Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Mi’un: Perang Batin Belum Selesai”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Sastra, Minggu (14/09/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Mi’un: Perang Batin Belum Selesai ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Dua laki-laki itu tampak bicara serius di pintu gerbang masuk sebuah komplek perumahan elite. Seorang Satpam dengan seorang Pemulung. Tangan Satpam bergerak naik-turun dan menunjuk ke kanan-kiri, memberi arahan. Si Pemulung lebih banyak mengangguk-angguk dan sesekali menjawab, “Ya.”

Lalu terlihat si Pemulung melepas masker yang menutup sebagian wajahnya. Penutup kepalanya juga dilepas.

Entah ngomong apa saja, sampai pada akhirnya terdengar Satpam berpesan, “Satu lagi harus kamu ingat, jangan sentuh pagar dan pintu gerbang rumah, kalau itu kamu langgar, bisa celaka, ngerti?”

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

“Siap Pak,” kata Mi’un si Pemulung.

“Eh, satu lagi, semua area di sini diawasi CCTV, jadi tidak usah berbuat aneh-aneh, kencing sembarangan juga akan ketahuan,” tambah Satpam.

“He …he…, okey Pak,” jawab Mi’un lagi.

Dua alis mata Miun terangkat. Dalam hati ia berkata, hebat sekali, kayak komplek tentara saja.

Mi’un lalu masuk komplek menelusuri pinggir jalan dengan karung di pundaknya dan pengait di tangan kanannya. Sambil melangkah, sepasang matanya mulai menyapu tanah. Ketika melihat gelas dan botol plastik bekas air minum, seketika itu juga “disikat” dan dengan sigap dimasukkan ke karung.

Matanya sudah terlatih menyapu setiap jengkal jalan.Semua sudut dan tikungan dia amati dengan seksama, jangan sampai satu keping sampah berharga terlewatkan.

Mi’un paham, kesempatan untuk bisa masuk ke komplek itu tidak mudah. Dia harus lebih dulu berhadapan dengan Satpam, meninggalkan KTP, dan bersedia mentaati semua aturan. Sekali melanggar, tidak akan pernah diizinkan masuk lagi.

Mi’un suka masuk ke komplek perumahan ini karena sering memulung barang-barang buangan yang masih bagus. Barang buangan itu sebelum pulang dia jual ke penampung barang rongsokan. Kalau barang masih bagus, dia pakai sendiri.

Suatu hari Mi’un pulang membawa boneka. Anaknya senang sekali.

“Wah, bagus sekali. Makasih yaa Bah,” ujar sang anak.

Sejak mendapat hadiah boneka, anak balita Mi’un seharian main bersama boneka itu.

Di lain hari Mi’un membawa sepatu wanita yang masih bagus. Dia berikan sepatu itu ke istrinya, Ayie. Ternyata Ayie tidak begitu saja menerima pemberian itu.

“Bagus juga tuh sepatu, dapat di mana Kang?” Tanya istrinya.

“Halaah, dari mana lagi? Emang nyuri di Masjid?” Kata Mi’un, lalu disambungnya, “Aku memang melarat, tapi tidak sehina itu Yie.”

“Aku juga miskin Kang, lalu kalau pakai sepatu seperti ini, apa kata orang?” kata ibu satu anak itu, “Dijual aja gih, jadi duit bisa buat beli beras.”

Setelah itu apapun barangnya, pakain, tas dan lainnya yang masih layak pakai, langsung dijual. Tidak pernah dibawa pulang.

Mi’un bersyukur, hasil memulungnya cukup untuk hidup bersama istri dan satu anak. Dia punya banyak keterbatasan untuk bisa kerja kantoran. Sekolahnya nanggung, keterampilan tidak punya, orang dalam juga tidak ada sehingga akhirnya dia terdampar menjadi pemulung.

Menjadi pemulung ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Mi’un harus benar-benar menjaga matanya untuk selalu melihat ke bawah dan ke tempat sampah, tapi sekaligus harus waspada. Pernah, gara-gara kurang waspada, terlalu menunduk, kepalanya benjol menabrak tiang lampu di pinggir jalan. Di komplek perumahan ini tiang lampu pun berbaris rapi.

Mi’un menduga Komplek Perumahan ini dihuni oleh orang penting dan orang kaya. Semua rumah megah, mewah, dan berjejer rapi. Pagarnya tinggi dan rapat, susah ditembus mata.

Mi’un tidak pernah bisa melihat halaman di balik pagar rumah-rumah besar itu. Namun, masih bisa menikmati pemandangan beraneka merk mobil-mobil bagus saat keluar dan masuk halaman.

Lebih dari itu, Mi’un juga paham, ternyata setiap merk mobil memiliki suara klakson yang khas. Dia tahu karena  setiap mobil akan keluar atau masuk halaman rumah selalu membunyikan klakson, meminta dibukakan pintu gerbang.

Hasilnya, Mi’un bisa mengenal mobil-mobil mewah hanya dari bunyi klaksonnya. Kepada Satpam di pintu gerbang, dia pernah tularkan pengetahuan tentang suara-suara klakson mobil.

“Perhatikan Pak, itu suara klakson Lamborgini, kalau yang itu suara Porsche, itu suara klakson Mini-cooper, yang itu suara BMW, kalau itu Mercy,” ujar Mi’un kepada Satpam yang bertugas saat itu.

“Oh ya, hebat kamu. Terima kasih,” jawab Satpam.

Lalu Mi’un ajak Satpam mendengarkan suara, “Coba dengar, kalau yang itu klakson mobil apa?”

“Kalau yang itu…klakson Angkot,” lalu mereka ketawa bareng, “Ha …ha …ha …”

Satpam menambahkan, “Kok mirip klakson mobil Lexus ya.”

Mereka semua kembali tertawa bersama-sama.

Mi’un bersyukur, meski sering dianggap hina, pekerjaan memulung di komplek itu memberi banyak pemandangan yang sering membuatnya takjub. Selain rumah-rumah dan kendaraan bagus, penghuninya juga berpenampilan ceriadan enak dipandang. Bahkan, para ART pun terlihat berwajah bahagia.

Mi’un sama sekali tidak iri juga tidak dengki. Dia  malah takjub, ternyata kehidupan ceria yang selama ini hanya dilihatnya di sinetron TV, kini ada di depan mata. Dia membayangkan betapa bahagianya kehidupan mereka.

Mi’un bertambah takjub, ternyata pada bulan Agustus, orang-orang kaya juga merayakan Hari Besar Nasional. Semula dikira hanya orang-orang biasa saja yang ramaibergembira ria. Semua rumah megah memasang lampu hias, umbul-umbul dan tulisan atau baliho menggaungkan rasa cinta tanah air.

Suatu sore, beberapa hari setelah ramai perayaan, selesai memulung Mi’un berniat langsung pulang, karung sudah penuh, kait juga sudah di masukkan ke karung. Bawaannya yang banyak membuatnya minggir untuk beristirahat di bawah pohon.

Ketika sedang nongkrong di bawah pohon Angsana, di dengarnya klakson-klakson mobil dari deretan rumah-rumah bagus, berbunyi bersahut-sahutan. Sambil istirahat, Mi’un bersiap menonton barisan mobil mewah. Bunyi klakson bertalu-talu mirip konser musik. Mi’un jadi betah nongkrong di bawah pohon, lupa pulang.

Benar saja, tidak lama kemudian kendaraan pada ke luar rumah dan melaju berbaris ke luar komplek. Mobil maupun motor tampak penuh barang dan penumpang. Mi’un menjadi heran, mereka pasti bukan sedang konvoi, ada suasana tergesa-gesa. Mi’un tidak tahu mengapa mereka buru-buru. Dari barang yang dibawa sepertinya akan pergi ke tempat yang jauh.

Apa gerangan yang akan terjadi? Mi’un bergumam.

Beberapa menit kemudian suasana menjadi sepi, beberapa rumah tidak menyalakan lampu. Hari mulai remang-remang dan Mi’un bersiap pulang. Karung yang penuh berisi barang mulung dia gendong. Dengan langkah berat Mi’un berjalan pulang.

Belum sampai jalan sepuluh langkah, dari arah berlawanan datang berbondong-bondong orang dengan berbagai kendaraan. Roda dua dan empat. Mereka berteriak-teriak, entah apa yang diteriakkan. Barisan itu maju merangsek, Mi’un tidak sempat minggir menyelamatkan barangnya. Dia tidak berdaya lalu terbawa arus manusia.

Karung dan isinya tak bisa dia tahan, dia lepaskan. Mi’un tidak tahu lagi nasib karung hasil seharian memulung. Dia masih terus terbawa arus manusia. Dua bahunya dijepit bahu orang. Beberapa kali dia bergerak maju tanpa menapak tanah. Mi’un tidak punya daya kecuali mengikuti arus masuk ke salah satu rumah besar. Entah apa yang dilakukan orang di dalam rumah itu.

Orang-orang itu tampak ribut dan sibuk membongkar isi rumah. Semua dibongkar dan dibawa. Sepertinya tidak ada yang terlewat. Beberapa ada yang tumpah ruah di lantai dan halaman rumah besar itu.

Mi’un tidak tahan berada di tengah keributan. Pelahan dia melangkah keluar melalui sela-sela orang. Kadang mengendap, kadang memiringkan badan. Orang-orang berlalu-lalang kesana-kemari membawa apapun yang bisa dibawa. Ada segepok uang, tv, kipas angin, piring, sendok, dan pakaian.

Dalam sengkarut seperti itu melangkah ke luar tidaklah mudah. Mi’un tertumbuk lelaki bertubuh besar, terjengkang lalu jatuh tersungkur di rerumputan. Ada rasa asin di mulut, hidung dan bibirnya berdarah. Pipi kirinya terasa menindih sesuatu yang dingin.

Sambil bangkit, dia ambil sesuatu di bawah pipinya, sekeping logam berwarna kuning mengkilap. Mi’un tidak tahu barang apa, tapi naluri pemulungnya langsung bekerja. Digenggamnya barang itu dan dia masukkan ke saku celana.

Pengemis dan emas batangan
Ilustrasi: Mi’un tersungkur di antara orang yang demo di kompleks pemukiman elit, tangannya tak sengaja menyentuh emas batangan yang tergeletak di jalan – (Sumber: Arie/BJN

Terseok-seok Mi’un berjalan kembali arah pulang meninggalkan kerumunan manusia. Dilihatnya karung miliknya berantakan dengan isi berserakan. Kaitnya pun tidak terlihat. Hasil memulung seharian menjadi sia-sia.

Di depan, gerbang tempat dia biasa ketemu Satpam sudah tidak ada bentuknya lagi. Dadanya terasa sesak dipenuhi rasa bingung tidak tahu apa yang terjadi. Dirabanya saku celana, sekeping logam masih ada di sana. Mi’un meneruskan langkah pulang.

Hari semakin gelap, beberapa saat lagi akan sampai rumah. Noda-noda darah dia bersihkan dari mulut dan hidung. Dia tebah-tebah baju dan celana dekilnya dari debu. Dia siapkan senyum semanis-manisnya.

“Assalamualaikum,” katanya persis di depan pintu.

“Waalaikum Salaaam,” balas istri dan anaknya.

Lalu istrinya menyambut, “Alhamdulillah, selamet.”

“Iya, slamet, tapi maaf tidak membawa uang hasil memulung,” kata Mi’un.

“Haah, kenapa? Dijarah juga?” Kata istri Mi’un.

Mi’un duduk dan minum kopi yang sudah disiapkan istri. Setelah tenang, diceritakan semua yang terjadi dan dia alami.

Istrinya ternyata juga punya cerita. Dari TV tetangga dia menonton berita tentang penjarahan di perumahan tempat suaminya memulung.

Istri bertanya, “Seru juga ya? Lalu gimana karungmu Kang?”

Mi’un menjawab sambil berbisik, “Sebentar, nanti cerita lagi setelah Eneng tidur.”

Sambil menunggu istri menidurkan si Eneng, Mi’un bersih-bersih badan dan menghabiskan minuman kopi. Setelah anaknya tidur, mereka duduk berdua di lantai rumah petak kontrakannya.

Kemudian, pelahan Mi’un menyorongkan logam kuning mengkilap ke istrinya dan ngomong, “Yie, kamu tahu ini barang apaan? Aku pungut tadi di depan rumah yang dijarah.”

“Haahhh, kang! Ini emas. Emas batangan! Nih ada tulisan gram dan pembuatnya. Gede ini Kang, bisa buat beli rumah,” kata istrinya riang sekaligus kaget.

“Beli motor saja, buat kerja.”

“Mobil saja sekalian.”

“Ahaa, jadi orang kaya kita, yiihhaaa.”

Suami istri itu gembira.

“Sstt, jangan keras-keras ngomongnya. Besok kita jual?” Kata Mi’un.

“Jualnya ke toko apa ya? Di sini aku belum pernah beli maupun jual.”

“Ya ke toko emas Yie, masa ke toko sayur.”

“Eh Kang, tapi kalau mau jual-jual barang seperti ini harus ada suratnya, mana suratnya?” Kata istrinya Mi’un.

“Surat? Surat apaan?”

“Ah, Akang ini, surat keterangan beratnya berapa, berapa karat, beli di mana, harganya berapa, nama tokonya. ”

“Halah, ribet banget.”

Beberapa saat mereka berdua diam, lalu istrinya Mi’un ngomong, “Terus nih Kang, kalau ini dijual, lalu uangnya kita pakai untuk beli rumah, emang orang-orang gak mikir, gak curiga, bertanya-tanya, uang dari mana itu?”

“Terus kalau ditanya, nemu di mana, mau ngomong apa? Salah-salah malah dituduh mencuri,” tambah istri Mi’un dengan nada khawatir, “Pasti dikira ngerampok. Mana mungkin dikira harta warisan. Kita kan keluarga miskin,” imbuhnya.

“Lalu diapain ini barang?” Kata Mi’un.

“Kembalikan saja ke orang yang punya Kang!”

“Emang siapa yang punya? Aku gak tahu Yie.”

“Kalau begitu serahkan saja ke Polisi.”

“Ah, kamu ini becanda, bisa-bisa aku gak pulang, tapi masuk sel,” kata Mi’un.

Mi’un dan istrinya gemetaran, bingung memegang barang berharga bukan miliknya. Gemetaran takut kena masalah. Mereka sadar, orang miskin itu sama saja dengan orang tak berdaya, akan dengan mudah dituduh macam-macam tanpa bisa membela diri.

Kini mereka tidak lagi berpikir beli motor, mobil, dan rumah. Sirna sudah khayalan menjadi orang kaya. Kini malah timbul rasa  bingung. Bingung memikirkan bagaimana caranya selamat dari barang berharga, tapi bisa membawa petaka itu.

Namun, dalam beberapa detik mereka berubah pikiran, “Masak sih hidup miskin terus? Masak sih tidak ada jalan untuk merubah barang temuan itu jadi uang? Kalau begini terus kapan hidup enak?”

Sedetik kemudian berubah, “jadi orang kaya, tapi akan kuat berapa lama bertahan hidup dihantui kegelisahan?”

Diam sesaat.

Kopi secangkir sudah habis, singkong goreng di piring sudah bersih, perut sudah kenyang, tapi kepala masih pusing. Perang batin belum selesai.

Bertahun-tahun hidup serba kurang, sehari makan tidak selalu tiga kali, baju itu-itu saja dan tidak pernah plesir. Nonton, hanya saat lebaran, tidak pernah mudik. Bagaimana nanti kalau anak sekolah? Sekarang nemu emas batangan harga jutaan, tapi megang saja sudah gemetaran. Mi’un mengadu, “Ya Tuhan, apa aku harus terus miskin?”

Mi’un mencoba memejamkan mata, demikian juga istrinya. Susah. Mereka berdua lalu tenggelam dalam perenungan. Sunyi senyap melingkupi rumah mungil itu. Hanya suara napas Eneng yang terdengar.

Selang beberapa waktu kemudian istri Mi’un bicara memecah sepi, “Kang, sebaiknya kita gak usah mimpi ingin kaya. Barang itu kita pendam ke dalam tanah atau buang saja ke tengah sungai, atau lempar ke tengah laut.”

“Kenapa, Kamu gak ingin kaya Yie?” sahut Mi’un.

“Biarlah kita miskin, tapi hidup tenang. Biarlah kita tidak punya ini itu, tapi kita juga tidak pusing bayar pajak, apalagi kata orang sekarang pajak naik gila-gilaan.”

“Jadi, kamu mau menikmati kemiskinan kita ini Yie?” Kata Mi’un, “Masih mau mendengar anak lapar minta makan? Masih mau mandi keringat tiap hari?”

“He … he … he…, iya gak apa-apa, sudah biasa,” sahut istri Mi’un penuh senyum.

Itulah yang membuat Mi’un semakin cinta pada istrinya.Dia selalu bisa tersenyum menghadapi kekurangan akibat kemiskinan yang mereka jalani.

“Alhamdulillah,” kata Mi’un penuh sukur.

Emas batangan itu dia bungkus dengan kertas koran, lalu dia taruh di bawah bantal. Perang batin tampaknya sudah selesai

Dengan pikiran tenang mereka berdua bersiap-siap tidur. Digelarnya tikar dan bantal kemudian berbaring. Tidur. Namun, belum lagi tidur sampai lelap, mereka terbangun oleh teriakan anaknya, Eneng.

“Emaaaak, Abaaaah, aku lapaaar!”

Mi’un terjaga. Perang batin belum selesai. Lalu Mi’un meraba sesuatu di bawah bantal. Barang itu ternyata masih ada di sana.

***

Judul: Mi’un: Perang Batin Belum Selesai
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *