Berita Jabar NewsCerpenSastra

Cerpen “Kania, Tunggu, Aku Datang”

Berita Jabar News (BJN) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Kania, Tunggu, Aku Datang”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Ahad pagi itu, seperti biasa, Rully ke pasar mencari pakan untuk burung-burungnya. Di rumah ada belasan ekor burung di dalam sangkar yang harus dengan teratur diberinya makan. Terlambat memberi makan sama saja dengan membunuh mereka pelan-pelan. Oleh karena itu sepekan sekali dia menyempatkan diri ke pasar burung.

Setiap harinya dengan telaten dia bolak-balik, pagi memindah sangkar burung dari emperan ke pekarangan dan sebaliknya pada petang hari. Di pekarangan burung-burung tampak sehat dan bergerak lincah. Kicauannya terdengar nyaring dan merdu.

Bagi Rully, polah tingkah dan kicauan burung adalah satu-satunya hiburan yang menyenangkan hati, tidak ada yang lain. Tarian dan kepak sayap burung membuat dia lupa segala beban dan keriuhan urusan hidup.

Ilustrasi cerpen "Kania, Tunggu, Aku Datang"
Ilustrasi: Keseharian Rully di rumah bercengkrama dengan burung kesayangannya – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Beban hidupnya sebenarnya tidak banyak-banyak amat. Juga tidak berat-berat amat. Dia sudah merasa cukup dengan yang dia miliki. Rumah, kendaraan, pakaian dan makan, hampir tidak ada masalah, apalagi dia doyan makan apa saja asal halal. Tidak ada yang harus dia hindari. Sebuah pertanda, tubuhnya sehat.

Soal anak, Rully punya satu, sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain. Anaknya sudah memberinya dua cucu yang lucu-lucu. Mereka memanggilnya Eyang, bukan Embah, Opa atau Kakek.

Rully sebenarnya kurang suka dipanggil Eyang. Sebutan itu membuatnya merasa amat tua, tapi itupun bukan masalah besar. Banyak teman sebaya juga sudah menjadi kakek atau nenek dan di antara mereka pun dipanggil Eyang.

Pada akhir pekan cucu-cucunya menelepon, menyapa akrab, “Apa kabar Eyang? Eyang sudah makan? Kapan Eyang ke sini?”

Kali lain cucunya mengadu, “Bunda marah-marah terus, aku jadi kangen Eyang.”

Semakin lama Rully merasa sebutan Eyang terdengar merdu, semerdu suara kicauan burung. Ketika rindu ketemu cucu memuncak, kicauan burung menjadi obatnya.

Bukan hanya Rully, beberapa kolega sering sengaja datang hanya untuk menikmati kicauan burung peliharaannya. Kadang mereka juga ikut memberi makan dan membersihkan kandang.

Begitulah, orang-orang, tetangga, kolega dan teman lama melihat Rully sudah hidup nyaman tanpa banyak persoalan. Orang-orang sudah tidak banyak menanyakan tentang hidupnya yang sendiri tanpa istri.

***

Rully memang sudah beberapa tahun hidup sendiri. Istrinya pamit pergi meninggalkannya dengan alasan yang bagi Rully tidak masuk akal. Lelaki ini kemudian tertatih-tatih menjalani masa sulit hidup sendiri.  Untungnya banyak teman, tetangga, dan kerabat dekat yang mendampingi.

Mereka tidak ingin lelaki yang sebenarnya ceria itu terus-menerus terpenjara kesedihan dan tenggelam dalam kemurungan. Mereka mendorong agar Rully segera melupakan mantan istrinya.

Seorang kawan menasehati, “Lupakan, ayo bergembira bersama kami,” ada juga yang memberi saran, “Cari lagi Pak, janda atau gadis pasti ada yang mau.”

Rully diam, mungkin bingung, mungkin belum berminat. Juga masih diam saat mendengar salah satu kerabat ngomong, “Jangan kelamaan menduda, itu Pak Benny hanya tiga bulan menduda sudah beristri lagi.”

