Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Kesempatan yang Tuhan Berikan”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA, Kamis (15/05/2025) – Cerpen berjudul Kesempatan yang Tuhan Berikan” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama pena Violet Senja”.

Denting bel pintu berbunyi beberapa kali hingga berulang tanpa henti dibarengi suara gedoran keras dan teriakan dari luar rumah.

“Siapa pun yang ada di dalam, buka pintunya!”

Kulihat jam dinding, sebelum beranjak dari kursi tempat aku melepas penat, bersama seorang teman. Kami baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Waktu menunjukkan pukul 02:25 WTA dini hari.

Gedoran pintu kembali berdentum. Kuintip dari celah gorden, tampak dua orang laki-laki bertubuh tegap dan seorang wanita mengenakan jaket hitam dan topi bertuliskan “Reserse Polda Bali”.

Neneng Salbiah
Neneng Salbiah, penulis – (Sumber: Kompasiana)

Kuberikan isyarat kepada Dewi, wanita muda dengan rambut ikal sebahu yang sedang menatapku agar ia membersihkan meja. Di atas meja tersebut masih terdapat beberapa buah alumunium foil berisikan serbuk kristal nan halus yang masih terbungkus rapih, satu buah botol, dan sedotan yang biasa kami sebut bong untuk segera dirapikan.

Tanpa bersuara Dewi mengangkat tangan memberi kode dengan menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya hingga membentuk angka “0”. Aku mengangguk dengan sedikit gemetar sambil membuka handle pintu.

Belum sempurna pintu terbuka, mereka mendorong dengan paksa hingga terdengar suara keras benturan daun pintu dengan dinding. Kulihat Dewi memejamkan mata seraya bersandar di kursi. Lentik bulu matanya tidak dapat menyembunyikan genangan air yang hampir menetes. Bibirnya yang ranum terbalut lipstik warna nude itu terlihat gemetar.

“Siapa kalian!” Bentakku spontan. Tak ada yang bisa kulakukan selain berteriak memberi gertakan kepada mereka. Satu di antara mereka maju ke hadapanku sambil menunjukkan kartu keanggotaannya.

“Apakah kamu yang bernama Mira!”

Orang misterius tak dikenal itu kembali membentak sambil menatap aku dan Dewi secara bergantian.

“Tidak ada yang bernama Mira disini. Ini KTP-ku,” jawabku sambil bergegas memberikan sebuah KTP atas namaku sendiri, “Dan dia Dewi sahabatku. Kami sedang berlibur di sini. Ada yang salah?”

Aku berucap sambil menunjuk ke arah Dewi. Sepertinya Alex, menyewa Villa ini atas nama Mira, bukan atas namaku atau Dewi.

“Kami akan menggeledah tempat ini!” Ucap orang tak dikenal itu lagi, lalu menginstruksikan yang lain untuk masuk ke setiap ruangan.

Dadaku berdebar kencang detak jantung seakan ingin melompat keluar dari dalam dada. Sesekali aku melirik Dewi yang nampak gugup. Dimana ia menyembunyikan semua barang-barang tersebut? Ujarku dalam hati.

Merasa tidak menemukan apapun, orang-orang tak dikenal itu keluar tanpa pamit dan membiarkan pintu terbuka lebar. Tatapan sinis mereka seolah sebuah ancaman tanpa suara.

Aku bergegas menutup pintu dan menguncinya. Kubanting tubuhku di atas sofa, menjambak rambutku sendiri dengan frustasi. Kemudian kukeluarkan ponsel dalam saku jeans, mencoba menghubungi seseorang yang kuanggap bisa menolongku dan Dewi di saat seperti ini.

Sial! Kataku dalam hati. Ponsel orang yang kuhubungi  tidak tersambung.

“Jangan-jangan dia yang sudah menjebak kita di sini!” Ujarku geram seraya membanting ponsel ke sofa.

“Tidak penting siapa yang menjebak kita di sini. Sekarang saatnya mencari solusi bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini,” kata dewi sambil dirinya melangkah ke arah jendela dan menyingkap sedikit gorden, “Mereka masih di luar,” ucapnya lagi.

***

Di bawah pengaruh psikotropika, Dewi masih bisa berpikir jernih. Ingatanku melayang mundur ke belakang. Sekitar jam 12 siang aku tiba di Ngurah Rai. Dewi yang sudah tiba sehari sebelumnya menjemputku di Bandara.

“Pakai mobil siapa?” Tanyaku setelah kami berada di dalam mobil.

“Alex menyewanya untuk kita. Tidak hanya itu, dia pun sudah menyewa satu villa di daerah Canggu, bisa kita tempati selama di sini,” jawab Dewi saat itu.

Alex, salah satu teman kami, pemilik beberapa kafe yang tersebar di pulau Bali. Karena dialah aku dan Dewi saat ini berada di pulau dewata.

“Kami sudah tiba di pelabuhan Gilimanuk. Instruksi!” Sebuah pesan WhatsApp masuk di ponselku. Segera kubalas dan instruksikan agar mereka menuju alamat yang sudah kuberikan dan berjanji jika kami akan bertemu di sana.

“Kita langsung ke Singaraja,” ucapku seraya memasukan ponsel ke dalam tas.

Dengan jarak tempuh sekitar 92 Km memakan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan. Mobil berplat DK yang kami tumpangi berjalan dengan lancar melewati Hutan Bedugul diiringi suara musik “Nothing’s Gonna Change My Love For You” milik George Benson yang mengalun syahdu melintasi beberapa destinasi menuju utara pulau Bali.

Keindahan alam sepanjang perjalanan memanjakan mata kami. Hamparan laut dan pantai menambah keeksotisan pulau dengan sejuta pesona ini.

Tepat pukul tiga sore, kami tiba di sebuah kafe yang masih sunyi, tidak ada aktivitas apapun. Beberapa meja dikelilingi kursi kosong berjejer rapi di halaman cafe. Semilir angin menghembus pelan memainkan ujung syal yang melingkar menutupi leherku.

Bunga-bunga kamboja berwarna putih kuning berserakan tertiup angin. Kursi di sudut halaman kafe menjadi pilihanku duduk menunggu seseorang yang akan menjumpai kami sore ini.

Tidak berapa lama, tampak seorang laki-laki berbadan tegap, berkulit hitam memasuki halaman dengan berjalan kaki. Dialah Alex pemilik kafe.

Setelah menyapa Dewi dan aku, Alex duduk berhadapan dengan kami dan meletakan benda pipih yang sejak tadi digenggamnya ke atas meja.

“Berapa orang yang akan kamu kirim kali ini?” Tanya Alex seraya menghisap sebatang rokok di bibirnya.

“Lihat saja, sebentar lagi datang,” ucapku.

“Akan aku transfer setelah mereka tiba,” balas Alex.

Aku mengangguk menyetujui. Menjelang malam satu persatu para waitress mulai berdatangan dengan busana sedikit terbuka. Sebagian mereka bersenda gurau di sebuah gazebo samping kafe. Kepulan asap rokok menyamarkan wajah mereka di bawah sinar temaram lampu.

Satu unit kendaraan mini bus berwarna silver memasuki halaman cafe yang disoroti lampu warna-warni, sang operator dari ruang tertutup di sudut café, memutar alunan musik “You And I” milik Scorpions, menjadi pembuka menyambut para waitress memulai aktivitasnya.

Aku menyambut dengan senyum ramah para wanita muda dan cantik yang kutunggu kedatangannya sejak sore tadi. Satu persatu mereka turun dari mobil dan mendekat ke tempat dimana aku, Dewi, dan Alex duduk.

Alex melihat satu persatu wanita-wanita tersebut, lalu meraih ponsel. Tak lama notif M-banking di ponselku berbunyi.

“Mulai saat ini kalian bekerja di kafe ini sebagai waitress. Pak Alex inilah yang akan memberitahukan apa yang harus kalian lakukan. Setelah ini, jaga diri kalian baik-baik ya,” ucapku di hadapan para calon waitress.

Sambil berdiri, Alex mengulurkan tangannya, “Baik, urusan kita sudah selesai.”

“Tunggu! Coba kamu lihat, apa tidak salah jumlah yang kamu transfer ke rekeningku?” Ucapku seraya memperlihatkan nominal transfer yang tertera di layar ponselku.

“Ini tidak sesuai dengan kesepakatan!” Seru Dewi setelah merebut ponsel dari tanganku.

“Aku sudah memberikan kalian fasilitas, kendaraan tempat tinggal. Apa itu kurang dari cukup?” Ujar Alex ringan, “Aku tidak meminta. Bali, bukan tempat yang asing bagiku. Tanpa bantuanmu, aku mampu mencari ini semua,” tambah Alex lagi dengan nada sedikit kesal.

“Sudahlah! Aku masih banyak urusan!” Kata Alex lagi dengan nada sedikit membentak.

Tanpa peduli dengan amarahku, laki-laki tersebut pergi meninggalkan aku dan Dewi dengan perasaan kesal.

“Kalau kamu setuju untuk menemaniku malam ini, akan kutambah.” Pesan WhatsApp dari Alex masuk.

Shit!!!” Seruku seraya membanting ponsel ke atas meja.

Aku menarik napas berat, kemudian mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan, dan menyesapnya dalam, seolah rongga dalam dadaku merindukan asupan racun.

Wid, take it one, biar rilex,” ujar Dewi padaku sambil membuka telapak tangannya yang berisi  butiran kecil berwarna biru yang begitu menggoda.

Lantas aku pejamkan mata sambil membayangkan jika aku mengunyahnya, ada rasa manis yang menghadirkan sensasi dingin mint di mulutku.

“Jangan bilang kamu sudah mengkonsumsinya,” ujar Dewi padaku.

Lantas aku mendorong tangan Dewi agar ia segera menjauh dari pandanganku.

I’ve swallowed two,” ujar Dewi dalam bahasa Inggris.

Mataku membesar. Aku tahu Dewi tidak akan merasa cukup hanya dengan satu pil, dua barulah ia merasa rileks dan tenang.

“Jangan gila kamu Wi. Kita akan mengendarai mobil! Mau mati kamu!” Seruku, sambil merebut kunci mobil di tangannya.

Tidak mungkin aku membiarkan Dewi mengemudi di bawah pengaruh narkoba, “Kita ke Denpasar malam ini juga.”

Aku bergegas menuju mobil dan Dewi mengekor di belakangku.

Dengan cepat aku mengemudikan mobil di jalan yang teramat sunyi. Pikiranku berkecamuk. Tidak mungkin Alex menipuku, setelah sekian lama aku bekerja sama dengannya.

Sebelum tiba di Villa, Dewi meminta aku untuk berhenti sebentar di Bali Mart. Kuperhatikan Dewi memilih beberapa botol kecil minuman dan sedikit arak untuk campuran. Wanita satu itu memang tidak pernah melewatkan untuk mendapatkan arak jika sedang berkunjung ke Bali. Baginya, itu hal yang wajib.

Pukul satu dini hari kami tiba di Villa. Suara deburan ombak menghantam dinding pembatas villa terdengar samar dan syahdu. Angin laut menyeruak masuk begitu aku membuka jendela yang langsung menghadap ke tepi laut.

Aku membuka sebotol Cola dingin dan meneguknya hingga tandas. Sementara Dewi sibuk meracik minuman kegemarannya hingga suara bel dan gedoran pintu terdengar.

***

“Siapa yang bisa membantu kita sekarang?” Tanya Dewi sambil membungkukkan badan menyibak taplak meja kecil yang berada di sudut ruangan dan mengeluarkan botol yang tadi ia sembunyikan.

Aku diam. Mataku terpejam. Pikiranku kacau. Kuhembuskan asap rokok dan membiarkannya bermain di wajahku lalu membentuk kabut tipis dan menghilang dalam ruang hampa.

“Kemasi barang-barang, sekarang. kita balik ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi,” ucapku cepat seraya berjalan menuju kamar.

Semua barang dimasukkan ke dalam koper kecil. Begitu pun dengan Dewi. Botol-botol kecil minuman ia kemas dengan kain dan handuk kecil berlapis begitu rapih, sepertinya ia memang sudah terbiasa melakukan hal itu agar tidak terlacak saat di bandara nanti.

“Mereka masih di luar, bagaimana cara kita keluar dari sini?” Wajah cemas Dewi begitu kentara.

“Pesan taksi online minta ia menunggu di ujung jalan, kita keluar lewat pintu samping.”

“Hah! Pintu samping itu sudah pinggir laut Wi, gimana lewatnya?”

“Ikuti aku!”

Perlahan kubuka pintu samping Villa. Dewi benar, laut luas membentang. Namun, aku tidak boleh kehilangan akal. Dengan memeluk koper kecil, aku berjalan pelan melangkah sedikit demi sedikit menyusuri tembok tipis pembatas laut yang membentengi halaman Vila. Perlu kehati-hatian, jika sedikit terpeleset kami akan tercebur ke pinggir laut.

Butuh perjuangan untuk melintasi pagar beton ini. Seluruh tubuhku berkeringat. Jantung berdebar kencang seperti spidometer saat lari 1500 perjam. Saat melihat buih-buih kecil yang terbentuk karena riak ombak.

Setelah berhasil melintasi pinggir laut, kami masih harus berjalan sedikit lagi menuju jalan kecil di mana taksi online yang kami pesan sudah menunggu. Tidak ada perbincangan selama perjalanan, kalut dengan pikiran masing-masing.

Aku melirik Dewi. Matanya sedikit terpejam. Aku yakin ia tidak tidur hanya sedang mengatur ritme kecemasan mencoba meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja.

Tatapan penuh tanya dari pengemudi taksi, aku tersenyum kecil manakala mata kami beradu pandang melaui kaca spion dalam dan ia mengangguk risih sebelum kembali fokus pada jalan sunyi di hadapannya.

Suara azan subuh berkumandang saat kami tiba di bandara. Aku bernafas lega, jauh di lubuk hati ada rasa syukur yang tak terkira.

Aku sarankan Dewi agar membeli tiket pesawat yang langsung ke Bandung, sementara aku langsung ke Jakarta. Untuk sementara waktu kami tidak boleh bersama melakukan aktivitas.

“Wi… untuk sementara waktu, batasi aktivitas. Berdiamlah dulu di rumah. Kurangi pemakaian pil-pil itu juga minuman keras. Manfaatkan kesempatan yang sudah Tuhan berikan untuk kita saat ini.”

Kugenggam kedua tangan Dewi. Kata-kata keluar dari mulutku yang entah dari mana asalnya. Air matanya menggenang dan tangisnya pecah dalam pelukanku. Kami sama-sama menumpahkan apa yang tertahan sejak kejadian malam itu.

“Semoga mereka di sana dapat bekerja dan menjaga diri mereka baik-baik ya Wid,” ucap Dewi disela isak tangisnya.

Tak ada kata yang dapat aku ucapkan selain anggukan penuh pengharapan. Aku berjanji jika keadaan sudah kondusif akan kujemput mereka, bagaimana pun caranya. Hingga suara panggilan boarding terdengar. (Violet Senja).

***

Judul: CerpenKesempatan yang Tuhan Berikan”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang pengarang

Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, danaktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu ruah tangga,  ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *