ArtikelBerita Jabar NewsLiterasiOpini

Inilah Penyebab Mengapa Kualitas Penulis Tidak Juga Meningkat, padahal Pelatihan Selalu Dilaksanakan

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Selasa (11/11/2025) – Esai berjudul Inilah Penyebab Mengapa Kualitas Penulis Tidak Juga Meningkat, padahal Pelatihan Selalu Dilaksanakanini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis/pengarang, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Untuk Anda yang mau membaca sampai akhir, izinkan saya membagikan satu rahasia kecil—atau mungkin ini bukan rahasia, melainkan kebiasaan lama yang sudah mendarah daging dalam dunia pendidikan kita. Fenomena ini dikenal sebagai “Sirkus Pelatihan Guru”.

Acara rutin ini seringkali diselenggarakan di berbagai tempat, dari gedung dinas hingga ballroom hotel dengan AC. Di panggungnya, Anda akan melihat wajah-wajah yang sama mulai dari satu sesi pelatihan ke sesi lainnya. Antusiasme membara pada awalnya, tetapi hasilnya? Mari kita bicarakan dengan jujur.

belajar menulis
Ilustrasi: Seorang peserta pelatihan menulis sedang mempraktikkan pelajaran yang diperolehnya menggunakan tablet – (Sumber: Arie/BJN)

Katanya, pelatihan dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas guru dan kemampuan literasi pendidik dengan tujuan agar para guru lebih terampil dalam menulis karya ilmiah, artikel, atau buku ajar. Namun kenyataannya, formula ajaib tersebut seringkali berubah menjadi versi yang lebih tragis: “Semakin banyak pelatihan, semakin bingung jadinya”.

Ritual Tahunan Tanpa Dampak Nyata

Di banyak tempat—meski tidak semuanya, jumlahnya tetap tidak sedikit—pelatihan guru bagaikan reuni keluarga besar yang eksklusif. Pesertanya terdiri dari wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi: para bintang lokal, alumni setia dari “klub pelatihan abadi.”

Mengapa mereka terpilih? Bukan karena produktivitas tulisannya yang luar biasa atau karena inovasi mereka yang menginspirasi rekan guru lainnya. Namun, karena mereka memiliki satu keahlian spesial: hubungan dekat dengan panitia atau pengambil keputusan.

Jika Anda mahir menyapa, senang nongkrong bersama pejabat, atau memiliki “chemistry” baik dengan penyelenggara maka tiket pelatihan hampir pasti ada di tangan Anda. Tidak peduli apakah tulisan Anda hanya sekadar caption Instagram atau sudah siap untuk dibukukan, yang penting adalah Anda dekat dengan mereka yang berkuasa.

Dari Peserta Menjadi Narasumber Instan

Setelah pelatihan selesai, para bintang pelatihan ini mendapatkan sertifikat yang cemerlang. Bahkan, sering langsung naik jabatan: menjadi “narasumber dadakan”. Mereka kembali ke sekolah dengan gelar baru dan rasa bangga baru, membawa “ilmu” yang katanya siap ditularkan.

Sayangnya, ini adalah awal dari komedi hitam. Banyak dari mereka yang tidak benar-benar memahami inti dari pelatihan itu. Materi yang disampaikan seringkali sudah salah dari awal. Alih-alih memberikan wawasan, justru membingungkan.

Materi penulisan yang seharusnya membangkitkan kreativitas dan melatih pemikiran kritis, malah berubah menjadi sesi motivasi instan. Dasar-dasar menulis—mengembangkan ide, menemukan suara, dan menyusun logika—diubah menjadi daftar slide PowerPoint penuh clipart dan kutipan acak.

Lebih parahnya, demi “menciptakan suasana”, sesi pelatihan disisipkan dengan ice breaking berupa acara joget-joget atau permainan yang sama sekali tidak relevan. Peserta bukan pulang dengan naskah, tetapi dengan video boomerang di ponsel masing-masing.

Guru yang Ingin Belajar Justru Terbengkalai

Di kursi peserta, para guru yang serius ingin belajar menulis hanya bisa tersenyum getir. Mereka berharap pulang dengan bekal nyata untuk menulis karya ilmiah, modul ajar, atau buku pengayaan. Namun yang mereka bawa hanyalah kumpulan istilah baru, sedikit hiburan, dan tentu saja, sertifikat berwarna.

Akibatnya, semangat menulis yang seharusnya muncul dari proses reflektif justru terpendam. Pelatihan hanya menjadi tontonan rutin, bukan perjalanan intelektual. Akhirnya, kita menemukan paradoks besar: pelatihan semakin sering dilakukan, tetapi kualitas penulisan guru tetap tidak meningkat.

Akar Masalahnya: Sistem yang Salah Resep

Kita tidak kekurangan pelatihan, tetapi yang kita perlukan adalah pelatihan yang bermakna. Pelatihan sejati seharusnya menciptakan lingkungan belajar yang terbuka, kritis, dan berfokus pada praktik. Sayangnya, kenyataannya justru sebaliknya—pelatihan malah berubah menjadi ajang sosial ketimbang akademis.

Peserta dipilih bukan karena kemampuannya, tetapi karena hubungan mereka. Pembicara ditunjuk bukan berdasarkan karya tulisnya, tetapi karena kemampuannya untuk menyenangkan atasan. Akibatnya, terbentuklah kelompok elit yang menguasai pelatihan, tanpa menghasilkan generasi penulis yang kuat.

Solusi: Kembali ke Inti Pembelajaran

Jika kita benar-benar ingin meningkatkan kualitas guru-penulis, langkahnya sederhana namun jelas: Pilih peserta berdasar hasil “penilaian kompetensi”, bukan dari kedekatan emosional. Utamakan guru-guru yang benar-benar berkeinginan untuk belajar, siap menulis dari awal, terbuka untuk kritik, dan berupaya memperbaiki diri. Bukan mereka yang hanya jago berfoto di depan banner pelatihan.

Selanjutnya, ubah pendekatan pelatihan dari sekadar acara menjadi komunitas pembelajaran. Fasilitator tidak hanya bertindak sebagai pembicara, tetapi sebagai mentor yang ikut menulis bersama peserta. Tak perlu mewah, yang penting adalah makna.

Karena, peningkatan kualitas penulisan tidak ditentukan oleh seberapa sering pelatihan diadakan, tetapi dari kejujuran dalam proses belajar.

Kesimpulan: Antara Hiburan dan Sekolah Menulis Sejati

Jika pelatihan masih dianggap sebagai pertunjukan, kualitas penulis tidak akan meningkat. Kita hanya akan menghasilkan “penulis bersertifikat” yang tidak memiliki karya. Namun, jika pelatihan diubah menjadi tempat tenang untuk guru belajar menulis dengan sepenuh hati—merangkai ide, mengolah pengalaman, dan berbagi nilai—maka pendidikan akan menemukan bentuk terbaiknya.

Sebab, guru yang menulis dengan tulus adalah guru yang belajar dua kali: untuk dirinya sendiri dan untuk para siswa. Di sinilah sebenarnya kualitas sejati seorang guru-penulis muncul. (Didin Tulus).

***

Judul: Inilah Penyebab Mengapa Kualitas Penulis Tidak Juga Meningkat, padahal Pelatihan Selalu Dilaksanakan
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Didin Tulus
Didin Tulus, Penulis – (Sumber: Didin Tulus/BJN)

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Aktifitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *