Cerpen “Jangan Panggil Aku Bedebah”
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Sastra, Senin (03/10/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Jangan Panggil Aku Bedebah” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Pada siang yang terik itu Ripto duduk tercenung sendirian di atas batu besar. Dia betul-betul sendiri dan menjadi orang terakhir yang ada di situ. Para penggali kubur dan pelayat sudah pada pulang. Komplek pemakaman kampung itu pun berangsur kembali sepi. Tidak ada suara. Bahkan, angin pun malas bertiup.
Ripto duduk dengan dagu bertumpu pada dua punggung tangannya sambil memegang erat tongkat alat bantu jalan. Lelaki paruh baya ini terlihat seperti manusia tanpa daya, layaknya ayam jago kehujanan, nyekukruk berteduh di tritisan rumah.
Di depan Ripto ada makam istrinya yang baru selesai ditimbun tanah. Di atas gundukan tanah basah itu ada rangkaian bunga duka beberapa helai. Baru malam tadi istri Ripto meninggal setelah sekian lama menderita sakit.
Sambil duduk di atas batu, sesekali tongkatnya mencutik-cutik kerikil atau gumpalan tanah di dekat kakinya, lalu dilemparkan ke gundukan tanah makam istrinya. Benaknya berkata, kalaulah bisa Dik, ingin aku mendampingimu di dalam liang lahat sana.
Ripto mengusap matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya. Matanya sembab. Tanpa mengenakan kacamata gelap, kesembaban matanya kelihatan sangat jelas. Beberapa kali terdengar isak tangisnya tertahan ─ menggambarkan kesedihan mendalam. Ditinggal istri untuk selamanya tentu amatlah sedih. Dia bukan hanya ditinggal raga istrinya, tetapi juga sumber semangat hidupnya.
Matahari semakin tinggi. Ripto masih duduk tercenungdi atas batu. Entah akan berapa lama lagi dia duduk di sana, dia tidak tahu. Kesedihan ditinggal istri ke alam keabadian membuatnya malas pulang, apalagi di rumah pun tidak ada siapa-siapa lagi. Kucing dan ayam sudah pada minggat.
Tetangga dekatnya, Mbok Kasim, sibuk sendiri jualan makanan. Ada beberapa tetangga lain, tapi dia merasa tidak begitu dekat. Hanya sebatas menyapa dan mengucap salam. Ripto dan istri memang warga pendatang dari tempat yang jauh.
Lelaki ini masih bergeming, pikirannya terbang mengenang masa lalu, saat berdua mengarungi bahtera rumah tangga. Berdua mengukir banyak kenangan manis. Bahkan, sepahit apapun, kini semua berubah menjadi kenangan manis.
Kebersamaan yang telah mereka lalui tidak selalu mulus, tapi semua sudah berhasil dilewati. Sekencang apapun anginnya, seribut apapun badainya dan seganas apapun gulungan ombaknya, dalam suka dan duka, semua sudah berhasil mereka atasi.
Kini, hanya rasa duka tak terperi yang Ripto rasakan sendiri. Rasa duka semakin menghujam jantung kala dia ingat mereka dulu memulai hidup satu atap dari tidak punya apa-apa. Mereka memulai hidup seadanya tanpa kenal mengeluh. Istrinya wanita setia, ke gurun dia ikut, ke laut dia turut, ke gunung mendaki bersama, ke lembah pun mereka tempuh.
Bertahun-tahun bahtera mereka arungi. Ketika semua impian untuk hidup sejahtera hampir mereka raih, istri pergi meninggalkannya, sendiri, untuk selamanya.
Ripto masih duduk di atas batu, posisinya tidak berubah, kepalanya semakin menunduk, membayangkan betapa beratnya hidup sendiri. Tidak terpikirkan sebelumnya dia harus membuat kopi sendiri, mencuci baju sendiri, tidur dan bengong pun sendiri.
Lelaki ini menghela napasnya dalam-dalam dan dihembuskannya pelan-pelan. Itu membuatnya sedikit agak tenang. Lalu, entah datang dari mana, di depan mata batinnya berputar gambar hidup mengisahkan kebersamaan mereka berdua.
Gambar berputar cepat, tetapi tidak satu detik pun terlewat dari pandangan mata batinnya. Ketika gambar sampai pada sebuah titik, Ripto bertambah sedih dan semakin terisak-isak. Gambar itu merekam omongan dia ke istrinya dulu.
“Dik, kalau nanti tiba waktunya, aku ingin mati lebih dulu,” lanjut Ripto waktu itu, “Kalau Adik mati dulu, lalu siapa yang menemani aku? Kalau aku tua, siapa yang merawat aku?”
Istrinya menjawab, “Tapi Bang, kalau aku mati dulu, itu lebih baik untuk aku daripada setiap hari jantungan.”
Ketika ingat omongan istrinya itu, isaknya bertambah kerap. Rasa sedih dan sesal bercampur-aduk dalam hatinya menyadari perilaku kasarnya dulu. Ingatannya terbang melayang ke suatu pagi ketika dia marah besar ke istrinya hanya gara-gara minuman kopi hitam kegemarannya terlambat disajikan ─ Terlambat tidak lebih dari sepuluh menit. Itu juga bukan karena lupa atau malas, tetapi karena istrinya sakit perut dan harus ke kamar kecil.
Ripto memaki habis-habisan istrinya. Dibilangnya, pemalas, pelupa, tidak menghormati suami dan sederetan kata-kata kasar yang lain. Belum lagi ditambah dengan menggebrak meja, menendang kursi dan membanting pintu. Ketika istrinya bilang bahwa dia sedang sakit perut, Ripto malah menyahut, “Kok sakit perut, kenapa tidak sakit yang berat sekalian hah!”
Waktu itulah istrinya Ripto menjawab pela, “Tidak usah sakit berat, kalau Abang marah-marah terus, apalagi untuk kesalahan yang enggak aku sengaja, sama saja Abang membunuhku pelan-pelan.”
Suara “membunuhku pelan-pelan…” terus terngiang-ngiang di telinga Ripto, seperti menggedor-gedor jantungnya. Lantas, sambil terisak-isak penuh penyesalan, Ripto memandang lurus ke pusara berkata, “Maafkan Abang Dik” ─ Sebuah permohonan maaf yang sangat terlambat.
Bukan hanya sekali itu saja Ripto marah-marah. Dia pernah murka karena baju yang akan dipakai pagi itu belum disetrika. Tak pelak, kata-kata kasar dan makian muncrat dari mulutnya. Istrinya dikatakan tidak tahu diri, malas, hanya mau duit, tapi tidak mau hidup sedikit sulit, padahal waktu itu baju tidak disetrika karena sedang ada giliran pemadaman listrik.
Begitulah, sering sekali hanya tersulut hal kecil, Ripto menjelma seperti makhluk yang kesetanan. Hanya soal minum kopi, baju belum disetrika, dan makanan terlalu asin, bisa membuatnya marah besar.
Ripto menyadari kelakuan buruknya. Dia menduga, itu pengaruh dari pekerjaannya yang penuh tekanan. Pekerjaannya menuntutnya menjadi kasar, tidak takut untuk menakuti-nakuti, tidak ragu mengancam, meneror, mengintimidasi, dan memprovokasi. Pekerjaan dengan risiko siap dikasari orang.
Penghasilan Ripto memang besar dan membuatnya mampu bergaya hidup mewah. Dia juga menikmati jenis pekerjaannya dan tidak ingin ganti yang lain meski berpengaruh buruk pada perilakunya.
Kekesalan Ripto saat bekerja sering terbawa ke rumah. Bukan rahasia lagi, ketika marah, dulu, dia juga tega melakukan kekerasan ke istrinya hingga menimbulkan keributan dan menjadi tontonan warga.
Ripto ingat, di tengah keributan itu ada suara wanita meneriakinya, “Mas Ripto, jangan jadi lelaki bedebah, beraninya sama makhluk lemah!” Omongan itu menohoknya amat dalam. Dia tidak tahu siapa yang teriak, tetapi dia ingat suaranya.
Sejak itulah kekerasannya berhenti, tidak main tangan lagi, tidak menjadi tontonan warga lagi. Namun, ternyata mulutnya tidak kalah tajam dari pisau cukur. Lidahnya mampu menyayat-nyayat hati istrinya sendiri. Itulah yang kini membuat Ripto tercenung lama di depan liang lahat istrinya ─ menyesali kelakuannya. Dia kini mengerti, dialah sebenarnya penyebab istrinya menderita sakit sampai meninggal.
Gambar hidup masih terus berputar di kepala Ripto, di depan mata-batinnya. Semua aliran gambar membuatnya semakin menyesali kelakuannya sendiri. Raganya terasa lemas, sampai-sampai tidak kuat lagi duduk di atas batu. Tubuhnya ndlosor jatuh bersimpuh, tepat di tepian gundukan makam istrinya.
Runtuh sudah kegagahan, kesombongan, ketengilan, kesinisan, dan ketajaman lidahnya. Semakin dalam dia tercenung, semakin dalam rasa sesalnya, semakin dalam kepalanya menunduk.
Matahari sudah bergeser ke Barat, tapi Ripto belum juga beranjak. Satu dua orang terlihat menatap dari tepi kuburan. Hanya menatap untuk kemudian pergi berlalu.
Sang Surya mulai meredup dan mega mendung menyelimuti langit. Tanda-tanda kuat akan segera turun hujan seperti hari-hari sebelumnya, tapi Ripto belum beringsut.
Tidak berapa lama, petang menjelang dan mendung menebal. Gerimis mulai turun. Ketika gerimis semakin deras, Ripto menadahkan tangannya ke langit, ditampungnya air gerimis di kedua telapak tangan lalu diraupkannya ke wajah.
“Ampuni aku Dik,” ratap Ripto sambil membasahi wajahnya, air matanya bercampur menjadi satu dengan air hujan.
Hujan jatuh dengan deras. Ripto tidak peduli. Ia tetap bersimpuh di tepian tanah merah. Tampaknya juga tidak ada orang yang peduli. Ada satu wanita tua yang kebetulan lewat dan menghampirinya.
“Mas Ripto, sudahlah ayo pulang,” kata wanita tua itu agak nyaring, beradu keras dengan suara hujan.
Ripto menengok ke arah suara dan dilihatnya Mbok Kasim membawa payung. Dia merasa pernah mendengar suara itu. Lalu dalam hati ia berkata, oh, rupanya Mbok Kasim yang mengata-ngataiku bedebah.
Pelahan Ripto bangkit dan meraih payung yang diulurkan tetangga dekatnya itu.
“Terima kasih Mbok.”
“Iya sama-sama. Ayo Mas Ripto, tidak boleh lama-lama bersedih. Lelaki gak boleh jadi pecundang,” seru Mbok Kasim.
“Iya Mbok,” jawab Ripto sambil ngedumel lirih dalam hati, Wah, setelah bedebah sekarang ditambah pecundang. Hebat juga wanita baya ini.
Mereka berdua satu payung berjalan menuju rumah. Sampai di rumah, sebelum berpisah, kepada Mbok Kasim Ripto berpesan agar mulai besok pagi mengirim makan dan minuman setiap pagi dan petang. Pintu rumah dan pintu kamarnya tidak dia kunci, jendela kamar tidurnya pun tidak.
Mbok Kasim diijinkan masuk rumahnya kapan saja. Dengan cara itu, Ripto barharap, kalau ada apa-apa pada dirinya bisa langsung diketahui Mbok Kasim. Ripto yang hidup sendirian tidak mau mati membusuk.
Ripto masuk ke kamar tidurnya. Dipandangnya daster-daster istrinya di dalam lemari. Diciumnya satu-satu penuh perasaan. Diambilnya satu helai dan dipeluknya erat-erat. Aroma tubuh istrinya masih tercium, harum. Rasa kangennya sedikit terobati.
Ada beberapa helai baju baru yang belum pernah dipakai istrinya. Diambil dua helai, dibungkus rapi dan dibawanya ke rumah Mbok Kasim.
“Mbok, ini ada bingkisan, tanda terima kasih sudah mau membuatkan makanan untuk saya.”
Mbok Kasim dengan hangat menerimanya, “Mas Ripto kok repot-repot, terima kasih juga ya.”
Sebelum kembali pulang, Ripto menyampaikan kegalauannya, “Mbok, tolong jangan panggil aku bedebah lagi, aku sudah berusaha berubah. Juga jangan sebut aku pecundang, tidak enak di hati aku.”
Diluar dugaan, Mbok Kasim menjawab, “Ha … ha … ha, Mas Ripto orangnya baper ya? Gak usah baper, Mas Ripto harus benar-benar berubah supaya tidak saya panggil bedebah, pecundang dan, apalagi, dungu.”
Ripto ngeloyor pergi tanpa pamit. Omongan Mbok Kasim tadi sungguh mengiris-iris hatinya. Wanita ini mengingatkan dia pada seorang wanita dikampungnya yang juga suka nyinyir. Beberapa orang di kampungnya memanggil wanita nyinyir itu: bedebah!
***
Judul: Jangan Panggil Aku Bedebah
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi
Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.
***
