Berita Jabar NewsCerpenSastra

Cerpen “Perempuan di Ujung Belati”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Perempuan di Ujung Belati” merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena Violet Senja”.

Melati, perempuan usia 26 tahun. Dua tahun sudah ia memerankan kodratnya sebagai seorang istri yang taat dan patuh dengan semua perintah, dan peraturan yang diberikan sang suami, meski kekerasan lahir maupun batin kerap kali diterimanya.Pernikahan tanpa cinta. Jodoh yang dipilih kedua orang tuanya.

“Cinta itu akan datang seiring kebersamaan. Lagi pula cinta bukan syarat sah dalam pernikahan,” ucap Bapak kala itu.

Malam semakin sunyi. Suara rintihan gerimis yang jatuh menimpa dedauanan masih terdengar syahdu di balik jendela kamar. Melati beringsut dari tempat tidurnya. Sesaat ia berdiri menatap sang suami yang masih tidur terlelap. Napas sang suami terdengar halus berhembus dari hidungnya yang mancung.

Perempuan cantik itu menuju toilet dan duduk menatap cermin. Ia mencoba meraba pipinya yang masih nampak lebam. Sinyal keras ketika ia melanggar aturan yang diberikan sang suami. Tentu bukan tanpa alasan kalau hari itu ia merasa sangat lelah.

Melati menatap cermin. Ada noda amarah yang tersimpan dalam batinnya. Hal itu sulit disembunyikan dari wajahnya yang terlihat kuyu. Tiba-tiba ia terisak tanpa air mata. Harapan bisa membina masa depan dengan gemilang dengan sang suami kini pupus sudah.

Perempuan desa itu  terus menatap tubuhnya yang kurus. Matanya terihat sayu. Ia merasa sudah tidak cantik lagi dan terlihat lebih tua dalam pantulan cermin di hadapannya. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang melengking dan berujung tangisan dari mulutnya yang ranum. Suara itu terdengar begitu kuat, menggema di seantero ruang kamar yang sepi, hingga membangunkan sang suami yang sedari tadi tertidur pulas.

Gadis cantik sedang berkaca
Ilustrasi: Melati menatap wajahnya dikaca dengan kesal dan merasa dirinya sudah tidak secantik dulu – (Sumber: Biang Image Creator AI/Dall-E)

“Mel, ada apa?” tanya Iqbal spontan dengan nada penuh keheranan melihat tingkah laku sang istri yang tak seperti biasanya.

Melati tidak lantas menjawab. Perempuan itu malah menatap tajam sang suami dengan wajah penuh amarah. Wajahnya sudah berbeda dari sebelumnya yang telihat lembut dan keibuan, kini berubah jadi menakutkan.

“Jangan pernah melawan suami, apalagi keluar kalimat cerai! Menjadi janda adalah aib bagi keluarga. Apa kurangnya Iqbal? Dia tampan, mapan, dan baik,” terngiang ucapan Ibu saat Melati mengutarakan niatnya ingin bercerai dengan Iqbal.

Pernah ada harapan dalam hati Melati, mungkin seiring dengan perjalanan waktu, cintanya akan tumbuh. Keyakinan itu begitu besar, sebesar harapan sang Bapak yang terus berusaha meyakinkan putri kesayangannya itu ketika dulu menolak perjodohannya. Namun, sikap Iqbal justru menumbuhkan benih-benih kebencian yang semakin hari semakin besar.

Bagi Iqbal, ranah seorang suami hanya mencari dan memberi nafkah. Selebihnya semua urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab  perempuan. Melati  harus siap menjadi istri dan pembantu di rumah. Bahkan,  ia harus siap juga menjadi pelacur untuk suaminya.

Semua peran ganda itu sudah coba dilakoni Melati dengan baik. Lalu apa yang diterimanya? Jangankan ucapan terima kasih, sekadar menghargai pun tidak pernah dirasakannya.

“Ha-ha-ha, Iqbal! Aku sudah benar-benar muak dan lelah dengan semua ini!” Melati berteriak keras sembari air matanya tumpah tak terbendung lagi.

Iqbal kaget bukan kepalang. Ia terpaku di tempat duduknya, di pinggir kasur sambil memperhatikan polah sang istri yang tiba-tiba histeris di tengah malam buta itu.

Dengan cepat Melati meraih sebuah belati yang selama ini dipajang sang suami di dinding kamar mereka sebagai hiasan dinding. Belati itu diarahkan ke tubuh Iqbal yang masih terpana.

Dengan gerakan reflek Iqbal berdiri dari tempat duduknya dan berusaha hendak merebut belati dari tangan sang istri. Namun, pergerakan sang istri ternyata jauh lebih cepat dan gesit.  Dengan napas yang memburu, perempuan yang sedang kerasukan setan itu langsung berhasil menghindari tangan Iqbal.

Melati kembali tertawa dan menangis secara bersamaan, tak ubahnya orang gila. Derita batin yang selama ini disimpan dalam lubuk hatinya, kini ia tumpahkan sekaligus sehingga ia tidak mampu lagi menjaga kewarasannya.

“Jika pernikahan ini tidak bisa diakhiri dengan perceraian, kita akhiri saja semua ini dengan kematian,” ucap Melati pedas dengan nada dingin, sedingin hatinya yang telah lama membeku.

Tidak ada kilat tajam dari belati yang digenggam Melati. Namun, runcing ujung belati itu terlihat dari sorot temaram lampu kamar mereka.

Iqbal terdiam. Ia berdiri mematung dan bingung tak tahu apa yang mesti dilakukannya. Saat ini Melati yang memegang kendali situasi, bukan lagi Iqbal yang selama ini terbiasa bersuara keras dan lantang saat memanggil sang istri jika ada sedikit saja aturan yang dilanggarnya.

Saat ini Melatilah yang akan membawa akhir dari kisah hidupnya, bukan sang Bapak yang selama ini selalu bersikap keras atau Iqkbal, sang suami yang selalu memperlakukannya seperti budak belian.

Melati bukanlah Ibu yang selalu manut kepada suaminya meski sering kali tersakiti. Semua rasa sakit yang ia terima akan diakhiri dan dituntaskannya dengan sempurna. Seorang perempuan yang sudah benar-benar lelah dengan keadaan.

“Cukup Mel, semua bisa kita bicarakan!” Seru Iqbal dari tempatnya berdiri.

Iqbal sadar jika sedikit saja ia melakukan pergerakan maka Melati akan melakukan pergerakan yang lebih ekstrim lagi.

“Kamu sudah terlalu banyak bicara, Iqbal! Sekarang kamu hanya berhak untuk memilih. Kematianku? atau kematianmu? Ataaau … Kematian kita berdua?” Sahut Melati dengan sorot mata tajam memendam amarah, “Setidaknya aku tidak akan lagi terbebani dengan semua aturan dan peraturanmu yang membuatku merasa seperti SAMPAH dirumahku sendiri!” lanjutnya seraya mengangkat belati yang berujung runcing.

Laki-laki di hadapan Melati hanya terdiam dan terpana. Pikiran Iqbal sontak buntu menghadapi amarah sang istri yang selama ini terpendam bagai segunduk gunung es yang siap menenggelamkan kapal yang membenturnya.

Melati menyambar sebuah buku catatan di atas nakas dekat tempatnya berdiri. Ia melemparkan buku tersebut ke atas lantai dengan hentakan yang sangat keras seakan menumpahkan semua kekesalannya.

“Dengan berakhirnya uang yang kamu berikan maka berakhir juga pernikahan ini,” ucap Melati.

Buku yang dibanting Melati adalah buku yang disediakan Iqbal untuk mencatat semua uang yang digunakannya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari mereka.

Sekejab Perempuan yang sudah dirasuki amarah itu mengangkat belati yang dipegangnya tinggi-tinggi, lalu dengan sekuat tenaga menghujamkan ujung belati itu tepat di jantungnya. Tubuh Melati pun bersimbah darah bercampur air matanya yang sedari tadi mengucur tak terbendung. Mata sayunya perlahan mulai terpejam, menutup untuk selama-lamanya.

Tidak ada kata terakhir yang terucap. Rasa sakit ujung belati itu Melati rasakan dengan senyum tipis di sudut bibirnya yang mulai memucat. Ia menyambut kebebasannya, terbang melayang seringan kapas menuju padang savana yang menenangkan. (Violet Senja).

 

***

Judul: “Perempuan di Ujung Belati”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK

Sekilas tentang pengarang

Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika ini juga merupakan seorang ibu ruah tangga,  ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *