Cerpen “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 2”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra – Cerpen berjudul “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 2” merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”. Cerpen sebelumnya bisa Anda lihat di sini: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 1”.
Getar Cinta Hidayah-Nya
Aku tiba di Jakarta, setelah Papa mengantarku via bandara Pontianak, kurang lebih 1 jam 30 menit jalur udara, aku tiba di bandara Jakarta.
Sudah 30 menit aku tiba. Namun, aku belum menemukan keberadaan Anisa. Aku coba menunggu dengan perasaan resah. Aku cari ponsel di tas berniat untuk menghubunginya. Akh, sial ternyata ponselku lowbatt.
Aku meneguk air mineral yang sejak tadi ada dalam genggamanku. Tenggorokanku terasa kering. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara seorang wanita bertanya kepada security.
“Permisi Pak, apakah pesawat dari Pontianak sudah mendarat?” Ujar wanita itu, suaranya sangat jelas sekali.
“Sudah sekitar 40 menit yang lalu, Mbak,” jawab security tersebut.
Aku menoleh ke asal suara itu dan melihat gadis dengan busana muslim dan penutup kepala yang lebar hingga menutupi sebagian belakang tubuhnya. Aku memperhatikan wajahnya. Apakah itu Icha? Tanyaku dalam hati.
Dengan ragu aku mendekati gadis itu. Pas kebetulan ia sedang membuka kunci layar ponselnya berusaha menghubungi nomor yang tertera di aplikasi Whatsapp (WA). Sekilas melalui ekor mataku terlihat namaku tertera di layar ponsel yang digenggamnya.
“Icha ya?” Tanyaku ragu.
Wanita itu sontak menoleh ke arahku.
“Heln?” Balas wanita itu dengan senyuman dan wajah berbinar.
Aku mengangguk dan wanita bernama Anisa yang biasa aku sebut “Icha” pun langsung memelukku.
“Maaf ya, tadi aku terjebak macet,” ujarnya penuh penyesalan.
Aku pun mejelaskan jika ponselku lowbatt. Anisa langsung mengambil alih koper yang sejak tadi kutarik. Ia mengajakku keluar dari bandara. Tangan kanannya tak lepas menggandeng tanganku hingga kami berada di dalam taksi.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Anisa tak berhenti bertanya tentang perjalananku. Ia pun bercerita jika ia tidak pernah naik pesawat. Kami tertawa bersama.
Anisa gadis yang sangat ramah. Rasanya kami seperti sudah mengenal satu sama lain dan tidak ada kecanggungan sama sekali.
Kami tiba di rumah sederhana milik orang tua Anisa yang letaknya di timur Kota Jakarta. Kedua orang tua Icha menyambut kedatangan kami dengan ramah. Aku tersenyum mendengar ucapan-ucapan logat Betawi kental yang keluar dari mulut ayah Icha.
“Maaf, ya Neng. Di sini mah apa adanya,” sapa ayahnya Icha.
“Iya, Om. Terima kasih sudah menerima Heln dengan baik di sini,” ucapku.
“Panggil Babe aja, Neng, jangan Om,” ujar ayah Icha.
“Iya, Neng, panggil babeh sama Enyak aja,” timpal ibu Icha tak kalah ramah.
“Sekarang istirahat dulu gih, entar kalau udeh istirahat, baru makan. Enyak udah siapin masakan buat elu pade,” lanjut ibu Icha.
“Ya udah Nyak, Icha ajak Heln ke kamar dulu,” ucap Icha seraya menarik tangan dan koperku ke kamarnya.
Aku duduk di sudut tempat tidur memperhatikan isi kamar Icha yang sangat sederhana. Kamar yang tidak terlalu luas, hanya berisikan satu lemari, serta meja kecil dan tempat tidur ukuran sedang. Namun, semuanya tampak terlihat sangat rapih.
Icha melepas tutup kepalanya. Rabut hitam dan panjang tergerai indah. Ia terlihat sangat cantik tanpa penutup kepala. Bentuk wajahnya begitu sempurna dengan lesung pipit di kedua pipinya. Mata indahnya dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik. Hidung bangir seperti keturunan Timur Tengah. Kontras sekali dengan face-ku yang oriental.
“Tanpa penutup kepala kamu terlihat sangat cantik,” ucapku sepontan.
Icha hanya tersenyum melihat ke arahku, lalu duduk di sampingku.
“Di dalam agamaku, menutup kepala itu wajib karena ini adalah aurat wanita,” ucap Icha seraya memegang rambut indahnya.
Aku menangguk berusaha mengerti ucapannya.
Dua hari sudah aku berada di rumah sahabat mayaku. Keluarga Icha termasuk orang yang taat dalam beribadah. Setiap waktu mereka beribadah, aku hanya termenung sendiri, main ponsel atau baca buku. Hingga pada suatu malam aku terbangun ingin mengambil minum karena tenggorokanku terasa kering. Kudapati Icha sedang khusyuk beribadah. Jam dinding menunjukan pukul 03.00 WIB dini hari.
Apa yang Icha lakukan? Gumamku sambil terus memperhatikan hingga selesai. Aku pikir Icha akan menyudahi ibadahnya, tapi ternyata ia melanjutkan membaca buku tebal yang berada dalam pangkuannya.
Icha terkejut melihatku duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikannya.
“Heln, apa aku menganggu tidurmu?” sapa Icha.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat.
“Tidak… tidak… aku terbangun ingin mengambil minum,” jawabku, sembari turun dari tempat tidur dan menghampirinya.
“Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam seperti ini, Cha?” Tanyaku.
“Aku sedang sholat Tahajud,” jawab Icha datar.
“Sepanjang siang kamu sudah melakukan sholat,” balasku.
“Yang aku lakukan dari Subuh sampai Isya itu sholat wajib dan yang aku lakukan saat ini adalah sholat sunnah Tahajud. Waktunya di sepertiga malam,” papar Icha sambil tersenyum dan membetulkan posisi duduknya.
“Apa yang kamu baca tadi,” tanyaku kembali.
“Ini, Alquran, kitab suci orang muslim,” jelas Icha
“Boleh aku melihatnya?” Tanyaku sepontan.
Icha kemudian memberikan buku tebal yang sejak tadi berada di pelukannya. Aku meraih buku tersebut dari tangan Icha. Ada getaran aneh yang mengalir dalam tubuhku saat aku memegang buku tebal yang indah dan begitu karismatik penampilannya itu.
Cover–nya bagus, gumamku seraya membolak balikan buku tersebut di tanganku. Aku ingin membukanya, tapi ada rasa takut dalam hatiku.
“Bercerita tentang apa isinya?” Tanyaku penasaran.
“Buka saja,” ucap Icha singkat.
“Boleh aku membacanya?” Tanyaku lagi.
Icha mengangguk dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
Dengan tangan gemetar aku membuka lembar demi lembar. Aku membaca sekilas kalimat-kalimat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Isinya membahas tentang kematian, pahala, dan dosa.
“Cha? Apakah yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran?” Tanyaku dengan nada suara yang aku rasa sedikt berubah.
“Tidak ada keraguan di dalamnya. Dari Alquran di turunkan kepada utusan-Nya hingga saat ini, tidak ada tangan manusia yang mampu untuk merubahnya,” ucap Icha dengan penuh keyakinan.
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Keringat keluar dari setiap pori tubuhku hingga keningku terasa basah, padahal cuaca Ssubuh ini terlalu dingin.
Aku meletakkan kembali Alquran itu di pangkuan sahabatku, Icha yang menatapku dengan tatapan aneh.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Icha seraya menyentuh tanganku yang basah karena keringat.
Lantas kutarik dengan cepat untuk menghindari sentuhan Icha. Aku tidak mau ia tahu apa yang terjadi padaku saat ini.
“Aku tidak apa-apa, hanya ingin minum. Tenggorokanku kering sekali rasanya,” ujarku sambil berdiri lalu meninggalkan Icha.
Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi, membasuh tangan, kaki, dan juga wajah, sebelum aku benar-benar mengambil air minum.
Sekembalinya aku ke kamar, kudapati Icha sedang melaksanakan ibadah salat Subuh dengan khusuk. Kubaringkan tubuh di atas ranjang sembari kulirik Alquran yang kini tergeletak di atas meja.
Tuhan, apa yang aku rasakan? Bisikku dalam hati sambil menutup tubuhku dengan selimut tebal. (BERSAMBUNG). (Violet Senja).
***
Judul: “Perjalanan Menggapai Rida sang Illahi – Part 2”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.
Klik link ini untuk mendapatkan Harga lebih terjangkau dan tanpa iuran bulanan. Jika mengalami kesulitan pembayaran karena menggunakan kartu kredit dan PayPal, kirim saja pertanyaannya via kolom komentar.