Rully dengan keras berupaya melupakan mantan istrinya. Meski pelan, tapi pasti, menampakkan hasil. Tidak lama, dia mulai terbiasa menduda, tidak sering uring-uringan, murung, dan juga sudah jarang duduk melamun.

Memang bukan perkara mudah melupakan seseorang yang telah bersama siang malam, tujuh hari dalam sepekan dan tigapuluh hari dalam sebulan, selama lebih dari 20 tahun. Menjalani suka-duka, pahit-manis dan naik-turun sekian lama. Itu tentu bukan soal gampang.

Pasti juga tidak mudah menghapus kenangan sekian lama saling mencumbu, memeluk, mencium, memberi dan menerima. Juga  saling memuji, memuja dan menggoda atau beberapa kali saling marah. Berat, bagi siapapun, melupakan romantika kehidupan berkeluarga.

Namun, di atas semua itu, lebih berat lagi bagi Rully untuk melupakan omongan mantan istrinya saat minta berpisah. Omongan itu mengagetkan dan menggoreskan luka mendalam di hatinya.

Omongan itu pun sering terngiang-ngiang di telinga sampai terbawa mimpi yang membuatnya terbangun dari tidur. Seperti suatu malam Rully terbangun dengan tubuh berkeringat dingin, Ampun ya Allah, jangan Kau datangkan lagi mimpi seperti ini lagi.

Rully, lelaki berkulit bersih, menyesali kebodohannya yang tidak mampu menangkap sedikitpun pertanda atas keinginan istrinya itu. Permintaan itu mengagetkannya karena disampaikan saat suasana yang dianggapnya sedang baik-baik saja.

Omongan istrinya saat itu juga terasa menyakitkan karena dia diperlakukan seperti makhluk tanpa arti. Istrinya mengawali dengan kata-kata, “Mas, inilah saat yang tepat untuk aku ngomong.”

Belum selesai istrinya ngomong, keburu Rully terkesiap dengan cara istrinya memanggil dengan sebutan mas.  Dalam hati Rully berkata Tumben banget dia manggil aku mas. Bertahun-tahun dia memanggilku dengan sebutan Pah. Bbahkan sedari sebelum jadi istri pun dia sudah memanggilku Pah.

Bagaimana bisa dia lupa cara memanggilku? Pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada dirinya? Kata Rully dalam hati dengan penuh rasa ingin tahu.

Karena merasa jengah dipanggil dengan sebutan yang tidak biasa, Rully memotong dengan nada agak kurang ramah, “Eh.., tumben kamu manggil aku Mas…”

Ilustrasi cerpen "Kania, Tunggu, Aku Datang"
Ilustrasi: Rully bertengkar hebat dengan mantan istrinya yang meminta cerai darinya – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Rupanya istrinya sudah menduga dengan pertanyaan ini dan sudah pula menyiapkan cara menjawabnya. Jawaban yang mencerminkan hilangnya rasa hormat dan tipisnya selera basa-basi, “Lah Mas juga tumben manggil aku kamu……”

Rully terdiam. Demikian juga istrinya. Percakapan saat itu lalu terhenti. Suasananya berubah menjadi kaku.

Rully yang pendiam dan tidak biasa bertengkar darahnya mendidih. Kepala dan hatinya juga memanas. Hanya karena kemampuan mengendalikan diri yang tinggi membuat emosinya tidak meledak.

Selang beberapa saat, setelah agak lerem, panjang lebar istri Rully menyampaikan permintaan untuk berpisah. Disampaikan juga dengan lengkap sebab musababnya. Istrinya menutup dengan omongan, “Begitu Mas pintaku, maaf banget….”

Rully kala itu sama sekali tidak menduga, tidak ada hujan dan petir, istrinya pamit mau pergi dari rumah ikut seorang lelaki yang dia cintai sejak masa sekolah dulu. Permintaan yang tidak masuk nalar Rully. Seorang istri menghancurkan keluarganya sendiri hanya demi melanjutkan kisah lama kala remaja. Kisah sekian puluh tahun yang lalu.

Rully tidak bisa menahan perasaannya, “Kamu ini gila! Sadarkah dengan niatmu itu sama saja menghancurkan keluarga kita?” Lalu Rully menyambung, “Apa enggak malu sama orang-orang, tetangga, kerabat dan anak?”

Rully, lelaki yang tidak pernah neko-neko ini terus mencoba menahan keinginan istrinya itu dengan banyak pertanyaan, “Yakinkah kamu nanti akan lebih bahagia hidup dengannya? Apa sih kurangku? Setan apa yang merasukimu?”

Istrinya tetap bergeming tidak menanggapi. Mulutnya seperti terkunci. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Rully pun memberinya nasihat yang menurutnya penting.

“Emang kamu enggak khawatir kawanmu itu nantinya berpikir akan kamu tinggalkan juga seperti kamu sekarang meninggalkan aku?” Tambah Rully.

Benar-benar sudah kerasukan, nasehat Rully lewat begitu saja seperti angin.

Di sepenggal hari itu entah sudah berapa cangkir kopi Rully minum. Rokok yang sudah lama tidak mampir ke mulutnya. Hari itu beberapa batang dijepit bibirnya. Tampak benar, lelaki itu sama sekali tidak menikmati asap yang keluar-masuk mulut dan hidungnya.

Malam harinya istri tidur di kamar sebelah. Mereka pisah kamar. Sejak hari itu, Rully merasa terbuang, terhina dan tertipu. Begitu besar kepercayaannya. Apapun yang istrinya lakukan dia tidak pernah menaruh curiga. Rully percaya saja. Sepanjang istrinya tampak bahagia, suami lembut itu oke-oke saja. Ternyata dia tertipu.

Rully menyesali sikapnya yang “percaya saja”. Sikap itulah yang menjadi pintu masuk bagi setan menggoda ketentraman keluarganya.

Kepercayaan itu pula yang menggerus rasa hormatnya pada perempuan yang sekian lama mendampingi hidupnya itu. Bukan hanya kepada mantan istrinya kepercayaannya hilang, tetapi juga merambah ke banyak wanita lainnya.

Rully hanya menyisakan kepercayaan pada ibunya saja, wanita yang sangat dia muliakan.

Lelaki lembut ini memberi waktu beberapa hari, siapa tahu istrinya berubah pikiran. Beberapa hari itu pun Rully gunakan untuk merenung dan mengoreksi diri. Seandainya masih bisa bersatu, dia pun siap untuk memperbaiki diri.

Namun tak terhindarkan, jeda waktu beberapa hari itu malah mereka gunakan untuk bertengkar. Hasil akhirnya, Rully berpisah tanpa persiapan. Terutama persiapan mental. Dia benar-benar tidak siap.

Diam-diam lelaki pendiam ini mencari-cari cerita dan pengalaman teman atau siapapun yang pernah mengalami jalan hidup serupa. Dia mencari rujukan teman senasib. Diantara mereka ada yang komentar, “Ahaaa, kita senasib brow.”

Ada juga yang bilang, “Ambil hikmahnya saja bro,” atau “Duda itu keren bro.”

Ada juga saran, “Jangan tambahi kesedihanmu dengan mengurung diri dan menyesali masa lalu. Kamu sendiri yang rugi.”

Dari sekian banyak komentar, Rully mendapat kata-kata penyemangat yang dia sukai, yaitu, “Segera lupakan dan melangkah untuk kehidupan yang baru.”

Rully lantas ambil sikap, Aku harus kuat dan tidak rapuh, jangan runtuh dan tidak boleh luruh. Lupakan, sibukkan diri dan lalu bangkit.

Sejak hari itu Rully menghapus isi kepalanya dari kenangan yang berbau romantis. Dia juga membuang semua aroma yang mengingatkan pada tubuh mantan istrinya.

Semua pakaian dan pernak-pernik yang berhubungan dengan mantan istrinya itu dia bungkus dalam satu karung. Bahkan, termasuk sehelai sapu tangan kenangan dengan mantan istrinya. Termasuk juga sandal, sepatu, topi dan barang lain yang tertinggal dikemas dalam satu kantong. Semua gambar, foto dan sejenisnya dia singkirkan.

Bersih sudah dinding rumahnya dari gambar dan foto-foto. Hanya tersisa satu lukisan gerobag sapi yang berbingkai kayu berjudul “walau pelan, aku tetap melangkah ke depan”.

Dalam kesendiriannya, beruntung dia menemukan kesibukan baru, memelihara burung. Segala jenis burung dia urus. Dari burung emprit, merpati, jalak, perkutut, cucakrawa, muray, kutilang dan burung entah apa namanya.

Kesibukan itu yang lantas menggiringnya secara teratur setiap pekan pergi ke pasar burung membeli pakan, vitamin, dan ramuan.

***

Begitulah hidup Rully tampak berjalan ayem tentrem dan orang pun melihat Rully seperti sudah lupa bahwa dia sudah lama menduda. Begitu yang terlihat, tetapi bukan itu yang sebenarnya terjadi.

Dibalik ketenangan hidupnya, Rully berusaha untuk terus bertahan dari godaan kembali menjalin tali asmara dengan wanita. Pengalaman buruknya masih menghantui. Lelaki berambut lurus ini mencoba mengingkari keniscayaannya sebagai makhluk dia tidak bisa bersendiri.

Manusia satu perlu yang manusia lain untuk berbagi. Berbagi baik ketika dia ada, ketika tidak ada, saat sedih, gembira atau sekedar kawan ngobrol. Juga untuk berbagi kasih sayang dan berbagi cinta. Rully memang bukan Robinson Crusoe yang konon kuat hidup sendiri bertahun-tahun di sebuah pulai terpencil.

Hanya bertahan beberpa tahun, Rully akhirnya jebol ketika dia ketemu seseorang yang membuatnya terpesona. Pesona wanita itu membuat Rully tidak kuasa lagi bertahan ingin hidup sendirian.

Wanita itu adalah pemilik kios yang menjual ramuan khusus untuk burung supaya rajin berkicau. Sosoknya biasa saja dengan wajah bulat dan bersih. Usianya menjelang tigapuluh dan tampak matang. Rully tidak terlalu tahu banyak. Bahkan, sudah berkali-kali belanja di sana, dia belum tahu namanya.

Ilustrasi Cerpen "Kania, Tunggu, Aku Datang"
Ilustrasi: Rully membeli ramuan pakan burung di sebuah toko makanan burung dan mulai tertarik dengan penjualnya – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Awal belanja di sana, Rully dibuat heran karena beberapa kali mendapati kios kosong dan tidak ada penunggunya. Namun, kemudian rasa herannya berubah menjadi kagum ketika menemui tulisan di atas etalase “sedang ke mushola”.

Muncul pertanyaan di benak Rully, Di jaman sekarang, masih ada yang percaya begitu saja meninggalkan kios tanpa penjaga? Apakah tidak khawatir ada pencuri?

Kekaguman tidak berhenti di situ. Setiap uang kembalian, sekecil apapun, selalu dikembalikan dalam bentuk uang, tidak pernah diganti permen atau pilihan untuk donasi.

Alat timbangnya juga bersertifikat “tera”, tanda tidak ada permainan. Wanita ini selalu bicara secukupnya dan tidak merayu-rayu orang untuk membeli. Tampak jelas, si wanita sangat menjaga diri.

Belum lagi senyum dan keramahannya. Semua membuat Rully terpesona. Beberapa lama Rully berusaha keras mengingkari rasa ketertarikannya. Dia dengan keras juga berusaha mengabaikan rasa kagumnya. Cuek bebek.

Usaha kerasnya itu diuji ketika suatu pagi dalam perjalanan ke pasar, pandangan Rully membentur wanita itu akan membonceng seorang lelaki. Si lelaki itu entah siapa. Mungkin teman, ponakan, paman atau jangan-jangan pacarnya. Dari pakaiannya, mereka seperti akan bepergian jauh.

Belum lagi berhenti menduga, Rully terhenyak ketika didengarnya si wanita sambil lewat, dari boncengan menyapanya, “Mari Pak Rully.”

Belum sempat menjawab, motor sudah terlanjur jauh. Rully sungguh tergagap penuh tanya, Mau ke mana? Pergi dengan siapa? Pergi berapa lama? Ditambah pertanyaan, Bagaimana dia tahu namaku, sedangkan aku belum tahu namanya?

Ah iya, berkali-kali aku belanja di kiosnya tentu dia tahu namaku. Aku saja yang kurang perhatian, berkali-kali belanja di sana tetapi belum tahu namanya, Rully menjawab pertanyaannya sendiri. Namun, Rully kemudian tercenung, Kenapa aku bertanya-tanya? Apa peduliku dengan wanita itu? Mau bepergian dengan siapapun, kemanapun, berapa lamapun, harusnya bukan urusanku.

Rully juga lantas berpikir, Kenapa aku harus merasa iri? Kenapa juga aku tidak terima? Kenapa dadaku deg-degan dan was-was? Kenapa ada rasa tidak rela wanita itu berboncengan dengan seorang lelaki. Bahkan, namanya pun aku belum tahu?

Rully lalu  bertambah heran pada diri sendiri, Mengapa ketika ketemu dan melihat wanita lain berboncengan aku tidak merasakan hal seperti ini? Ya Tuhan, berilah aku jawaban atas teka-teki-Mu ini.

Alam semesta ini memang sering menghadirkan teka-teki. Namun, juga menyediakan jawaban atas teka-teki tersebut. Tinggal seberapa sigap orang memaknainya.

Rully termasuk insan yang sigap. Dalam sekejap Rully merasa sudah mendapatkan jawabannya, Rupanya aku sedang jatuh hati kepadanya.

Rully sadar dan paham itu, suara hatinya tidak bisa menipu, Aku tidak kuasa melawan kodrat sebagai makhluk lemah, aku butuh cinta dan kasih sayang.

Sekembali ke rumah, duda ini langsung beraksi. Diaduk-aduknya laci meja mencari nota pembelian ramuan burung. Di dapatinya nama Kania. Rupanya wanita itu bernama Kania.

Rully yakin Kania masih sendiri. Tidak mungkin seorang wanita yang ibadah salatnya rajin, timbangannya selalu dikalibrasi, uang kembalian sekecil apapun diberikan secara tunai dan ngomong dengan pembeli seperlunya saja akan berperilaku sembrono.  Wanita seperti itu pasti tidak mau dibonceng lelaki sembarangan. Oleh karena itu Rully semakin yakin kalau Kania masih sendiri.

Berbekal keyakinannya itu Rully menyiapkan diri suatu waktu akan mendatangi oang tua Kania. Dia akan meminta putrinya menjadi pendamping hidupnya.

Hari-harinya menjadi ceria dan dia lewati dengan bersenandung khas orang sedang jatuh hati,Aku akan mendampingi dirimu setiap waktu. Akuakan membahagiakanmuapapun yang terjadi Kania.Di saat lain dia menyenandungkan lagu, “Kau bukan yang pertama, tapi pasti yang terakhir.

Usai bersenandung, Rully bergumam, Aku sudah banyak belajar banyak dari masa laluku. Aku harus mampu menjadi manusia yang lebih kuat, lebih baik. Lalu bagaimana dengan burung-burungku?” Tanya Rully yang lalu dijawabnya sendiri, Aku akan buka sangkarnya dan kubiarkan mereka terbang bebas.

Rully tidak sabar menunggu hari esok. Kepalanya dipenuhi teka-teki lain, sebuah pertanyaan, kapan waktu terbaik menemui orang tua Kania? Pikirannya menjadi gelisah, beberapa siang makannya tidak enak dan beberapa malam tidurnya pun tidak nyenyak.

Sampai pada suatu saat, selewat tengah malam menjelang subuh Rully terbangun setelah bermimpi bercumbu dengan Kania. Mimpi yang begitu nyata. Mimpi itu dianggap Rully jawaban atas teka-tekinya, niat untuk menemui orang tua Kania tidak boleh ditunda lagi.

Subuh itu Rully teriak, “Kania, tunggu, aku datang!” (Sarkoro Doso Budiatmoko).

Purwokerto, 20 Pebruari 2024.
Sarkoro Doso Budiatmoko

***

Judul: Kania, Tunggu, Aku Datang
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu  “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.

Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *