Cerpen “Di Balik Mesin Jahit: Suara Hati yang Tak Pernah Padam”
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA/Cerpen, Senin (18/08/2025) – Cerpen berjudul “Di Balik Mesin Jahit: Suara Hati yang Tak Pernah Padam” merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Deru mesin jahit memenuhi udara. Di sudut pabrik yang sesak, Rina—seorang perempuan muda berusia 24 tahun—menunduk dalam, jarinya lincah mengarahkan kain di bawah jarum. Keringat mengalir di pelipisnya. Waktu istirahat masih dua jam lagi. Perutnya sudah terasa perih menahan lapar.
“Rin, kau sudah makan?” Tanya Siti, rekan kerjanya, sambil menoleh sejenak.

Rina tersenyum tipis, “Belum. Aku mau beli di luar nanti. Di kantin pabrik mahal, di luar lebih murah.”
Siti menghela napas sejenak.
“Tapi kan makan di luar belum tentu bergizi. Kita butuh tenaga, apalagi tiap hari duduk di mesin jahit sampai sepuluh jam,” jawab Siti.
Ucapan itu menancap di hati Rina. Ia sadar, tubuhnya lelah bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena asupan yang tak memadai. Namun, ia tak punya banyak pilihan.
Kabar yang Menggetarkan Pabrik
Suatu siang, kabar berhembus di antara deretan meja kerja.Ada Peraturan Gubernur (Pergub) yang akan memberikan perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, terutama di sektor garmen.
“Katanya, nanti kita bisa dapat fasilitas istirahat saat haid. Juga ada program pemenuhan gizi,” bisik Siti dengan mata berbinar.
Rina tersenyum lebar.
“Kalau benar, itu luar biasa. Akhirnya ada yang peduli pada kita,” kata Rina menanggapi Siti.
Bagi mereka, ini bukan hanya kabar biasa. Ini seperti secercah cahaya yang menembus dinding pabrik yang dingin.
Suara Hati yang Lebih Dalam
Di balik senyum itu, Rina merenung. Ia ingat pembicaraannya dengan Ustazah Maryam, pengajarnya di majelis taklim.
“Rina, aturan yang dibuat manusia sering kali terbatas oleh kepentingan,” kata Ustazah Maryam suatu sore, “Selama asasnya sekular, orientasinya lebih kepada keuntungan, bukan kesejahteraan sejati. Tapi aturan yang lahir dari Islam, dari Sang Pencipta manusia, pasti memihak manusia secara utuh.”
Rina mengangguk saat itu. Ia mengingat betapa Rasulullah saw. dan para khalifah dulu memperlakukan pekerja dengan penuh kemuliaan. Bahkan, Umar bin Khattab misalnya, ia pernah menegur keras seorang gubernur karena menunda gaji buruh.
Bayangan Dunia yang Berbeda
Dalam lamunan Rina, ia membayangkan bekerja di bawah sistem yang benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyat.
Sistem yang tidak hanya memberi istirahat saat haid, tetapi juga memastikan ia makan bergizi setiap hari tanpa menguras upah. Sistem yang menempatkan dirinya sebagai amanah, bukan sekadar roda produksi.
“Bayangkan, Rin,” suara Ustazah Maryam bergema di kepalanya, “Jika negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, menyediakan kesehatan tanpa biaya, dan memastikan para pekerja mendapat haknya penuh. Itulah gambaran ketika Islam tegak, ketika sistem Islam memimpin seperti para pendahulu kita.”
Harapan di Tengah Deru Mesin
Sore itu, ketika sirene pabrik berbunyi tanda waktu pulang, Rina melangkah keluar dengan langkah berat namun hati yang hangat. Ia bersyukur ada niat baik dari pemerintah daerah yang mencoba memperhatikan nasib mereka.
Namun, di lubuk hati, ia juga berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah pemimpin yang menegakkan aturan-Mu sepenuhnya. Pemimpin yang melihat kami bukan hanya sebagai pekerja, tapi sebagai hamba-Mu yang berhak sejahtera.”
Langkahnya terus menembus kerumunan buruh yang pulang. Suara mesin jahit perlahan hilang, tapi suara hatinya terus berdetak, perjuangan ini belum selesai.
***
Judul: Cerpen “Di Balik Mesin Jahit: Suara Hati yang Tak Pernah Padam”
Penulis/Pengarang: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK