ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniPolitik

Jalanan Jakarta Membara: Arogansi Elit dan Perlawanan Rakyat

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Minggu (31/08/2025) – Artikel berjudul “Jalanan Jakarta Membara: Arogansi Elit dan Perlawanan Rakyat” ini ditulis oleh Fuadi yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen Universitas Pamulang (UNPAM), Serang, Provinsi Banten.

Jakarta kembali berdenyut dalam gelombang perlawanan. Jalanan ibu kota yang biasanya menjadi urat nadi transportasi, kini berubah menjadi ruang kelas politik rakyat. Mereka yang turun bukanlah kaum pencari keributan, melainkan warga negara yang suaranya dibungkam oleh kekuasaan yang semakin tuli. Setiap teriakan yang menggema adalah cerminan dari kekecewaan yang telah berubah menjadi kemarahan massal.

Kita harus berani jujur: rakyat tidak turun ke jalan tanpa alasan kuat. Mereka mengorbankan waktu, tenaga, dan mempertaruhkan keselamatan fisik bukan untuk hobi, melainkan karena sudah tidak ada lagi saluran aspirasi yang efektif. Mereka terpaksa menjadi “suara yang gaduh” karena “suara yang rasional” terus diabaikan di gedung-gedung parlemen yang megah.

Fuadi, dosen UNPAM Serang
Fuadi, penulis dan dosen UNPAM Serang – (Sumber: Koleksi pribadj)

Akar kemarahan ini bersumber dari tiga persoalan utama: ketidakadilan ekonomi yang semakin dalam, kebijakan politik yang elitis, dan yang paling menyakitkan—tingkah laku arogan para wakil rakyat yang semakin tidak terkendali. Sementara rakyat berjuang memenuhi kebutuhan pokok, para anggota dewan asyik dengan proyek mercusuar dan perburuan rente kekuasaan.

Tindakan arogan DPR menjadi bahan bakar utama kemarahan ini. Rakyat disuguhi pemandangan tidak menyenangkan: anggaran yang membengkak untuk fasilitas mewah para wakil rakyat di saat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Rakyat harus menerima kenyataan pahit melihat wakilnya mengesahkan undang-undang yang berpihak pada kepentingan oligarki dengan proses yang cacat partisipasi publik.

Hal yang lebih memprihatinkan, bahasa arogan telah menjadi bahasa resmi para elit. Pernyataan-pernyataan seperti “rakyat harus bersyukur” atau “jangan cengeng” justru keluar dari mulut para wakil rakyat. Alih-alih mendengar keluhan konstituen, mereka justru memberikan ceramah tentang kesabaran sambil menikmati fasilitas mewah yang dibiayai dari uang rakyat.

Ironisnya, pemerintah dan DPR justru merespons demonstrasi dengan bahasa kekerasan. Penggunaan aparat keamanan secara berlebihan, pagar kawat berduri, dan narasi kriminalisasi terhadap demonstran menjadi jawaban standar terhadap kritik rakyat. Mereka lupa bahwa demonstrasi adalah bagian dari hak konstitusional, bukan gangguan keamanan.

Sejarah telah membuktikan bahwa arogansi kekuasaan selalu berakhir dengan kehancuran. Setiap rezim yang menutup telinga dari kritik rakyat pada akhirnya akan digulingkan oleh kekuatan rakyat itu sendiri. Para anggota dewan seharusnya belajar dari sejarah: kekuasaan yang diberikan rakyat bisa dicabut kembali oleh rakyat.

Kita juga harus waspada terhadap narasi penunggalan isu. Menuduh setiap demonstrasi sebagai hasil rekayasa politik adalah bentuk pelegitimasian ketidakpedulian. Yang terjadi sebenarnya adalah akumulasi kekecewaan terhadap sistem yang tidak adil dan wakil rakyat yang lupa diri.

Jakarta yang membara adalah cerminan Indonesia yang gerah. Getaran kemarahan di ibu kota adalah gema dari rasa frustrasi yang menyebar ke seluruh pelosok negeri. Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa ini bukan sekadar huru-hara biasa, melainkan peringatan keras tentang membusuknya legitimasi kekuasaan.

Namun, kita harus mengakui bahwa demonstrasi juga memiliki korban tidak langsung. Pedagang kecil, pekerja harian, dan masyarakat kelas bawah yang justru menjadi korban dari kemacetan dan gangguan ekonomi yang ditimbulkan. Inilah paradox perlawanan: rakyat berjuang melawan ketidakadilan yang justru membebani rakyat lainnya.

Demonstrasi harus dipahami sebagai denyut nadi demokrasi. Lebih berbahaya jika rakyat memilih diam, karena diamnya rakyat berarti matinya demokrasi. Pemerintah yang berkuasa atas dasar ketakutan bukanlah pemerintahan yang legitimate, melainkan pemerintahan yang oppressive.

Jika arogansi kekuasaan ini terus berlanjut, jangan heran jika gelombang demonstrasi akan semakin besar. Rakyat tidak akan terus menerima janji kosong dan perilaku merendahkan. Hal yang dibutuhkan sekarang bukanlah represi, melainkan kerendahan hati untuk mendengar dan keberanian untuk melakukan koreksi.

Rakyat sudah lelah dengan retorika tanpa realitas. Mereka bosan dengan program-program yang hanya indah di atas kertas tetapi tidak menyentuh kehidupan nyata. Untuk apa pertumbuhan ekonomi tinggi jika hanya dinikmati oleh segelintir orang? Untuk apa stabilitas politik jika rakyat tetap sulit memenuhi kebutuhan dasarnya?

Jalanan Jakarta yang membara adalah pertanda bahwa demokrasi kita masih hidup, tetapi juga peringatan bahwa kesabaran rakyat ada batasnya. Arogansi kekuasaan akan selalu dikalahkan oleh kekuatan rakyat yang bersatu. Sejarah telah membuktikannya berulang kali, dan sejarah mungkin akan terulang lagi jika para elit tidak segera berubah. (Fuadi)

***

Judul: Jalanan Jakarta Membara: Arogansi Elit dan Perlawanan Rakyat
Penulis: Fuadi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *