada janji indah pemerintah. Di sisi lain, ada realitas getir rakyat kecil yang setiap hari hidup dengan air kotor.
Jejak Kapitalisasi Kesehatan
Seorang bapak di kampung pinggiran Cimahi bergumam lirih, “Kalau sakit, kami takut ke rumah sakit. Biayanya mahal. BPJS pun kadang tidak menolong banyak.”
Ucapannya sederhana, tetapi menggoreskan luka. Sebab memang, sejak konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diterapkan tahun 2014, negara lebih berperan sebagai regulator. Pembiayaan banyak diserahkan kepada rakyat lewat iuran, sementara korporasi swasta tumbuh subur menguasai obat, alat kesehatan, hingga rumah sakit.
Kesehatan pun berubah wajah: dari hak rakyat menjadi komoditas dagang. Undang-Undang 17/2023 bahkan makin memperkuat industrialisasi kesehatan. WHO mencatat, satu dari sepuluh pasien dunia mengalami kerugian akibat pelayanan medis, dan sebagian berujung cacat atau meninggal. Pertanyaan besar pun muncul: di manakah negara ketika rakyat membutuhkan perlindungan nyata?
Islam Menawarkan Jalan
Di tengah kegelisahan ini, mari kita menengok sejarah. Rasulullah saw. bersabda, “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat iman, tidak ada nikmat yang lebih baik selain nikmat sehat.” (H.R Hakim).
Kesehatan dalam Islam bukan komoditas. Ia adalah hak setiap warga. Rasulullah saw. bahkan menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan kepadanya untuk melayani kaum muslim secara umum, bukan untuk beliau pribadi. Ini bukti bahwa pelayanan kesehatan adalah urusan publik yang wajib dijamin negara.
Dalam sistem Islam, negara mengelola baitulmal untuk membiayai kesehatan gratis bagi semua rakyat. Pada masa Khalifah al-Mansyur, rumah sakit di Kairo melayani ribuan pasien setiap hari tanpa memungut bayaran. Bahkan, pasien diberi pakaian dan uang saku. Semua ini dilakukan karena negara menempatkan kesehatan sebagai amanah, bukan sumber keuntungan.
Dialog Harapan Baru
“Pak, benarkah nanti tahun 2045 semua warga bisa menikmati sanitasi layak?” tanya seorang remaja pada ayahnya di sebuah warung kopi pinggir jalan Cimahi.
Ayahnya tersenyum tipis, lalu menjawab, “Itu janji pemerintah. Kita harus mendukung. Tapi kita juga harus tahu, harapan itu hanya akan jadi nyata jika negara benar-benar hadir, bukan sekadar mencatat angka di atas kertas.”
Remaja itu terdiam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, kita butuh pemimpin yang sungguh-sungguh menjaga rakyatnya. Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dan para pemimpin Islam setelahnya.”
Ayahnya mengangguk. “Betul. Islam telah memberi teladan. Sanitasi, kesehatan, dan kehidupan layak bukan sekadar target, tapi kewajiban negara untuk rakyat.”
Menutup Luka, Meraih Asa
Cimahi hanyalah cermin kecil dari persoalan besar di Jawa Barat. Sungai hitam yang berbau busuk itu seolah berteriak, meminta kita sadar bahwa sanitasi adalah hak yang tak boleh diabaikan. Target 2045 bisa menjadi kenyataan jika paradigma berubah.
Negara harus berhenti menjadikan kesehatan dan sanitasi sebagai komoditas. Islam telah menunjukkan jalannya: negara menjamin, rakyat menikmati. Itulah janji air kehidupan, bukan sekadar untuk 2045, tetapi untuk setiap detik kehidupan rakyat. (Ummu Fahhala).
***
Judul: Janji Air Kehidupan
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK