Generasi Milenial Jawa Barat Ramai-Ramai Tunda Pernikahan
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Kamis (15/08/2024) ─ Artikel berjudul “Generasi Milenial Jawa Barat Ramai-Ramai Tunda Pernikahan” ini ditulis oleh Ina Agustiani, S.Pd. yang sehari-hari bekerja sebagai aktivis pendidikan dan pegiat literasi.
Makna sakral pernikahan kini seolah tergerus zaman. Banyak
pemuda-pemudi yang belum menikah merasa penuh ketakutan
ketika sang pemilik kebijakan menetapkan pernikahan yang tak sesuai
fitrah yaitu melanjutkan keturunan. Sementara zina dan
pergaulan bebas merebak di mana-mana, tapi nikah dipersulit,
ekonomi semakin sulit, dan para pemuda-pemudi menjadi tak percaya terhadap
adanya konsep rezeki. Hal membuat mereka
menjadi bingung dan bimbang dalam memutuskan pernikahan
Mengenai pernikahan, ada yang sedang tren di Jawa Barat (Jabar) yang dialami oleh para remajanya. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul “Profil Pemuda Provinsi Jawa Barat 2023” mengenai kecenderungan warga Tanah Pasundan menunda pernikahan pada usia muda.
Terdata jumlah penduduk Jabar pada 2023 mencapai 49,8 juta jiwa, kemudian meningkat pada 2024 menjadi 50,34 juta jiwa. BPS mencatat terjadi dominasi menunda pernikahan pada usia muda, pada 2023 menyatakan 70,55 persen pemuda Jabar berstatus belum menikah. Artinya terdapat 28,41 persen pemuda belum menikah dan 1,03 persen statusnya cerai.
Jumlah pemuda usia 16-30 tahun pada 2023 mencapai 23,85 persen. Jika dikalkulasikan jumlah pemuda keseluruhan maka mencapai 11,89 juta jiwa. Sebanyak itulah dalam kurun waktu sekitar delapan tahun ke belakang, pemuda yang menunda pernikahan semakin turun dari sebelumnya 42,61 persen menjadi 28,41 persen. Dari 364.484 pernikahan pada 2021, berkurang menjadi 336.912 pernikahan pada 2022. Bahkan, angka itu terus menurun di tahun 2023 lalu yakni 317.971 pernikahan.
Alasan stabilitas finansial menjadi dasar pemilihan untuk menunda menikah di kalangan pemuda. Fenomena menikah pada usia cukup seolah ditinggalkan, berganti menjadi menikah saat ekonomi stabil, menurut versi masing-masing pasti berbeda. Seolah usia semakin maju tidak membuat mereka khawatir akan pernikahan, nyatanya beban hidup semakin berat dirasakan setiap individu.
Realita di Lapangan
Memang patut dicurigai mengapa bisa terjadi angka penurunan pernikahan, terlebih kita yang mayoritas muslim menjunjung tinggi nilai sebuah pernikahan. Hal itu merupakan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad saw, apalagi konsep banyak anak banyak rezeki.
Senada dengan pernyataan Kepala Tim Peningkatan Kualitas Kepenghuluan dan Fasilitasi Keluarga Sakinah, Kementerian Agama (kemenag) Provinsi Jawa Barat, Toto Supriyanto yang mengatakan bahwa kemungkinan penyebabnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur batas minimal usia calon mempelai pria dan wanita. Pada awalnya calon pengantin bisa berusia 16 tahun. Namun, setelah UU rampung akhirnya berubah menjadi 19 tahun batas usia pernikahan untuk mempelai wanita.
Perubahan ini memungkinkan para pengantin di bawah usia 19 tahun tidak mendaftarkan pernikahannya di negara atau nikah siri. Otomatis pernikahan ini tidak tercatat dan tanpa sepengetahuan Kantor Urusan Agama (KUA). Nanti setelah memenuhi syarat umur, baru dicatatkan.
Ada juga yang menyatakan bahwa tren menunda nikah itu adalah keberhasilan kampanye pencegahan perkawinan anak sejak lima tahun terakhir, yaitu pola pikir yang menyatakan bahwa menikah itu harus mapan dan siap dari sisi ekonomi. Berkarir dulu, baru menikah. Bisa jadi karena beberapa faktor lainnya.
Memang jika melihat, negara kita masih ada di posisi bonus demografi yang bagus. Hanya kekhawatiran Kemenag jika benar angka pernikahan turun setiap tahun, turun juga angka kelahiran, kita akan seperti Jepang yang mengalami resesi seks.
Tiba-tiba pemuda-pemudi tidak mau menikah karena mencermati perubahan perilaku masyarakat milenial dan Gen Z saat ini, suara-suara sumbang tidak ingin menikah dan memiliki anak tidak akan terasa hari ini. Namun, jika itu terus dipupuk lama-lama 10 atau 20 tahun ke depan dampak ini akan terasa.
Tidak bisa dipungkiri, kontradiksi antara usia menikah yang dibatasi dengan pergaulan bebas hari ini sangat kentara. Menikah dipersulit, sementara akses menuju pergaulan bebas dibuka selebar-lebarnya. Para pemuda-pemudi generasi Gen Z merasa kebingungan, nikah usia muda mengundang reaksi negatif menghindari zina dengan alasan belum siap mental dan ekonomi, tetapi perilaku pacaran dibolehkan.
Jika sudah hamil sebelum akad nikah, barulah disitu timbul masalah yang akhirnya menikah juga. Tentu saja tanpa kesiapan mental dan menghancurkan nasab, serta merupakan perbuatan dosa besar. Jadi edukasi tidak ada, muda-mudi tersesat tanpa pemahaman agama.
Cara Islam Mengatasinya
Investasi dalam sebuah negara adalah keluarga. Oleh karena itu negara perlu mempersiapkan penduduknya supaya produktif dan berdaya sehingga mendapatkan orang-orang yang berkualitas berasal dari pembentukan institusi keluarga yang punya visi misi yang jelas.
Setiap rumah yang didalamnya ada anggota keluarga paham benar akan institusi kecil ini berawal dari edukasi dari negara. Setiap keluarga sangat memahami dari didikan ilmu agama dan duniawi akan terbentuk generasi-generasi tangguh yang akan jadi penerus peradaban.
Jika melihat beberapa tokoh Islam yang terkenal seperti Muhammad Al-Fatih, Imam Syafii, Al Khawarizmi, dan Salahudin Al-Ayyubi, adanya mereka berawal dari keluarga yang luar biasa. Didikan orang tua yang paham betul perannya di dunia sebagai generasi muslim harus bisa menjadi pembaharu dan jadi pribadi yang bermanfaat untuk agamanya. Apa yang mereka lakukan adalah ekspresi dari keimanan kepada Allah Swt. yang siap berkontribusi besar.
Untuk menciptakan generasi luar biasa itu, negara harus menjaga atmosfer positif bagi lahirya generasi tangguh. Dengan visi pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam yang menguasai ilmu agama dan duniawi sampai tercipta polymath (paham berbagai ilmu) menjadi tren yang jarang ditemukan di zaman ini.
Negara juga wajib menjaga atmosfer bersih bebas virus negatif dalam masyarakat yang sesuai syariat, serta mengedukasi muda-mudi terkait pernikahan, ilmu berumah tangga, dan ilmu bertahan hidup dengan khas sistem pendidikan Islam.
Negara juga harus membuka lapangan kerja bagi kaum laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa rasa takut terhadap kesulitan hidup tidak tercukupi, seperti kekhawatiran untuk menikah yang terjadi sekarang.
Saat ini kita mengharapkan pertumbuhan penduduk, tetapi dinodai paham liberalisme dan prinsip kebebasan dengan mengotori cara pandang generasi mudanya. Sementara dalam Islam negara serius dan fokus mempersiapkan masa depan dari penduduk yang tangguh dan punya kontribusi besar dalam keberlangsungan peradaban dengan berbagai macam sumber daya alam dan manusia yang ada di dalamnya. Wallahu A’lam Bishawwab. (Ina Agustiani).
***
Judul: Generasi Milenial Jawa Barat Ramai-Ramai Tunda Pernikahan
Penulis: Ina Agustiani, S.Pd.
Editor: JHK
Sekilas Penulis
Ina Agustiani, S.Pd. adalah seorang penulis wanita yang aktif sebagai pendidik dan pegiat literasi di Jawa Barat. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa online, di antaranya tulisan berjudul “Putus Sekolah Putus Harapan: Jabar Tertinggi” yang dimuat di media online inijabar.com pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Tulisan Ina Agustiani, S.Pd. lainnya berjudul “Derita Keluarga dan Pendidikan di Masa Pandemi” yang terbit di media online radarindonesianews.com pada 29 Desember 2020. Tulisan ini dibuat saat wabah Pandemi Covid-19 sedang melanda Indonesia. Kemudian tulisan berjudul “Merdeka Belajar, Tapi Tak Merdeka Kritik” yang terbit pada 10 November 2020 di media yang sama.
Kemudian tulisan tentang pendidikan berjudul “Saat Kisruh Zonasi Masih Mendominasi” terbit di Suara Muslimah Jabar pada 29 Juli 2023 dan tulisan berjudul “Sawang Sinawang Turunnya Kemiskinan di Jawa Barat” yang terbit di media online terasjabr.co pada 2 Agustus 2023.