Cerpen “Dimun dan Legenda Becak Warisan”
Berita Jabar News (BJN) – Kolom Sastra – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Dimun dan Legenda Becak Warisan” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Subuh itu, dengan wajah dan rambut masih basah air wudu, Dimun mulai mengayuh pedal becaknya menuju rumah Mbok Atun. Seperti hari-hari sebelumnya, dia akan mengambil tiga keranjang ketupat untuk diantar ke Warung Soto Bu Rono.
Sesampainya di rumah Mbok Atun, disusunnya dengan rapi tiga keranjang ketupat. Dua keranjang ditaruh di atas jok penumpang dan satu keranjang lainnya di bawah. Ketiga keranjang kemudian diikat supaya tidak tumpah.
Setiap pagi Dimun awali harinya dengan mengambil dan mengantar ketupat itu menggunakan becaknya menempuh jarak sekitar setengah kilometer. Beban muatan yang harus dibawanya ke warung soto Bu Rono cukup berat, apalagi jalan agak sedikit menanjak.
Untung saja Dimun sudah minum secangkir kopi pagi buatan istrinya. Minuman itu memberi tambahan tenaga kala merayapi pagi bersama matahari. Benar-benar kopi pagi yang sangat berarti.
Ketika muda dulu, becak dengan beban yang diangkut dan jarak yang harus tempuh bukanlah masalah. Dimun mampu mengangkut keranjang-keranjang ketupat itu dengan enteng tanpa berhenti. Kini, setelah umur menginjak kepala lima, kadang dia harus berhenti beberapa saat sekedar untuk mengatur napas agar tidak ngos-ngosan.
Dimun sering sambat, “Ya Allah, beri aku kekuatan.”
Mengemudi becak memang melelahkan, meski begitu Dimun menjalaninya dengan rela hati dan rasa syukur. Penghasilannya memang tidak besar, tapi dia yakin ada berkah di dalamnya karena semua datang dari hasil keringatnya sendiri, apalagi dia tidak pernah ngerjain penumpang. Upah yang diterimanya selalu sesuai kesepakatan bersama.
Beberapa tahun yang lalu, Dimun sempat berhenti menarik becak dan mencoba menjadi tukang batu di sebuah proyek bangunan. Namun, itu tidak bertahan terlalu lama. Dia merasa muak dengan perlakuan Mandor yang sering marah-marah tanpa sebab. Pernah terjadi Mandor mendampratnya tanpa basa-basi.
Dengan mata melotot Mandor ngomong, “Hai Dimun, kamu pagi-pagi, kerja baru mulai, tapi sudah merokok. Bagaimana mau beres kerjanya?”
Itu marah yang mengada-ada karena semua rekan kerja tahu, Mandor pun tahu, Dimun bukan perokok. Memang ada puntung di bawah kakinya, tetapi itu entah sisa rokok milik siapa.
Seorang kawan kerja ngomong, “Pak Mandor, itu bukan puntung Dimun. Puntung itu sudah ada sejak kami datang tadi pagi. Lagian Dimun itu bukan perokok.”
Tak ada sepatah kata maaf keluar dari mulut si Mandor. Namun, Dimun masih berprasangka baik. Dia menduga si Mandor sedang banyak masalah yang dilampiaskan kepadanya.
Di lain hari, Mandor kembali marah saat panas matahari sedang menyengat, “Dimun, kamu kerja yang bener, bersih, dan rapi dong! Masak masang keramik semennya nyiprat kemana-mana.”
Si Mandor marah dengan angkuhnya. Bibirnya menyeringai dan kakinya menunjuk ke keramik yang kotor. Sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Kepongahan Mandor menunjuk dengan kakinya membuat Dimun tersinggung berat dan merasa tidak dihargai.
Pria berkulit hitam ini tidak bisa diam. Dimun langsung membalas balik mendamprat.
“Heh.., kamu itu hanya Mandor tidak usah sombong!” Kata Dimun dengan suara menyalak keras.
Tidak ada yang menduga, Dimun yang biasa berpembawaan tenang saat itu berbalik mendamprat si Mandor. Adu mulut pun tidak terhindari sampai nyaris terjadi keributan. Masing-masing sudah siap baku pukul, tapi segera dilerai rekan-rekan kerjanya.
Dimun mulai merasa tidak nyaman, tapi berusaha tetap sabar bertahan bekerja di proyek bangunan itu. Dia belum ingin kembali ke becaknya. Dia merasakan enaknya kerja sebagai tukang bangunan, tidak harus menunggu penumpang dan upahnya pun lebih pasti.
Kesabaran ternyata ada juga ujungnya. Itu terjadi pada suatu hari Sabtu, saat Dimun dan pekerja lainnya sedang menerima upah. Setelah dihitung-hitung ternyata jumlahnya tidak sesuai dengan angka yang mereka tandatangani.
Bukan sekali ini saja terjadi pemotongan yang besarnya tidak sama antara satu pekerja dengan yang lain. Tentu saja pada ribut. Mewakili para pekerja, Dimun maju menemui Mandor dan menanyakan kekurangan itu. Sebelumnya setiap kali ditanyakan, selalu saja ada jawabannya.
Suatu kali Mandor bilang, “Itu untuk bantu aku beli bensin ke sana kemari mengurus proyek.”
Lain kali bilang bahwa dia juga harus memberi uang pelican pada pengawas bangunan.
“Supaya pekerjaan dan proyeknya lancar,” ujar Mandor itu meyakinkan.
Bagi Dimun, alasan-alasan seperti itu sungguh mengada-ada dan tidak masuk akal. Bukankah semua sudah dihitung dan dianggarkan? Mengapa pula pekerja kecil yang dikorbankan?
Seketika itu hilang rasa hormatnya kepada Mandor. Dimun naik darah.
“Pak Mandor, kami tidak main-main. Beri kami kekurangan upahnya sekarang atau kami laporkan ke Pimpinan Proyek, atau kalau perlu ke Polisi,” kata Dimun penuh emosi.
Si Mandor dengan gugup dan muka masam masih mencoba berdalih, tapi Dimun dan pekerja lain di belakangnya bersikeras tetap meminta kekurangannya. Mandor tidak punya pilihan lain, terpaksa dia mengembalikan semua kekurangan upah mereka.
Belakangan merebak kabar di tengah pekerja bahwa perilaku Mandor itu disebabkan karena kebutuhan hidupnya memang banyak. Dia harus menghidupi dua orang istri dengan lima orang anak yang masih sekolah.
Dimun tidak mau tahu, apapun alasannya, memotong hak orang lain itu salah, apalagi kalau itu menyangkut banyak orang. Itu sama dengan perbuatan penghisapan darah sesama, itu biadab.
“Itu sama saja dengan korupsi, memperkaya diri sendiri,” kata Dimun di depan teman-temannya, “Kawan-kawan, saya tidak tahan lagi bekerja di proyek ini, mandornya korupsi dan suka marah-marah. Saya mau kembali menarik becak saja, meski terlihat pekerjaan rendah, tapi uangnya halal.”
Ternyata diluar dugaannya, hampir separo pekerja lainnya juga mundur. Mereka punya alasan dan rencananya masing-masing. Ada yang mau kembali kerja di sawah, ada yang mau berkebun, ada juga yang mau meniru Dimun, menarik becak.
Esok harinya Dimun kembali ke pekerjaan lamanya menarik becak. Dia mulai membersihkan becak yang sudah lama tidak dipakai, melumasi rantainya, menambah anginnya, lalu mencobanya lagi di jalan.
Becaknya sudah tua, tetapi kuat, warisan dari almarhum Abahnya yang dulu juga menarik becak.
Walaupun menjadi pewaris becak, Dimun dari awal tidak punya keinginan sedikitpun mewariskan becaknya ini ke anaknya. Dia tidak ingin anaknya juga menjadi penarik becak. Anak laki-laki satu-satunya harus lebih baik dan lebih bermartabat dari dirinya. Anaknya lulusan SMK dan sekarang kerja di ibu kota, tetapi entah sebagai apa.
Dasar rejeki tidak kemana, saat Dimun mencoba becaknya di jalan besar, ada seorang ibu berpenampilan bersih dan rapi menghentikannya, minta diantar ke sekolah. Dia mengenal baik si Bu Sri yang juga guru anaknya saat SD.
Diluar dugaannya, Bu Sri minta dijemput siang nanti saat bubaran sekolah. Itulah rezeki, Dimun sangat bersyukur. Tambah bersyukur ketika Bu Sri juga minta berlangganan antar-jemput pada setiap hari kerja. Dimun menang banyak, bukan hanya mengantar dan menjemput, tapi banyak menambah wawasan dari mengobrol sepanjang jalan.
Suatu hari Bu Sri bertanya, “Pak Dimun mengapa tidak ganti dengan sepeda motor dan menjadi ojol?”
Dimun menjelaskan kepada Bu Sri bahwa pertanyaannya bukan yang pertama kali dia dengar. Sebelumnya beberapa orang juga bertanya hal yang sama. Setiap kali muncul pertanyaan seperti itu, setiap kali itu pula muncul rasa sesalnya.
“Saya menyesal Bu, mengapa dulu sekolahnya tidak selesai. Saya ngerti duit, tapi gak ngerti handphone Bu…he …he…”
“Bisa saja Pak Dimun,” sahut Bu Sri.
Panjang lebar Dimun cerita ke Bu Sri. Dia merasa penyesalannya tiada gunanya. Kini dia merasakan akibatnya karena merasa terpinggirkan dari peradaban.
Dimun hanya bisa cengar-cengir ketika orang pada ngobrol tentang berbagai hal di berbagai jenis media sosial. Dia juga hanya bengong ketika mendengar mereka pada cerita tentang sanak saudaranya di tempat jauh, sedangkan kabar anaknya sendiri jarang sekali dia dengar.
Dimun, ayah seorang anak ini memang lahir dan besar dari keluarga kurang mampu. Ketika orangtuanya kesulitan ekonomi, dia memilih keluar sekolah supaya bisa membantu. Apa saja dia kerjakan asal halal. Memulung, menjadi kuli panggul, menjadi tukang pukul pun dia jalani. Dimun ditempa keadaan menjadi seorang pekerja keras. Dia sadar benar, tanpa kerja dia tidak bisa makan.
Ibu guru itu terenyuh mendengar cerita Dimun. Lalu memberitahu bahwa zaman sekarang, kuat dan kerja keras saja tidaklah cukup.
“Sekarang ini orang-orang juga harus pandai dan pintar bergaul supaya mampu hidup layak,” sambung Bu Sri.
“Jangan sampai orang tua yang tidak mampu, mewariskan ketidakmampuan ke Pak Dimun, lalu nanti meneruskan ketidakberdayaan ke anak,” tambah Bu Sri.
“Iya Bu, jangan sampai terjadi,” balas Dimun.
“Lihat saja di sekeliling kita, sudah berapa banyak tetangga yang pada minggir ke daerah pinggiran karena rumahnya berubah menjadi komplek pertokoan, komplek perumahan, dan pusat perbelanjaan,” ujar Bu Sri.
“Betul Bu, rumah saya pun sekarang sudah seperti ikan teri di tengah-tengah ikan tongkol, dipepet rumah-rumah besar bertembok tinggi,” sahut Dimun.
“Belum lagi pajak yang harus saya bayar juga makin mahal Bu. Memang harga jualnya juga semakin mahal, tetapi saya tidak berani jual, kalau saya juga harus minggir, lalu saya makan apa?” Dimun curhat, “Kalau di kota, kalau becak tidak laku lagi, paling tidak bisa menjadi tukang parkir atau pak ogah.”
Bu Sri semakin terenyuh mendengar keluhan Dimun.
“Iya Pak, orang kecil hanya bisa berkutat dan berputar diseputaran itu saja ya, tukang parkir, abang becak, jaga toko, pedagang kaki lima, atau tukang asongan. Yang penting jangan sampai menjadi copet dan berurusan dengan aparat,” ujar Bu Sri.
“Iya Bu, saya suka sekali mendapat banyak nasehat dari Ibu, sayangnya ini sudah sampai di rumah Ibu,” kata Dimun.
Bu Sri pun turun dari becak. Hanya dua langkah, dia berhenti dan meneruskan omongannya, “Pak Dimun, jangan sampai anak satu-satunya nanti mewarisi apa yang Pak Dimun alami ini. Jangan lupa juga untuk selalu bersyukur ya.”
Bu Sri pun mengakhiri percakapannya sambil melangkah masuk ke halaman rumahnya.
Lelaki bertubuh gempal ini memang tidak pernah lupa bersyukur dan berdoa. Kewajiban lima waktu juga tidak pernah dia lewatkan. Syukur atas kenikmatan yang telah diperoleh selalu dia ungkapkan dalam ucapan “Alhamdulillah”. Kenikmatan atas upah dan bonus ketupat dari Mbok Atun, lantas semangkok soto dari Bu Rono, juga tambahan bayaran langganan dari Bu Sri.
Lelaki bersandal jepit ini sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah dekat ke kepala enam. Sudah berpuluh tahun mengayuh becak. Pekerjaan yang akhirnya menjadi satu-satunya mata pencaharian yang mampu dikerjakannya sampai saat ini.
Dimun kembali ke pangkalannya siaga dengan becaknya. Dia berharap masih ada tambahan penumpang yang bisa dia layani hingga matahari terbenam di ufuk barat nanti. Saat hari mulai gelap, dia pulang ke rumah.
Pengelihatan Dimun sudah tidak cukup awas untuk jalan pada malam hari. Dia memang sudah semakin tua. Kekuatan tubuhnya pun sudah banyak berkurang. Saat senja semakin temaram dan bersiap pulang, ada lelaki muda yang lengan dan lehernya bertato menghampiri.
“Tolong antar saya ke Gang Keprok Pak,” kata Pemuda itu.
Gang Keprok adalah daerah tempat tinggalnya maka disanggupinya untuk mengantar, sekaligus pulang.
Tidak diduganya, lelaki muda itu turun di depan rumah Dimun. Bahkan, Pemuda itu melangkah masuk ke arah rumahnya. Lampu jalan yang baru saja menyala tepat ada di depan rumahnya itu menyorot sosok lelaki dan memperlihatkan tato di lengan dan lehernya dengan jelas.
“Assalamualaikum. Kejutan Bah, …Mak, aku pulang,” sapa Pemuda itu.
Dimun langsung paham, itu suara anak satu-satunya. Ada pertanyaan besar dalam hatinya, kenapa dia bertato? Bukan kedatangan anaknya yang menjadi kejutan, tetapi tato di tubuh anaknya yang mengagetkan Dimun.
Dimun mendekati Pemuda itu untuk memastikan bahwa itu adalah anaknya. Dilihatnya dengan cermat dan teliti dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia dengarkan suaranya, dan betul, ini anaknya.
Dengan suara agak tinggi Dimun ngomong, “Kamu pulang tepat waktu, bawa pulang apalagi selain toto di tubuhmu itu? Harus aku taruh di mana mukaku yang sudah tua ini ha?”
Suasana pertemuan ayah dan anak yang seharusnya membahagiakan, tiba-tiba berbalik menjadi tidak kondusif. Mendengar ada pertengkaran kecil antara ayah dan anak tersebut, istri Dimun mendekat dan menenangkan suaminya.
Dimun berusaha tenang. Beberapa saat kemudian, keluarlah fatwa dari mulut Dimun untuk anak semata wayangnya
“Sudah, kamu tidak usah kemana-mana lagi. Tinggal di sini bersama orang tuamu. Kalau mau cari uang, pakai itu becakku. Di rumah pun gak apa-apa, aku masih kuat memberimu makan,” ujar Dimun menasehati anaknya.
Penjelasan panjang lebar dari anaknya bahwa tato tidak selalu identik dengan kejahatan. Juga penjelasan bahwa tato adalah bentuk karya seni yang tidak semua orang bisa membuatnya, tidak masuk ke telinga Dimun. Tidak ada pengaruhnya.
Dimun tetap dengan pendiriannya bahwa tato itu sama saja dengan tanda pernah berbuat jahat. Anaknya bukan penjahat, dia anak baik, dialah pewaris utama becak dari Abahnya.
Purwokerto, 6 April 2024.
***
Judul: Dimun dan Legenda Becak Warisan
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***