Cerpen “Man’s Circle”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Man’s Circle” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama pena “Violet Senja”.
Yang mengubah hidup ini bukan semesta, tapi waktu. Meski waktu tidak menyentuh siapapun, sebab ia hanya menjadikan seseorang dewasa, untuk memahami segala sesuatunya.
Hal apa sih yang bisa dirahasiakan dengan pertemanan laki-laki? Semuanya diceritakan tanpa tedeng aling-aling, termasuk hubungan yang tabu untuk dibicarakan, siapa berpacaran dengan siapa, dan kemana saja mereka saat berkencan. Bahkan, siapa pun yang memiliki pacar, siap-siap diintrogasi dan menjadi bahan ledekan, comelnya melebihi kaum hawa.
“Lo tuh seharusnya gak perlu bicara seterbuka itu sama Kiara, Er,” ucap Dito sambil merebahkan tubuhnya di kasur Erlan yang bau apek.
“Memangnya kenapa? Gue bicarain tentang Reza, bukan tentang Lo,” timpal Erlan sambil memasukan pakaian kotor ke kantong keresek untuk diantarkan ke loundry.

“Lo ngapain sih! Berisik banget!” Seru Dito merasa terganggu dengan suara berisik kantong keresek.
“Masukin baju kotor,” jawab Erlan tak acuh.
“Ya, kalau punya temen udah berani nidurin cewek, setidaknya jangan Lo umbar, apalagi di hadapan cewek.”
“Kiara itu bukan siapa-siapa. Dia tahu kok gimana kita.”
“Kalau Reza tahu Lo cerita seperti itu ke Kiara, pasti dia bakalan ngamuk.”
“Kenapa? Apa karena Reza diam-diam suka sama Kiara?”
“Mana gue tahu, itu hati orang, bukan hati gue,” ucap Dito ketus.
Mungkin Reza satu-satunya laki-laki yang dianggap paling baik di antara mereka, tapi Reza juga manusia, tidak alim-alim amat. Apa sih yang diharapkan pada seorang laki-laki dewasa yang hidup sendiri di kota besar?
Cerita dikit tentang Kiara. Dia salah satu sahabat wanita Dito, meski dulu saat kuliah tidak satu kampus dengan dia, Erlan, dan Reza.
Kiara memiliki usaha restoran yang cukup sukses, tempat di mana Dito, Erlan, dan Reza sering hangout bareng. Dari situlah perkenalan dan pertemanan dengan Kiara di mulai hingga akhirnya Kiara menikah dengan laki-laki pilihannya di luar circle dan itu tidak bertahan lama. Saat ini Kiara seorang janda muda dengan satu anak yang masih balita. Sekian tentang kiara.

“Baru sekali ini Reza kebablasan, tapi cerita Lo ke Kiara membuat dia menilai, kita tuh rusak semua.”
“Kiara itu wanita yang pernah bersuami. Bahkan, Kiara pun pernah having sex, Untung Bara lelaki yang bertanggungg jawab dan dia sering cerita sama gue gimana Kiara kalau di ranjang,” ucap Erlan yang selalu kepo sama urusan orang.
Tak ayal sebuah keplakan tangan Dito mendarat di kepala Erlan, tidak keras sih, tapi cukup membuat Erlan mengusap kepalanya. Untungnya Bara, mantan suami Kiara tidak se-blak-blakan Erlan. Erlan itu kalau cerita bisa detil sampai ke suara-suaranya, mulai dari rintihan, tangisan, pookoknya banyak deh, jangan ingin tahu. Nanti Erlan yang dosa, dosanya kan sudah segunung, jangan ditambahkan lagi.
“Lo kenapa sih? Datang-datang protes masalah ginian ke gue? Apa jangan-jangan Lo naksir Kiara ya?” Ucap Erlan sambil alisnya naik turun dan senyum merekah.
“Ngaku aja sobat!” Lanjut Erlan, dia pikir semua cowok sama kali ya, kayak dia yang enggak bisa lihat jidat licin.
“Nggak! Gue itu cowok baik-baik, kuat nahan yang namanya nafsu!”
“Cuih!” Cibir Erlan, “Di dunia ini, semua isinya manusia kotor. Cuma cara mereka mengotori dirinya aja yang beda-beda. Seperti yang Lo tahu, gue sering main cewek dan Lo tahu gue kotornya cuma di situ. Ada juga manusia yang enggak main cewek, tapi dia selingkuh, merusak hubungan orang, korupsi, makan hak orang lain. Ada juga yang sok-sok alim, tapi begitu nafsunya lepas yang diperkosa enggak pandang bulu, adik, sodara, anak didik. Bahkan, ayam!”
“Hah! Ayam? Emang ada orang perkosa ayam?”
“Lah kemarin gue liat di berita.”
“Dunia memang sudah gila!” Ucap Dito sambil melirik Erlan.
“Dunia ini sudah tua, Sob. Yang dicari bukan lagi yang baik, tapi yang mampu bertahan sampai akhir.”
Dito menatap Erlan. Ya Erlan memang benar-benar gila perempuan, tapi hanya itu sisi gelap seorang Erlan, selebihnya, aman, dia enggak kasar, enggak melawan orang tua, jiwa sosialnya juga oke, enggak pernah merugikan orang lain. Apa yang dilakoninya pun atas dasar suka sama suka.
Getaran ponsel di saku celana Dito berisik dan tidak beraturan. Dito lantas berdiri dari tempat tidur melempar guling yang sejak tadi dipeluknya sambil mendengarkan Erlan yang tiba-tiba ceramah bagaikan ulama kondang. Jangan-jangan Erlan punya kepribadian ganda.
“Ha,” ucapan Dito yang langsung disela dengan si penelepon.
“Dengan Pak Dito? Saya dari Rumah Sakit Bunda Medika. Istri bapak sudah melahirkan dan sekarang kami menunggu kedatangan Bapak,” belum sempat Dito memberikan penjelasan sambungan telepon sudah terputus.
“Nih orang enggak kasih gue kesempatan buat ngomong, apa?” Gerutu Dito sambil menatap layar ponsel yang sudah menghitam.
“Siapa yang telpon?” Tanya Erlan sambil melongo, menunggu jawaban Dito.
“Dari Rumah sakit bersalin,” ucap Dito tak acuh.
“Hah! Baru aja Lo bilang kuat menahan nafsu, sekarang udah hamilin anak orang? Lebih gila dari gue ternyata Lo!”
“Anjiiir, ngomong jangan kayak buang sampah Lo, sembarangan!”
“Loh… fakta sob.”
“Sab, sob, sab, sob… palak Lo peyang…. Faktanya, tadi pas gue menuju ke sini, di jalan ada cewek hamil, meringis kesakitan di pinggir jalan. Singkatnya gue bantu dia kerumah sakit,” Dito memang laki-laki yang baik hati, tidak sombong, suka menolong, dan menabung.
“Terus suaminya?”
“Mana gue tahu!” Seru Dito.
“Palingan dia cewek korban dari laki-laki seperti Lo, makanya insyaf, biar enggak nyusahin banyak orang!” Sambung Dito.
“Lah…kenapa jadi gue? Lo kalau udah emosi kayak emak-emak, melebar kemana-mana.”
Untuk sesaat suasana hening, tidak ada lagi perdebatan maupun opini yang keluar dari mulut masing-masing.
Setelah merenung beberapa saat, Dito pun pergi dari rumah Erlan menuju rumah sakit. Biar bagaimana pun, perempuan itu di antar oleh Dito. Sementara Erlan sudah tidak sadarkan diri, berlayar di alam mimpi.
Hingga tengah malam urusan Dito di Rumah sakit baru selesai. Dengan iklhas dia merelakan setengah dari gaji yang baru saja diterimanya dipakai untuk membayar administrasi tumah sakit. Setelah itu dia tidak ingin berurusan lagi, masalah hidupnya saja sudah lumayan pusing, apa iya harus ditambah dengan urusan yang enggak jelas.
Dito baru aja tiba di kediamannya, berharap bisa beristirahat dengan tenang di rumahnya yang sangat minimalis, hanya ada dua kamar tidur. Itu pun yang satu digunakan untuk gudang, satu ruang tamu dan satu dapur yang nyaris enggak pernah digunakan meski sekadar masak mie instan.
Reza langsung masuk ke rumah Dito yang pintunya masih terbuka.
“Gue nginep di sini ya?” Ucap Reza.
“Kenapa? Rumah Lo kebanjiran?”
“Nggak sih. Gue lagi enggak mau sendiri aja.”
“Melow banget Lo, kayak cewek.”
Reza hanya melirik sebentar ke arah Dito, lantas meraih remot televisi.
“Tapi Lo tidur di sini, enggak ada tempat lagi,” ucap Dito.
Reza hanya mengangguk pasrah, di mana sajalah yang penting dia enggak sendirian. Sudah biasa juga kalau nginep di rumah Dito tidurnya di depan televisi. Memang jahat yang punya rumah ini, tapi ya mungkin saja Reza mau tidur satu ranjang sama Dito.
Lama Reza menunggu Dito yang tak kunjung keluar kamar, alasannya sih mau salat Isya. Apa iya sampai lebih dari satu jam, sudah jam satu pula, yang ada mah bukan salat Isya, tapi Tahajud.
Reza menatap figura yang ada di ruangan televisi. Di sana ada foto dirinya, Dito, dan Erlan, menggunakan toga dengan baju yang senada, senyum selebar samudera. Begitu banyak harapan ketika itu, kesuksesan, karir, kehidupan yang mapan, dan tentu saja kebahagiaan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua tidaklah mudah. Ada banyak yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Alur hidup membawa mereka kepada masing-masing karakter.
“Lo udah makan Za,” tanya Dito.
Orang yang ditanya kok malah cuek kayak bebek, seolah enggak mendengar apa-apa.
“Reza! Lo kenapa sih? Nguyung gitu, kayak ayam habis diperkosa, tahu enggak Lo!”
“Emang ada yang mau perkosa ayam?”
“Ada! Kata Erlan, banyak beritanya di TV.”
Reza hanya bergidik ngeri mendengar ucapan Dito, membayangkan pelaku pemerkosa ayam.
“Eh, Za…perasaan Lo setelah tidur sama cewek gimana?” Ucap Dito sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
“Itulah kenapa gue gak mau sendirian di rumah. Bayangan kejadian itu terus membayang di kepala gue, merasa bersalah banget. Gue gak bisa move on dari kejadian itu. Gue jadi mikir apa ke depannya, gue bisa kontrol diri,” papar Reza sambil duduk selonjoran di atas karpet bulu dengan tubuh bersandar di depan sofa dan memeluk bantal sofa yang sudah lama tidak di cuci, sementara tatapannya fokus ke layar TV.
Reza yang awalnya setenang air danau, kini terlihat kusut bagaikan cucian kotor. Reza bukanlah tipikal cowok yang suka mainin perempuan, beda 180 derajat dengan Erlan yang dunianya enggak jauh dari mahluk bernama wanita.
Dito hanya termenung mendengar paparan Reza. Ya, salah memang! Apa yang dilakukan Reza meski semua itu hanyalah kecelakaan, sementara selama ini Reza satu-satunya teman yang tergolong kuat iman. Dia memang suka blak-blakan, tetapi sepertinya tidak pernah tidur bersama, just kissing and cuddling mybe? Sejauh ini, itu yang Dito tahu.
“Terus selanjutnya gimana antara Lo sama Luna setelah kejadian ini?’
“Kemarin dia nemuin gue, minta maaf atas semua yang terjadi. Dia bilang kalau temannya yang ngasih obat perangsang makanya dia telpon gue. Kalau pun dia enggak bisa ngendaliin efek dari obat perangsang itu, dia cuma mau ngelakuin sama orang yang dia suka.”
“Maksudnya, Lo?”
“Buktinya dia nelpon gue,” ucap Reza dengan penuh percaya diri.
“Emang, ya…. umur segini, gede banget cobaannya, asli gue ampe kelimpungan, dari semua ujian, nafsu ini yang kemarin berat banget buat gue.”
Dito terkekeh mendengar ucapan Reza. Terbayang raut wajah Reza yang bertarung melawan nafsu dan iman, meski pada akhirnya nafsulah yang menang.
Kalau sudah begini siapa yang harus di salahkan? Kehidupan? Yang sudah mendatangkan ujian begitu berat kepada Reza maupun Erlan.
“Lo mau juga? One Night Stand?” Tanya Reza di tengah lamunan Dito.
“Biar apa?”
“Biar kebutuhan biologis Lo ini sedikit terpenuhi. Gue takut aja nanti lo jadi kebeblasan kayak gue.”
Dito terdiam, setengah berpikir. Memang kebutuhan itu harus selalu dituruti ya? Tanya Dito pada diri sendiri.
***
Judul: Cerpen “Man’s Circle”
Pengarang: Violet Senja
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Ia biasa menggunakan nama “Violet Senja” sebagai nama pena dalam setiap karya fiksinya.
Ibu dari satu orang putri dan satu orang putra ini juga merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika. Ia berkeinginan untuk terus menulis sampai usia senja, seperti motto hidupnya “Hidup hanya sekali dan jangan biarkan menua tanpa arti”.