Generasi Sandwich: Terjepit Tanggung Jawab, Terlupakan Diri
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik OPINI, Jumat (25/07/2025) ─ Artikel bertajuk “Generasi Sandwich: Terjepit Tanggung Jawab, Terlupakan Diri” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Banyak yang mengira anak muda zaman sekarang hidup santai. Foto-foto di Instagram menampilkan gaya hidup yang tampak menyenangkan, nongkrong di kafe, bekerja dari coworking space, liburan ke luar negeri. Senyum cerah terpajang di linimasa hampir setiap saat.
Namun, siapa sangka, di balik senyuman itu tersembunyi beban yang tidak ringan. Mereka bangun pagi dengan cemas, memikirkan cicilan yang harus dibayar, target kerja yang semakin menekan, dan ekspektasi keluarga yang terus menggunung.

Menjadi dewasa ternyata bukan hanya tentang kebebasan memilih, tapi juga tentang tanggung jawab yang sering kali lebih besar dari kemampuan pundak menanggungnya. Anak muda hari ini banyak memberi waktu, tenaga, pikiran, untuk pekerjaan, dan keluarga. Bahkan, relasi yang kadang tidak memberi balasan setimpal.
Mereka merawat yang tua, menjaga yang muda, tapi siapa yang merawat mereka? Hidup mereka tidak semudah filter media sosial. Mereka tersenyum, tetapi tak semua tahu bahwa senyuman itu adalah bentuk paling sopan dari rasa lelah yang mendalam.
Mereka terjepit di tengah harapan dan kenyataan, antara keinginan membahagiakan semua orang dan pertanyaan yang terabaikan: “Siapa yang membahagiakan aku?”
Istilah “generasi sandwich” diperkenalkan pertama kali oleh Dorothy A. Miller pada 1981. Ia menggambarkan individu yang secara finansial dan emosional berada di antara dua generasi: orang tua yang mulai renta dan anak-anak yang masih membutuhkan banyak dukungan.
Layaknya isi roti lapis, mereka terhimpit di tengah. Di satu sisi, mereka harus membiayai dirinya sendiri atau bagi yang telah berkeluarga harus bertanggungjawab terhadap pendidikan dan kehidupan anak-anaknya, di sisi lain mereka menanggung biaya kesehatan dan kebutuhan hidup orang tuanya.
Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata. Banyak orang tua yang memasuki masa tua tanpa bekal finansial yang cukup. Kurangnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan jangka panjang membuat sebagian besar dari mereka tidak memiliki tabungan pensiun, asuransi, atau sumber penghasilan pasif yang dapat diandalkan.
Akibatnya, ketika mereka tidak lagi produktif, anak-anaklah yang menjadi sandaran utama. Lebih dari itu, tak jarang orang tua yang masih dalam usia produktif pun mulai membebankan tanggung jawab finansial kepada anaknya.
Hal ini terjadi, bisa karena pengelolaan keuangan keluarga yang buruk, atau karena beban nafkah yang tak seimbang, misalnya anak banyak, penghasilan terbatas, atau bahkan akibat kegagalan ekonomi yang mereka timpakan pada anaknya demi “penyelamatan keluarga.”
Dalam budaya kita, berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur yang dijunjung tinggi. Namun, nilai ini sering dibelokkan maknanya, terutama dalam urusan finansial. Tidak sedikit orang tua yang secara halus. Bahkan, terang-terangan menuntut anak-anak mereka untuk menopang hidup mereka, dengan dalih bahwa itu adalah bentuk bakti yang wajib, padahal, bila ditelaah lebih dalam, bantuan anak kepada orang tua seharusnya bersifat sukarela, bukan paksaan emosional.
Banyak orang tua yang selama masa produktifnya tidak memiliki perencanaan finansial. Fokus mereka hanya pada kebutuhan saat ini, tanpa berpikir tentang hari tua. Sebagian lainnya menganggap bahwa anak adalah “tabungan masa depan”.
Pandangan seperti ini tumbuh kuat dalam budaya Timur, tapi konteks zaman telah berubah. Biaya hidup meningkat, pekerjaan semakin kompetitif dan tekanan sosial kian tinggi. Anak-anak yang kini menjadi tulang punggung keluarga, harus berjuang membangun masa depan mereka. Namun, pada saat yang sama mereka juga harus menambal kekurangan masa lalu yang bukan kesalahan mereka.
Ketika orang tua tidak memiliki dana pensiun, anak-anak pun harus mengambil peran sebagai penopang utama. Mereka harus membagi pendapatan untuk kebutuhan sendiri, anak-anak mereka, dan orang tua. Tak jarang, hal ini menimbulkan tekanan finansial yang serius. Bahkan, tidak sedikit yang harus mengorbankan mimpi pribadi, menunda memiliki rumah, atau menanggung utang yang menumpuk.
Namun, lebih dari sekadar soal uang, ketergantungan ini juga berdampak pada kesehatan mental. Anak-anak yang awalnya ingin berbakti, bisa berubah menjadi pribadi yang lelah, mudah tersulut emosi, dan menyimpan kejengkelan tersembunyi.
Sementara orang tua yang bergantung terus-menerus, bisa merasa tidak berdaya atau kehilangan harga diri. Hubungan pun menjadi dingin, atau bahkan rusak karena komunikasi berubah menjadi beban, bukan kasih sayang.
Membantu orang tua adalah perbuatan mulia. Namun, membantu bukan berarti mengorbankan hidup dan keluarga sendiri. Perlu ditegaskan bahwa bantuan anak kepada orang tua, terutama dalam hal finansial adalah bentuk sedekah, bukan hutang atau kewajiban mutlak.
Anak boleh memberi saat mampu, dan tidak berdosa saat belum sanggup, apalagi bila anak tersebut masih harus membiayai keluarga inti, membangun karier, dan menjaga keseimbangan mental serta fisiknya sendiri.
Orang tua yang bijak seharusnya memahami realitas ini. Mereka perlu menyadari bahwa tanggung jawab utama anak dewasa adalah menjalani kehidupannya sendiri, membangun keluarga, menata masa depan, dan menjaga kesehatan jiwa. Memberikan tekanan dengan alasan budaya atau agama, tanpa memahami kondisi anak, bisa menjadi bentuk ketidakadilan yang terselubung dalam kemuliaan.
Karena itu, penting bagi setiap individu, terutama yang masih berada di usia produktif, untuk mulai merencanakan masa tua sejak dini. Perencanaan pensiun bukan hanya soal uang, tetapi juga soal menjaga martabat dan kemandirian.
Investasi, tabungan jangka panjang, asuransi, dan literasi keuangan adalah pilar penting yang harus dibangun. Bagi orang tua yang terlambat menyadari pentingnya perencanaan, masih ada jalan untuk memperbaiki kondisi. Mungkin dengan mencari penghasilan tambahan yang ringan, mengurangi gaya hidup konsumtif, atau memanfaatkan aset yang ada untuk menciptakan kemandirian.
Masa tua seharusnya menjadi fase tenang dan bermartabat, bukan masa bergantung yang penuh beban dan rasa bersalah. Sebaliknya, generasi muda juga perlu belajar untuk menetapkan batas sehat antara kasih sayang dan pengorbanan yang merusak.
Mereka perlu menyadari bahwa mencintai diri sendiri juga merupakan bentuk tanggung jawab. Ketika seseorang mampu mencintai dirinya, ia akan lebih sehat secara mental, lebih kuat secara finansial, dan lebih tulus ketika membantu orang lain, termasuk orang tuanya.
Generasi sandwich bukanlah generasi yang lemah. Mereka adalah generasi yang sedang berjuang di tengah badai, berdiri di antara dua generasi, memberi tanpa henti, tapi sering kali tak sempat menerima. Maka jangan anggap enteng senyum mereka, karena bisa jadi itu adalah cara paling santun untuk menyembunyikan luka.
Sudah saatnya kita meluruskan makna berbakti, menumbuhkan kesadaran finansial, dan membangun budaya saling memahami. Jika anak memberi, biarlah itu tumbuh dari cinta, bukan dari tekanan atau rasa bersalah. (F.S.Y./BJN).
***
Judul: Generasi Sandwich: Terjepit Tanggung Jawab, Terlupakan Diri
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi
Catatan:
Tulisan berjudul “Generasi Sandwich: Terjepit Tanggung Jawab, Terlupakan Diri” ini bisa juga Anda baca di blog pribadi penulisnya ”Febrisatriayazid.blogspot.com” dan atas seizin penulis diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS (BJN).