Cerpen “Mencintai Tanpa Melukai”
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA, Senin (23/06/2025) – Cerpen berjudul “Mencintai Tanpa Melukai” ini merupakan karya original dari Febri Satria Yazid yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial. Penulis yang berasal dari Sumatra Barat ini merupakan anggota Komunitas Penulis Cimahi (Kompeni) dan Ketua Forum TBM Kota Cimahi Periode 2025-2030.
Aku pernah mencinta dengan begitu keras, hingga tanpa sadar meretakkan hatinya. Kini aku belajar, bahwa mencintai adalah tentang merawat, bukan menggenggam erat. Kalimat tersebut terngiang dalam benak Arga, sambil merenungkan dan mengkilas balik perjalanan cinta yang telah dilaluinya dan berujung kandas akibat dia keliru dalam memaknai arti memiliki.
Arga berpikiran bahwa yang dimiliki sepenuhnya berada digenggamannya dan terserah dia mau bertindak dan berbuat apa saja yang dia mau. Arga lupa bahwa ada pedoman yang mesti dia pelajari agar yang dia cintai itu memperoleh tempat yang menyenangkan, jiwa dan raganya terawat dengan baik, ibarat seseorang yang memiliki kendaraan, ada buku petunjuk yang menyertai dan mesti diiukuti oleh pemilik jika ingin kendaraan dapat dikendarai dengan baik, aman, dan tidak mogok di jalan. Tidak hanya digunakan suka-suka yang punya.

Arga pernah gagal dalam pernikahan karena terlalu menuntut dan mengekang istrinya. Pasangan hidupnya itu kehilangan jati diri dan dipaksa taat dan patuh terhadap apapun yang menjadi kemauannya. Bisa jadi karena Arga dari kecil hidup dalam keluarga yang sangat mengagungkan kaum Adam dan cendrung memandang remeh kaum Hawa, tanpa dia sadari pola pikir demikian telah masuk ke alam bawah sadarnya dan dia baru tertegun dan kaget ketika istrinya mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama.
Upaya Arga untuk meredam reaksi istrinya tidak membuahkan hasil. Belasan tahun hidup dalam rumah tangga yang telah membelenggu dan melucuti kemerdekaannya sebagai seorang wanita telah membulatkan tekadnya untuk lepas dari lelaki egois ini, meski sempat ada keraguan memikirkan nasib anak-anak mereka jika berpisah menjadi pilihan.
Keraguan istrinya Arga itu akhirnya terkalahkan oleh kelelahan batinnya yang senantiasa menjerit, tak sanggup lagi berdamai dengan keadaan yang dia rasakan telah merusak dirinya lahir dan batin. Dia harus memikirkan diri dan menyayangi dirinya sendiri. Terlalu naif jika dia terus bertahan dengan lelaki yang telah jadi “toxic” dalam kehidupannya.
Tidak melalui waktu persidangan yang lama, hakim pengadilan Agama mengabulkan gugatan cerai istrinya karena dia punya bukti-bukti yang kuat terjadinya hubungan yang tidak sehat dalam rumah tangga mereka. Momen ini menjadi kilas balik bagi Arga serta jadi pembelajaran mahal bagi dirinya dalam menyikapi dan menyiapkan langkah ke depan agar kejadian yang sama tidak lagi dia lakukan jika dia ditakdirkan menemukan jodoh yang bersedia mendampinginya dalam kehidupan berumah tangga.
Setelah beberapa tahun menduda, kini Arga tengah dekat dengan Tri, seorang perempuan paruh baya yang juga gagal dalam pernikahan setelah belasan tahun mengarunginya. Mereka mulai saling mengenal, tetapi keduanya sama-sama takut untuk jatuh cinta lagi.
Tinggal di kota kecil yang tenang, Arga dan Tri pertama kali jumpa saat sama-sama menghadiri undangan dari lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan, komunitas sosial, dan seni. Meski sudah meyakini banyak sisi-sisi yang mereka rasakan punya banyak kecocokan, tetapi Arga dan Tri tetap dihantui ketakutan akan mengulangi kesalahan.
Ada tekad dari dalam diri Arga ingin mencintai dengan cara yang berbeda, tanpa tekanan atau tuntutan. Di sisi lain, Tri masih dihantui oleh trauma akibat perlakuan mantan suaminya yang semena-mena padanya akibat pemahaman patrilisme yang sangat kuat di dalam dirinya.
Kalau saja Tri mengetahui pemicu perceraian Arga ternyata sama persis seperti yang terjadi pada dirinya, tentu Tri akan langsung menjauh dan menutup diri ketika Arga melakukan “pdkt” kepadanya, meski sesungguhnya Arga telah memperoleh pembelajaran dan bertekad akan menjadi suami yang baik dan itu Arga tunjukan melalui sikapnya kepada Tri dengan menunjukkan perhatian lebih, menempatkan Tri sebagai mitra yang setara.
Tri tetap merasa trauma lama takut kembali dikekang dan disakiti. Tri, seorang wanita yang pernah patah hati karena cinta yang posesif dan menyakitkan. Tri menjauh, merasa Arga terlalu baik, dan ia takut tidak bisa membalas dengan cinta yang utuh.
Arga menyikapi perilaku Tri yang menutup diri ini dengan memilih diam dan memberi ruang, bukti bahwa ia mencintai tanpa harus memaksa.
Cinta, sejatinya bukan bara yang membakar, bukan pula tali yang mengikat hingga sesak tak bernapas. Cinta adalah angin lembut yang singgah di dada, membelai luka dengan sabar, bukan menambah perihnya.
Mencintai bukan soal menggenggam terlalu erat, melainkan soal percaya bahwa yang kita jaga takkan pergi, meski dibiarkan tumbuh dengan sayapnya sendiri.
Cinta yang sejati tidak membentak dalam cemburu, tidak menuntut dalam sunyi, dan tidak memaksa dalam gelisah. Ia menunggu, memeluk tanpa syarat, dan pergi jika harus, tanpa melukai, tanpa merobek nama baik dari hati yang pernah jadi rumah. Sebab cinta, bila sungguh cinta adalah tempat pulang, bukan tempat jatuh dan patah.
Diam itu bukanlah keheningan yang hampa, melainkan sebuah kesempatan untuk refleksi dan introspeksi. Begitulah yang dialami oleh Tri ketika Arga memilih untuk memberinya ruang dalam hubungan mereka. Meskipun awalnya agak terkejut dengan pendekatan Arga yang lebih tenang, Tri akhirnya menyadari betapa berharganya waktu yang diberikan Arga padanya untuk berpikir jernih.
Di momen-momen sunyi itu, Tri mulai memahami makna sejati dari cinta yang diberikan Arga. Cinta sejati bukanlah tentang tuntutan atau paksaan, melainkan tentang kehadiran yang tulus dan mendalam.
Cinta sejati adalah cinta yang membawa kita pada jati diri yang utuh, bukan membuat kita merasa kehilangan diri, pikir Tri dalam hatinya.
Dalam keheningan yang mereka bagikan, Tri menemukan kedamaian dan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Arga dan Tri tidak memulai hubungan mereka dengan janji-janji yang berapi-api, melainkan dengan komitmen untuk saling memahami dan menerima keberadaan satu sama lain. Mereka mengerti bahwa cinta sejati bukanlah tentang perlombaan untuk menang atau kalah, bukan tentang siapa yang memberi lebih banyak atau menerima lebih sedikit. Cinta sejati adalah tentang kemampuan untuk bertahan tanpa menyakiti dan melukai satu sama lain, dan tetap bersama meskipun tidak dapat menggenggam erat.
Dengan waktu, hubungan Arga dan Tri berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan bermakna. Mereka belajar untuk merayakan keunikan masing-masing dan bersama-sama menghadapi segala rintangan dengan keteguhan hati. Cinta mereka tumbuh kuat dan mengalir dengan kedalaman yang tak terbatas, menguatkan ikatan batin yang mereka miliki.
Seiring berjalannya waktu, Arga dan Tri menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang kata-kata manis atau tindakan dramatis, melainkan tentang keberadaan konstan satu sama lain, tentang kehadiran yang tulus dan jujur. Mereka belajar bahwa cinta sejati adalah tentang kesempatan untuk saling tumbuh dan menyempurnakan diri, tentang dukungan dan pengertian yang tak tergantikan.
Di tengah perjalanan cinta mereka yang penuh makna, Arga dan Tri tahu bahwa bersama-sama, mereka mampu menghadapi segala tantangan dan mengarungi bahtera kehidupan dengan penuh kepercayaan dan cinta yang mendalam. Dalam kehadiran satu sama lain, mereka menemukan kedamaian yang sejati dan kebahagiaan yang abadi.
Akhirnya Arga dan Tri sepakat melabuhkan cinta mereka yang pernah sama-sama kandas di dermaga yang lebih kokoh dengan pilar-pilar rumah tangga yang saling menguatkan. Di rumah tangga mereka, komunikasi menjadi pilar yang kokoh, kepercayaan sebagai fondasi utama, keterbukaan sebagai jendela untuk saling memahami, kesetiaan sebagai tiang yang menopang, dan cinta sebagai atap yang melindungi hubungan mereka dari segala bencana yang bersumber dari ulah mereka sendiri. (fsy).
***
Judul: Mencintai Tanpa Melukai
Jurnalis: Febri Satria Yazid (FSY)
Editor: Jumari Haryadi
