ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Hanggar Magot Jatihandap: Memetakan Solusi Masalah Sampah melalui Magotisasi

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Kamis (14/08/2025) – Artikel berjudul “Hanggar Magot Jatihandap: Memetakan Solusi Masalah Sampah melalui Magotisasi” ini ditulis oleh Krisna Aditya, seorang penulis, Akademisi Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI), dan Ketua RW 16 Jatihandap, Kota Bandung.

Masalah sampah di Indonesia telah menjadi isu yang kian pelik, terutama di wilayah perkotaan yang menghasilkan tonase sampah organik dan anorganik setiap harinya. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menunjukkan bahwa 60 persen sampah di Jawa Barat berasal dari rumah tangga, 20 persen dari pasar, dan kawasan perdagangan, sementara sisanya dari industri dan fasilitas publik.

Krisna Aditya
Krisna Aditya, Penulis – (Sumber: Koleksi Pribadi)

Kondisi ini menjadikan peran masyarakat sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan sampah di daerah dan wilayah. Salah satu pendekatan inovatif yang dilakukan Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung adalah magotisasi, yaitu pemanfaatan larva lalat Black Soldier Fly (BSF) untuk mengurai sampah organik.

Pendekatan tersebut tidak hanya menawarkan solusi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru. Namun, seperti halnya solusi lainnya, magotisasi memiliki tantangan yang perlu diatasi agar dapat diterapkan secara luas.

Potensi Magotisasi Mengatasi Masalah Sampah

Magotisasi memanfaatkan kemampuan larva BSF untuk mengonsumsi sampah organik, seperti sisa makanan, buah, dan sayuran, dengan cepat dan efisien. Dalam hitungan hari, larva ini dapat mengurai sampah organik hingga 70-80% dari volume awal. Produk sampingannya pun bernilai tinggi: larva yang kaya protein dapat digunakan sebagai pakan ternak atau ikan, sementara residunya dapat diolah menjadi kompos berkualitas.

Lalat Black Soldier Fly (BSF)
Ilustrasi: Lalat Black Soldier Fly (BSF) untuk mengurai sampah organik – (Sumber: a-z-animals.com)
Magot
Ilustrasi: Magot yang dihasilkan dari lalat Black Soldier Fly (BSF) yang berfungsi untuk mengurai sampah organik – (Sumber: telegraph.co.uk)

Pendekatan ini sangat relevan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 60 persen sampah yang dihasilkan adalah organik. Selain mengurangi volume sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), magotisasi juga mendukung ekonomi sirkular. Peternak lokal, petani, dan pelaku usaha kecil menengah (UMKM) dapat memanfaatkan larva BSF sebagai alternatif pakan yang murah dan berkelanjutan.

Ketua RW16 Jatihandap, Krisna Aditya bersama Tim Kompak dilokasi hanggar magot - (Sumber: Krisna)
Ketua RW16 Jatihandap, Krisna Aditya bersama Tim Kompak dilokasi hanggar magot – (Sumber: Krisna)

Di beberapa daerah, seperti Bantul dan Surabaya, inisiatif magotisasi sudah mulai diterapkan secara kecil-kecilan, menunjukkan hasil yang menjanjikan. Misalnya di Bantul, terdapat sekelompok masyarakat berhasil mengurangi sampah organik di pasar tradisional sekaligus menghasilkan pendapatan dari penjualan larva.

Tantangan dalam Implementasi

Meski potensial, magotisasi belum sepenuhnya populer karena beberapa kendala. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses ini sering memunculkan stigma negatif, seperti anggapan bahwa magotisasi menimbulkan bau atau tidak higienis. Padahal, jika dikelola dengan baik, proses ini justru minim bau dan ramah lingkungan.

Monev Kasie Ekbang Jatihandap (Kanan) Bapak Dody Suhendi beserta tim magot - (Sumber: Krisna)
Monev Kasie Ekbang Jatihandap (Kanan) Bapak Dody Suhendi beserta tim magot – (Sumber: Krisna)

Kedua, dibutuhkan investasi awal untuk infrastruktur, seperti tempat budi daya larva dan sistem pengumpulan sampah yang terpilah.

Ketiga, regulasi dan dukungan pemerintah masih terbatas, terutama dalam hal standardisasi dan promosi magotisasi sebagai solusi pengelolaan sampah.

Beberapa langkah strategis perlu diambil untuk memaksimalkan potensi magotisasi. Pertama, edukasi masyarakat harus digencarkan untuk menghilangkan stigma dan meningkatkan kesadaran tentang manfaat magotisasi. Kampanye ini bisa melibatkan komunitas lokal, sekolah, universitas, dan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Kunjungan Plt. Camat Mandalajati Bapak Irman (kiri) ke hanggar magot - (Sumber: Krisna)
Kunjungan Plt. Camat Mandalajati Bapak Irman (kiri) ke hanggar magot – (Sumber: Krisna)

Kedua, pemerintah daerah dapat memberikan insentif, seperti pelatihan atau subsidi peralatan, kepada komunitas atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ingin mengadopsi magotisasi.

Ketiga, integrasi magotisasi ke dalam sistem pengelolaan sampah kota, seperti bank sampah atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dapat menjadi langkah konkret untuk penskalaan.

Magotisasi adalah solusi inovatif yang tidak hanya membantu mengurai masalah sampah organik, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi dan mendukung keberlanjutan lingkungan. Namun, keberhasilannya bergantung pada edukasi, dukungan infrastruktur, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Dengan langkah yang tepat, magotisasi bisa menjadi game-changer dalam pengelolaan sampah di Indonesia, mengubah ancaman lingkungan menjadi peluang yang bermanfaat bagi semua pihak.

***

Judul: Hanggar Magot Jatihandap : Memetakan Solusi Masalah Sampah melalui Magotisasi
Kontributor: Krisna Aditya
Editor: Jumari Haryadi

Open Donasi Buku
Open Donasi Buku by Ririe Aiko
Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *