Berita Jabar NewsCerpenSastra

Cerpen “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 4”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 4”merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”. Cerpen sebelumnya bisa Anda lihat di sini: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 1”, Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 2”, dan “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 3”.

Bentuk Kemarahan Papa

Menjelang Magrib kami tiba di kediaman Icha.

“Dari mane lo pada, Enyak sama Babe nyari-nyari dari tadi,” sambut Babe yang bertemu kami di teras rumah, saat beliau hendak pergi ke masjid.

“Babe, ada yang ingin Icha bicarakan,” ucap Icha.

Icha mengajak babe masuk kembali kedalam rumah ia pun memenggil enyak yang sedang bersiap menunaikan salat Magrib.

“Nyak, Beh… Heln sudah mengucapkan dua kalimah syahadat,” ucap Icha pelan.

Kedua orang tua Icha terpenjat, serempak mereka mengalihkan pandangan ke arahku. Aku mengangguk membenarkan ucapan Icha seraya memberikan selembar sertifikat yang tadi diberikan oleh Ustaz Sulaiman.

Enyak berdiri memelukku. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya air mata yang mengalir di pipinya, lalu berusaha menghapusnya sendiri.

ANak dan ibu berpelukan
Ilustrasi: Enyak berdiri memelukku. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya air mata yang mengalir di pipinya – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

“Heln, banyak pelajaran yang harus elu pelajari untuk memantapkan keimanan, itu kaga gampang. Agama adalah prinsip yang harus elu pegang ampe mati,” ujar babe.

“Doakan Heln, Be… semoga diberi kemudahan dengan semuanya,” ucapanku dan diaminkan oleh Icha, enyak dan babe.

Aku mulai belajar salat dan doa-doa yang perlu digunakan dalam proses ibadah. Dengan sabar Icha mengajari dan membimbingku hingga tiba saatnya aku bersiap pulang ke rumah, meski liburanku masih tersisa lima hari lagi.

“Nyak, Babe terima kasih untuk semuanya. Heln bersyukur dipertemukan dengan keluarga sebaik kalian,” ucapku ketika pamit.

“Iya Neng, jangan lupain Nyak sama Babe ya. Datang lagi ke sini kalau nanti ada waktu,” ucap enyak seraya memelukku.

Icha mengantarku ke bandara. Pelukan erat dan tangis haru mewarnai perpisahan antara aku dan Icha yang saat ini sudah menjadi saudari seimanku. Liburanku kali ini benar-benar bermakna.

***

Aku mulai gelisah sepanjang perjalanan. Rasa bingung mulai menghantuiku. Apa yang akan terjadi di rumah nanti. Apa yang harus aku lakukan, jika mama dan papa tahu tentang apa yang sudah aku lakukan, mereka pasti akan marah.

Papa dan mama menjemputku di bandara Pontianak. Perjalanan kami menuju Singkawang cukup memakan waktu. Aku lebih banyak diam, hanya menjawab setiap pertanyaan dari kedua orang tuaku seputar liburan di rumah Icha.

Setiba di rumah, aku pamit untuk istirahat ke kamar.

“Mama ada acara di rumah kawan Papa, kamu tidak apa sendiri di rumah?” Tanya mama sebelum aku beranjak.

“Iya, Mah. Tidak apa, Mama sama Papa pergilah,” ucapku.

“Untuk makanan semua sudah Mama hidangkan di Meja. Makanlah, tidak perlu menunggu Mama dan Papa pulang,” lanjut mama.

Aku hanya mengangguk, lalu berjalan menuju kamarku.

Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Pikiranku jauh melayang, seakan menembus batas dimensi waktu yang panjang. Kuraih foto di atas nakas sisi tempat tidurku.

Mah,  Pah… aku menyayangi kalian, tapi aku memiliki keyakinana yang berbeda. Apakah kelak kita akan berpisah karena ini? Ucapku lirih dalam hati dan tidak terasa air mataku mengalir membasahi bantal yang menjadi penyangga kepalaku.

Jauh kudengar suara azan berkumandang, biasanya aku tidak pernah menghiraukan suara panggilan itu. Namun, kali ini perasaanku berbeda, mendengar seruan itu hatiku bergetar. Aku merasakan jika panggilan itu ditujukan untukku.

Aku beringsut dari tempat tidur. Langkahku menuju ke kamar mandi membasuh bagian-bagian tubuhku untuk dalam berwudu. Setelah itu, aku mengeluarkan sajadah dan mukena pemberian orang tua Icha. Kupasang kompas untuk menunjukan arah kiblat karena aku tidak tahu ke arah mana kiblat dalam kamarku.

Aku belum terlalu hafal dengan bacaan-bacaan salat. Aku memasang handset di telinga sambil melakukan gerakan salat. Empat rakaat salat Zuhur sudah aku lakukan di dalam kamarku. Dengan linangan air mata aku berdoa semampuku, mengeluarkan keluh kesah dan keresahan hati sejak aku tiba di rumah.

Ada perasaan lega dan ringan dalam hatiku setelah aku melakukan semua itu, perasaan yang sulit aku gambarkan. Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Gerakan-gerakan sederhana dalam salat seolah menjadi rileksasi di bagian-bagian tubuhku, terutama pikiran, meski belum sepenuhnya aku pahami. Namun, bagaikan meditasi yang menenteramkan.

Tiba-tiba perutku mulai terasa lapar. Aku pun beranjak ke meja makan dimana mama sudah mempersiapkan semuanya.

Kuperhatikan hidangan di meja makan, ayam goreng, balado kentang, kerupuk udang dan gulai kikil. Aku hanya memakan ayam goreng dan balado kentang. Gulai tidak aku sentuh karena aku tidak tahu kikil apa yang mama masak. Makanan halal dan haram mulai menyita perhatianku, selain untuk kesehatan, keyakinanku saat ini melarang memakan makanan yang belum jelas kehalalannya.

***

Sudah hampir dua bulan aku menjalankan keyakinan sebagai seorang muslim. Ibadah kulakukan secara diam-diam. Icha intens menghubungiku untuk memberikan masukan-masukan seputar ilmu agama.

Secara diam-diam pula aku mencari guru agama, itu pun atas saran Icha. Setiap pulang sekolah, aku mendatangi guru agamaku.Keseharian di rumah aku lebih banyak berada di dalam kamar.

Hingga satu hari mama masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Aku terkejut dengan kedatangan mama. Kusembunyikan Alquran kecil yang sedang kubaca.

“Apa yang kamu sembunyikan, Ci?” Tanya mama.

“Bukan apa-apa, Mah,” jawabku gugup.

Mama membalikan tubuhku dengan paksa hingga Alquran yang kusembunyikan di balik badan terlepas dari genggamanku dan terjatuh di tempat tidur.

“Apa ini?” Ucap mama seraya meraih Alquran tersebut.

Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.

“Heln jawab! Apa ini?” Lanjut mama dengan nada bicaranya yang mulai meninggi.

“Maaf, Mah,” jawabku pelan.

Air mataku mulai menetes. Aku tertunduk dalam diam hingga Mama pergi meninggalkan kamar dengan membawa Alquranku dan menutup pintu dengan bantingan cukup keras.

Aku tahu hal ini pasti akan terjadi. Aku harus hadapi semuanya karena ini adalah konsekwensi yang harus aku terima. Hanya saja kedatangan mama yang tiba-tiba membuatku terkejut dan takut kemarahannya.

Sepanjang hari hingga menjelang malam tidak ada keberanianku untuk mencoba keluar kamar.

Azan Magrib berkumandang. Segera aku berwudu dan menggelar sejadah di sisi tempat tidur. Saat ini aku sudah cukup lancar dengan doa-doa dalam salat, tidak lagi menggunakan handset dan aku bisa melakukannya dengan lebih khusuk.

Seusai salat aku berdoa memohon pertolongan Allah dalam kondisiku saat ini.

“Ya Allah, aku tau aku bukanlah anak yang berbakti, tapi aku sangat mencintai kedua orang tuaku. Apakah Engkau akan memisahkan aku dengan mereka karena keyakinan ini? sanggupkah aku hidup tanpa mereka?”

Aku berdoa dengan sangat khusyuk, cucuran air mata membasahi pipi dan mukena yang aku kenakan. Aku bersujud dengan tangis yang dalam. Tubuhku berguncang. Rasanya aku tidak ingin bangun dari sujudku.

Aku merasa Allah begitu dekat denganku. Memelukku dalam ketidak berdayaan, mendapatkan apa yang selama ini aku rindukan. Aku tidak rela jika harus meninggalkan semua yang sudah hidup dalam hatiku.

“Heln?”

Suara bariton papa terdengar begitu mengerikan di telingaku membuat aku terbangun dari sujud. Dengan mata sembab aku memandang ke arah papa yang sudah duduk di sisi sejadah.  Alquran yang tadi dibawa oleh mama kini sudah berada dalam genggaman papa. Aku tertunduk sembari tanganku meremas bagian mukena yang masih aku kenakan.

“Bisa jelaskan ke papa tentang semua ini?”

“Maafkan aku Pah,” suaraku tercekat, tenggorokanku terasa sakit.

Papa menatapku tajam membuat aku sangat takut sekali. Kalimat “Allahuakbar” terus aku ucapkan dalam hati. Siapa yang bisa membantuku dalam situasi seperti ini, hanya Allah yang Maha Besar, maha membola-balikan hati manusia.

“Jka Papa ingin marah terhadapku, silahkan Pah, aku bukan anak yang berbakti,” lanjutku dengan suara gemetar.

Papa bergerak lebih mendekat kepadaku dan meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku melihat air mata yang mengalir di wajahnya. Tangisku pecah seraya memeluk papa dengan erat.

“Papa marah Nak. Bahkan, sangat marah. Papa mengetahui ini sudah sejak lama,” ujar papa.

Aku mengurai pelukan papa, lalu menatapnya.

“Kenapa Papa tidak lantas menegurku?”

Helaan napas berat keluar dari mulutnya, lalu bercerita jika ia melihat lembar kertas tanda keislamanku yang tanpa sengaja terjatuh di lantai. Saat papa ingin mengambil sesuatu di kamarku.

Papa tidak lantas menegurku, tapi ia menunggu aku untuk bercerita secara jujur. Rasa takut meghantui pikiranku, takut akan kemarahan orang tua atas semua yang aku lakukan.

“Nak, agama adalah hal yang sangat prinsip, jika kita menjalaninya dengan sungguh-sungguh, mengimani dengan sepenuh hati maka kita akan mendapatkan kedamaian di dalamnya. Papa yakin semua agama itu baik,” papar papa seraya menggengam tanganku.

“Tidak Pah! Tidak semua agama itu baik, hanya saja setiap agama mengajarkan kepada kebaikan,” ucapku dengan nada lantang.

Terus terang baru kali ini aku bicara di hadapan papa seperti itu. Entah energi apa yang merasukiku sehingga aku mampu mengucapkannya.

Papa tersenyum mendengar paparanku, lalu memberikan Alquran ke tanganku. Ia berdiri, mengusap pucuk kepalaku sebelum berlalu dan menghilang di balik pintu kamarku.

Aku tidak mengerti jalan pikiran papa. Apa yang ada di kepalanya? Kenapa ia tidak marah? Aku termenung memikirkan sikap papa. Rasa takutku bukannya menghilang malah semakin besar. Inikah bentuk kemarahan papa? Apa yang harus aku lakukan jika papa dan mama mengusirku dari rumah ini?

Apakah mama dan papa akan menyalahkan Icha dalam hal ini? Tidak, aku tidak ingin melibatkan siapa pun atas keputusanku.

“Libatkan Allah dalam setiap perkara,”  kata-kata ini terngiang dengan jelas di telingaku, kalimat dari seorang ulama yang pernah kudengar di channel Youtube. (BERSAMBUNG).(Violet Senja).

***

Judul: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 4”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK

Sekilas tentang pengarang

Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkapNeneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga,  ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *